Banjarmasin (ANTARA) - Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) H Karlie Hanafi Kalianda berpendapat, persoalan perwakilan dari pada prinsipnya tanggung jawab bersama semua pihak.
Pendapat itu melalui WA-nya, Ahad (16/1/22) menanggapi persoalan masih tingginya perkawinan dini atau usia muda di Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kalsel.
"Namun tanggung jawab kami sebagai legislatif sebatas pembentukan Peraturan Daerah (Perda), serta menyebarluaskan/melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan ataupun Perda," ujar anggota Komisi I Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Kalsel itu.
"Selebihnya kewenangan atau tanggung jawab pihak instansi terkait serta keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama memberikan penyuluhan arti pentingnya tidak melakukan perkawinan dini atau usia muda," demikian Karlie Hanafi Kalianda.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunan Anak (DPPKBP3A) Batola Hj Harliani SIP, MSi mengungy, kasus pernikahan usia dini atau masih dalam usia anak-anak di kabupatennya dalam kurun tiga tahun terakhir menempati posisi tertinggi di Kalsel.
"Kasus yang terjadi dari tahun ke tahun menunjukkan trend meningkat," ungkapnya
saat bertindak selaku narasumber Sosialisasi/Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang diimplemantasikan ke Perda Kalsel Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Penyebarluasan/sosialisasi Perda (Sosper) yang dilaksanakan anggota DPRD Kalsel Dr H Hanafi Kalianda SH MH dari Partai Golkar itu di Desa Semangat Dalam, Kecamatan Alalak, Batola akhir pekan lalu
Kepala DPPKBP3A Batola mengungkapkan, di kabupatennya pada tahun 2019 kasus pernikahan dini mencapai 45 kasus, tahun 2020 naik drastis 215 persen yaitu 145 kasus, dan pada tahun 2021 mencapai 118 kasus.
Ia menerangkan, penyebab tingginya angka pernikahan dini di Batola bermacam-macam di antaranya akibat budaya kemudian orang tua yang ingin lepas tanggung jawab, juga dampak dari pandemi COVID-19 yang menghendaki anak-anak banyak di rumah dan tidak sekolah.
“Terutama sekali akibat ketidaktahuan para orang tua tentang usia perkawinan diaturan terbaru yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 19 tahun juga untuk perempuan, sedangkan di aturan terdahulu sebelum mengalami perubahan yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah 16 tahun untuk perempuan,” jelasnya.
Menurut dia, solusi atau langkah yang diambil untuk menekan tingginya angka pernikahan dini tersebut adalah syarat adanya rekomendasi dari DPPKBP3A Batola yang diajukan oleh Pengadilan Agama setempat.
“Jadi pasangan yang akan menikah di KUA/Pengadilan Agama terlebih dahulu harus ada rekomendasi dari kami. Bila memenuhi syarat, rekomendasi diberikan, tetapi bila tidak memenuhi syarat rekomendasi tidak diberikan, seperti tahun 2021 ada 118 yang kami tolak karena tidak memenuhi syarat khususnya dari segi usia,” jelasnya.
"Banyak dampak negatif atau permasalahan yang timbul akibat kawin muda, seperti masalah reproduksi, stunting, pemenuhan ASI ekslusif serta kemiskinan," bebernya di hadapan tidak kurang dari 50 orang warga dan tokoh masyarakat Desa Semangat Dalam dan sekitarnya yang mengikuti kegiatan sosialisasi/penyebarluasan peraturan tersebut.
Legislator : persoalan perkawinan dini tanggung jawab bersama
Minggu, 16 Januari 2022 18:33 WIB