Rantau (ANTARA) - Pekerja jasa angkutan batu bara mengaku merugi terimbas sengketa sepetak tanah antara PT Tapin Coal Terminal (TCT) dan PT Antang Gunung Meratus (AGM) yang belum kunjung selesai.
Aksi penutupan jalan dilakukan oleh PT TCT, membuat angkutan batu bara terhenti sejak 24 November lalu hingga sekarang.
Lokasinya berada di KM 101, Desa Tatakan, Kecamatan Tapin Selatan. Jalan menuju pelabuhan PT AGM itu dihalangi menggunakan truk pengangkut air dan bergaris polisi.
Di atas tanah sengketa seluas 16 kali 125 meter itu tergantung spanduk bertulis, “ Tanah ini milik PT Tapin Coal Terminal, dalam pengawasan kuasa hukumnya M. A Wibisono. Dilarang masuk / melintas tanpa izin !!. Memaksa masuk dengan merusak ke dalam wilayah ini melanggar ketentuan pasal 167 Jo. Pasal 406 KUHP,”.
Ratusan pekerja jasa angkutan yang bekerja sudah melakukan upaya menyampaikan keluh kesahnya kepada PT AGM dan ke DPRD Tapin rencananya dijadwalkan masuk Badan Musyawarah (Banmus).
Novarein, pemilik angkutan CV Sarana mewakili pekerja angkutan lain baik sopir dan tongkang, menyuarakan bahwa mereka mengalami kerugian dan kehilangan penghasilan akibat aktivitas penutupan jalan itu.
"Sudah lebih dari lima hari sejak jalan hauling diblokade pada 27 November lalu, penghasilan kami nol. Ada ratusan keluarga yang bergantung hidup dari usaha pengiriman batu bara di PT AGM. Situasi ini sangat berat bagi pekerja kecil seperti kami. Karena itu, kami datang ke AGM untuk meminta bantuan agar dapat bekerja kembali," ungkapnya, Kamis, (2/12).
Setelah sekian lama, polemik yang baru pecah di penghujung tahun 2021 ini, membuat para pekerja jasa angkutan yang bergantung hidup ke PT AGM itu gelabakan dan bingung harus bertindak. Mereka meminta agar ada solusi, sementara proses sengketa masih berlanjut.
"Kenapa tiba-tiba sekarang diblokade oleh TCT, itu juga yang membuat kami bingung. Mengapa baru sekarang ada persoalan, setelah lebih dari 10 Tahun semuanya lancar. Pak Kapolda tolong bantu kami untuk bekerja kembali dengan mencabut police line Polda Kalimantan Selatan dan blokade PT TCT," katanya.
Menakar kerugian, rata rata setiap hari, dari lokasi tambang ke pelabuhan PT AGM, sopir angkutan bisa membawa 3 – 4 rit batu bara.
Dari setiap pengiriman batu bara, mereka mendapatkan penghasilan sekitar Rp375 ribu-Rp500 ribu per hari. Setiap hari, terdapat lebih dari 1.000 ritase yang melibatkan ratusan sopir yang bekerja untuk mengangkut batu bara milik PT AGM ke pelabuhan. Dan kemudian dilanjutkan pengirimannya dengan tongkang.
Pemilik tongkang yang bermitra dengan PT AGM juga mengungkapkan kerugiannya. Rata rata dalam tiga hari tongkangnya mendapat jatah sekali angkut.
“Kerugian satu rit 20 juta. Apabila tidak bisa mengangkut sampai sebulan, bisa rugi sampai ratusan juta,” ujar pekerja itu.
PT AGM selaku pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan sebagai objek vital nasional, merespon permasalahan itu.
"Kami sudah sangat lama bekerjasama dengan para sopir dan pekerja tongkang ini dan sangat memahami situasi sulit yang mereka alami. Blokade jalan hauling batu bara di KM 101 Tapin juga sangat merugikan AGM dan banyak pelaku usaha lainnya. Kami berusaha agar persoalan ini segera selesai sesuai koridor hukum yang berlaku," jelas Bueno J, perwakilan Legal Department PT AGM.
Terkait tanah yang dipersoalkan oleh TCT, pada 24 November 2021, PT AGM telah mengajukan gugatan perdata atas perjanjian 2010 di Pengadilan Negeri Tapin.
Langkah hukum itu, kata Bueno, dilakukan perusahaannya untuk mendapatkan kepastian hukum atas kesepakatan kerjasama yang sudah berjalan sejak tahun 2010 lalu.
“AGM selalu menghormati dan menjalani setiap proses hukum yang ada. Itu sebabnya, AGM mengajukan gugatan perdata atas perjanjian 2010 dengan PT Anugerah Tapin Persada (ATP) yang kini sudah beralih ke TCT. Sebagai negara hukum, kami percaya bahwa pengadilan adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan kepastian dan menyelesaikan persoalan hukum ini secara adil dan benar,” ujarnya.
Dalam pertemuan dengan pekerja jasa angkutan itu, manajemen PT AGM juga berpesan kepada mereka agar tidak bertindak anarkis dan melanggar hukum.
“PT AGM akan bekerja keras, sesuai koridor hukum yang berlaku, agar keinginan para sopir dan pekerja tongkang untuk dapat bekerja kembali mengangkut batubara milik perusahaan segera terwujud. Karena sesungguhnya Perjanjian 2010 terkait penggunaan tanah di KM 101 masih berlaku hingga saat ini,” ujarnya.
Sengketa lahan
PT AGM dan PT TCT sudah terikat perjanjian kerjasama penggunaan tanah untuk jalan hauling batubara di KM 101 Tapin. Perjanjian itu sudah diteken pada 2010 lalu antara PT AGM dengan PT Anugerah Tapin Persada (ATP) yang saat itu dalam pailit. Dalam proses lelang, kepemilikan ATP beralih ke pada Bara Multi Pratama (BMP) yang kemudian menjualnya kembali ke TCT pada 2010 hingga saat ini.
"Sesuai kesepakatan kerjasama perjanjian 2010 antara PT AGM dan ATP saat itu, pengalihan kepemilikan tanah tidak serta merta akan menghapuskan perjanjian itu dan tetap mengikat pemilik baru. Artinya kesepakatan penggunaan tanah di KM 101 akan tetap berlaku meski ada pemilik baru. Dan itu yang telah terjadi sejak 2010 sampai saat ini," kata Bueno J, perwakilan Legal Department PT AGM, Kamis, (2/12).
Sisi lain, Legal dan kuasa hukum PT TCT Sandy Noval pernah mengatakan, pihaknya melakukan penutupan jalan angkutan batu bara di Desa Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan karena mempunyai hak atas kepemilikan lahan.
"Tanah didapatkan berdasar hasil lelang Tahun 2010," ujarnya, dilokasi saat melakukan aksi, Rabu, (14/10/2021)
Aksi penutupan jalur angkutan batu bara itu, dikatakannya sebagai langkah penguasaan atas kepemilikan tanah.
"Segala negosiasi maupun konsolidasi yang dilakukan antara PT TCT dan PT AGM maupun PT Baramulti itu agar dilaksanakan ditahap manajemen pusat," ujarnya.
"Terkait tuntutan itu ranahnya manajemen pusat," ujar perwakilan perusahan yang bergerak dibidang jasa terminal batu bara dan angkutan itu.
Baca juga: PT TCT tutup jalan batu bara PT AGM terkait sengketa lahan