Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan berupaya mengendalikan pernikahan anak dengan menggandeng lembaga kemasyarakatan, tokoh agama dan terkait lainnya.
Staff Ahli Gubernur Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kalimantan Selatan, Gusti Yanuar Noor Rifai di Banjarmasin, Rabu mengatakan, maraknya perkawinan anak di tiga kabupaten dan kota di Kalsel harus dihentikan.
"Peringkat tertinggi di Kalsel ini bukanlah sebuah prestasi. Kami sedang melakukan berbagai upaya perubahan cara pandang dan budaya masyarakat di sini, dengan berbagai kegiatan sosialisasi bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, tokoh agama dan tokoh masyarakat," kata Rifai.
Tiga kabupaten dan kota, yang masih tinggi jumlah perkawinan anaknya adalah, Banjarmasin, Tapin dan Hulu Sungai Selatan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari mengatakan, faktor kebiasaan atau tradisi nikah di usia anak di Kalsel sulit ditinggalkan.
"Bahkan di beberapa daerah menganggap, menikah usia anak lebih baik karena dianggap mengurangi beban keluarga," katanya.
Selain itu, akses pendidikan yang dinilai masih sangat terbatas dan jauh dari rumah, sehingga membuat masyarakat mengeluarkan biaya mahal, juga menjadi alasan lain orang tua di Kalsel, lebih baik menikahkan anaknya dibanding harus menyekolahkan.
Tingginya angka perkawinan anak juga diiringi dengan tingginya tingkat perceraian dari perkawinan usia anak.
Hal ini menunjukkan, bahwa pengelolaan rumah tangga yang baik, belum dapat dilakukan oleh anak. Dampak lain dari perkawinan anak yaitu kekerasan seksual, angka kematian ibu saat melahirkan, angka kematian bayi, perdagangan manusia, eksploitasi kerja, dan nikah tanpa pengesahan negara.
Kondisi tersebut menyebabkan ketiadaan akta kelahiran, sehingga berdampak pada hak pendidikan dan kesehatan bagi sang anak.
Pada akhirnya, kata dia, pernikahan anak turut berkontribusi dalam penurunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia.
Dampak paling fatal dalam perkawinan usia anak adalah kehamilan dan persalinan dini, karena berhubungan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu yang belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.
Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun. Secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan usia 15-19 tahun.
Asisten Deputi Pengasuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Deputi Bidang Tumbuh Kembang KPPPA Rohika Kuniadi Sari mengatakan persoalan perkawinan anak berdampak pada banyak faktor.
Sebelum membenahi masalah AKI dan AKB yang tinggi, meningkatkan kualitas pendidikan dan IPM Indonesia seharusnya kita benahi inti dari permasalahan tersebut terlebihda hulu, yaitu perkawinan anak.
Menurut Rohika, walaupun terjadi penurunan kasus perkawinan anak yang di tahun 2013 sekitar 43,19 persen dan berkurang menjadi 34,23 persen, di tahun 2014, namun penurunan tersebut secara kuantitatif belum terlihat signifikan.
Dampak kesehatan bayi yang dilahirkan oleh perempuan di bawah umur pun memiliki risiko kematian lebih besar yaitu dua kali lipat sebelum mencapai usia satu tahun.
Risiko lain yang tidak dapat diabaikan adalah hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, resiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker servick, kanker payudara dan juga hidup dalam kegaduhan keluarga karena ketidaksiapan mental mereka dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.
Rohika berharap melalui Gerakan Stop Perkawinan Anak ini, revisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun akan dapat diwujudkan.
Melindungi anak dari praktik perkawinan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab KPP-PA saja, namun membutuhkan peran serta dari 4 pilar pembangunan, yaitu lembaga masyarakat, dunia usaha, maupun media dalam menghentikan praktik perkawinan pada usia anak.