Wakil rakyat asal daerah pemilihan (Dapil) Kalsel II/Kabupaten Banjar tersebut mengungkapkan itu dari hasil resesnya, 13 - 20 Februari lalu.
"Kita tidak terlalu mendalami juga, mengapa warga desa, terutama yang merupakan konstituen saya tak terlalu mempermasalahkan migor kemasa. Tapi yang jelas tidak keluhan warga terkait migor kemasan tersebut," ungkapnya ketika berbincang dengan Antara Kalsel.
"Apakah mungkin untuk memasuk sesuatu yang semestinya mereka goreng tidak mereka lakukan, tapi menggunakan alternatif lain," ujar anggota DPRD Kalsel yang pernah tiga periode itu, pekan lalu.
Sebagai contoh, lanjut "Srikandi" Partai Golkar itu, untuk memasak ikan tidak mesti harus nenggoreng, tetapi alternatifnya bisa dengan membakar, mentim dan bikin pepesan (dipaus = bahasa daerah Banjar), tanpa menggunakan migor.
"Mungkin tanpa menggoreng untuk memasak sesuatu sehingga tingkat kesehatan warga desa relatif terjaga karena tidak mengonsumsi makanan dengan kadar minyak goreng yang cukup tinggi," lanjutnya.
Perempuan yang juga Ketua Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Kalsel itu juga mengaku heran, mengapa selain harga mahal, migor kemasan satu liter khususnya sulit mencari/mendapatkan di pasaran Banjarmasin serta beberapa kabupaten lainnya.

Keluhan mahalnya harga dan kelangkaan migor kemasan satu liter banyak dari warga perkotaan, terlebih bagi mereka yang tak bisa mengonsumsi dengan cara lain, kecuali harus digoreng.
"Namun kita berharap pasaran dan harga migor, terutama untuk kemasan satu liter bisa segera normal kembali,' demikian Syarifah Rugayah.