Jayapura (ANTARA) - Ketika hujan mendadak membasahi tanah berkapur di pinggir sebuah sungai warna biru jernih Selasa sore 5 Oktober lalu seorang pemuda bergegas mendekati ANTARA yang berteduh menghindari air hujan.
Dia tak sekadar berteduh karena kemudian justru mengajak ANTARA mengobrol lama.
Pemuda yang mengenalkan diri sebagai Kalep Buwe mulanya hanya membicarakan keindahan Kali Biru di Kampung Berap, Distrik Nembokrang, Kabupaten Jayapura, sekitar 2,5 jam dari pusat kota Jayapura.
Sesuai Namanya, Kali Biru adalah sungai yang mengalir jernih kebiruan yang diciptakan oleh dasar sungainya.
Ada banyak tempat seperti ini di Indonesia, tetapi Kali Biru di Kampung Berap ini lumayan populer di Kabupaten Jayapura, juga bagi sebagian warga Kota Jayapura.
Tetapi jelas situs wisata ini kalah populer dibandingkan dengan misalnya Kali Biru Warsambin di Raja Ampat, Papua Barat.
Cuma berbeda dengan Kali Biru Warsambin di mana orang mesti terlebih dahulu menyusuri hutan sebelum bisa mendapati sungai yang memang ada di tengah hutan itu, untuk mencapai Kali Biru Kampung Berap hanya ditempuh dengan melalui jalan yang sesekali saja membelah hutan.
Kali Biru Kampung Berap juga jernih menyala sampai-sampai dasar sungai dan ikan yang berenang di dalamnya pun terlihat jelas.
"Banyak orang datang ke sini untuk mandi karena airnya bersih menyegarkan, tak seperti air kota Jayapura," kata Kalep yang masih berusia 26 tahun dan putra tetua adat pengelola situs wisata ini.
Kali BIru berhulu di gunung dan bukit rendah dipenuhi pepohonan, tetapi air keluar begitu saja dari tanah. Mungkin dari sungai bawah tanah, mungkin juga karena resapan air yang ditahan pohon-pohon besar di Papua yang vital bagi sistem paru-paru dunia.
Keluarga besar Kalep dari fam Buwe berinisiatif mengelola salah satu titik dari sekian banyak spot pariwisata di Papua yang tak banyak terekspos ini.
Air sungai ini mengalir alami menembus tanah, bebatuan dan bahkan cadas. Persis di bagian sungai di mana air membentuk kolam alam, Kalep dan keluarga besarnya mengusahakan situs wisata ini.
Aliran sungai selebar sekitar empat meter ini sendiri bercabang dua tepat sebelum kolam alam tersebut. Satu mengalir ke hulu, satu lagi menembus cadas membentuk gorong-gorong alami.
Di hulunya, sungai ini menyatu dengan sungai lebih besar yang warnanya kadang keruh seperti umumnya warna sungai.
Sampah dan tiket parkir
Kali Biru Kampung Berap masih dikelola secara tradisional, secara adat. Berbeda dari kawasan lain di Indonesia, pemerintah daerah tak bisa turut campur terlalu jauh jika sudah menyangkut wilayah adat, termasuk Kali Biru yang diusahakan fam Buwe.
Yang bisa dilakukan pemerintah hanya membantu memperbaiki akses jalan atau menyediakan fasilitas pendukung seperti pemondokan dan pengelolaan parkir.
Tapi soal parkir ini pada praktiknya kebanyakan tak terurus dengan baik, bahkan acap orang bebas memungut mereka yang dianggapnya pelancong. Seringnya ini tidak disertai tiket parker. Belum lagi, soal tarif parker yang sepertinya sekenanya.
Soal bukti parkir agaknya menjadi persoalan khas tempat-tempat wisata Papua. Di Bukit Tungku Wiri di Distrik Waibhu, Kabupaten Jayapura misalnya, di mana orang lebih mengenalnya dengan nama Bukit Teletubbies, juga terjadi seperti ini.
Belum lagi masalah sampah yang ditinggalkan pelancong, yang juga ditemui di Bukit Teletubbies.
"Tak apa, kami setiap sore ke atas bukit memunguti sampah-sampah itu," kata Toni Daimoe, penjaga gerbang Bukti Tungku.
Padahal Minggu pekan lalu itu ANTARA datang sebagai salah satu pengunjung yang paling pagi menyusuri rangkaian bukit indah di tepi Danau Sentani tersebut.
Dan sepanjang jalan, sampah berserakan di beberapa titik yang terlalu banyak untuk bisa dibuang oleh tidak lebih dari sepuluh orang yang pertama datang ke situs wisata ini. Sampah-sampah ini malah terlihat bekas ditinggalkan pengunjung-pengunjung sehari sebelumnya atau bisa jadi lebih lama lagi.
Sementara itu, di pinggir Kali Biru Kampung Berap, Kalep tak henti bercerita.
Dia kini berbicara soal wembuaa, sejenis arwana kecil-kecil, dan kepiting khas Kali Biru yang juga kecil-kecil.
"Ikan-ikan itu tak kami makan," kata Kalep. "Karena yang kami makan ikan-ikan besar, seperti kakap tawar, gurame dan mujair yang ada di kali ini."
Kalep dan orang-orang sekampungnya awalnya tak tahu dua ikan kecil itu memiliki nilai jual tinggi.
Manakala seseorang di Jakarta yang dia panggil “abang” memperlihatkan sejenis ikan yang belum berhasil ditemukannya di tempat mana pun saat itu, Kalep segera mengenalinya.
"Ikan ini ada di sungai ini bang," kata Kalep begitu "si abang" mengirimkan foto sejenis ikan hias lewat ponselnya.
Sentuhan manajemen
Kalep mengklaim wembuaa hanya ada di Kali Biru Kampung Berap. ANTARA yang berusaha memastikannya lewat berselancar di Internet pun berulang kali gagal menemukan referensi soal ikan ini, termasuk bentuk ikan ini.
Ikan wembuaa muncul malam hari ketika sudah tak ada pengunjung wisata di Kali Biru.
Kalep sudah mengirimkan sekitar 1.000 ekor wembuaa ke Jakarta, ditambah kepiting hias Kali Biru sebanyak 500 kg.
Tak cuma itu, Kalep dan keluarga besarnya dari fam Buwe juga mengusahakan tanaman hias, khususnya bunga batik dan janda bolong. Dua jenis bunga ini semestinya menarik kalangan pecinta tanaman hias.
Cerita Kali Biru Kampung Berap itu menegaskan banyak sekali potensi wisata dan ekonomi di Papua. Tetapi sebagaimana banyak situs wisata lainnya di provinsi paling timur Indonesia ini Kali Biru Kampung Berap masih diusahakan secara adat.
Untuk satu sisi, formula ini efektif dalam melibatkan masyarakat sekitar berperan serta untuk pengembangan pariwisata, tetapi di sisi lain menjadi kendala dalam memajukan lebih jauh lagi situs-situs wisata Papua.
Pemerintah daerah memang bisa membantu mengelola situs wisata kelolaan adat, namun kerap minimal sekali, semisal hanya menyediakan pemondokan dan penataan lahar parkir yang pada praktiknya pun tetap dikelola masyarakat setempat tanpa administrasi yang jelas.
Di satu sisi peran serta adat bisa memastikan kearifan lokal terpelihara dan masyarakat bisa aktif mengelola dunia wisata. Namun di lapangan, memajukan dunia pariwisata tak cukup dengan itu.
Perlu ada sentuhan modernitas dan pengelolaan kepariwisataan yang melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan pastinya investor.
Pola seperti itu merupakan keniscayaan dalam upaya mengembangkan kepariwisataan di mana pun, agar misalnya ketika ada peristiwa-peristiwa tertentu, katakanlah PON Papua 2021, situs-situs wisata kecipratan dikunjungi masyarakat, khususnya luar Papua.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sendiri awal September lalu mengharapkan PON Papua membangkitkan ekonomi dan pariwisata Papua.
"Demi meningkatkan kesejahteraan yang ada di sekitar objek wisata," kata Sandiaga.
Perlu penelusuran lebih dalam guna mengenali akar pengelolaan wisata di Papua karena di sini terlalu banyak situs wisata yang seharusnya bisa diusahakan lebih maju lagi, bahkan bisa secanggih Bali.
Intinya, kearifan lokal memang perlu dan mengayakan, tetapi manajemen modern tetap merupakan kebutuhan mendesak agar apa pun, termasuk pariwisata, berkembang luas sehingga menyejahterakan masyarakat seperti disebut Sandiaga.