Oleh Gunawan Wibisono
Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Mantan Direktur Utama (Dirut) Rumah Sakit Anshari Saleh (RSAS) Banjarmasin, oleh pihak Penyidik Tindak Pidana Korupsi Satreskrim Polresta Banjarmasin, statusnya dari saksi ditingkatkan menjadi tersangka.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banjarmasin, Kompol Afner Juwono Sik di Banjarmasin, Jumat membenarkan, pihaknya telah menetapkan Dirut RSAS tersebut menjadi tersangka.
Namun atas pertimbangan lainnya, Dirut tersebut tidak dilakukan penahanan dan hanya diberikan wajib lapor seminggu sekali setiap Kamis untuk menghadap penyidik.
Dikatakan, Dirut RSAS yang ditetapkan sebagai tersangka itu diketahui berinisial LM dan tersangka diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan tambah daya listrik di rumah sakit tersebut.
"Penetapan LM sebagai tersangka itu sudah dilakukan sejak 16 Desember 2013, dan sekarang berkas masih dalam penyusunan oleh pihak penyidik guna kelengkapan berkas itu sendiri," terangnya kepada Antara.
Afner juga mengatakan, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tambah daya listrik di RSAS tersebut, pihak penyidik telah menetapkan dua tersangkan, yang pertaman dari pihak rekanan dan kedua Dirut RSAS itu sendiri.
Saat ini semua masih dalam proses hukum, guna mengungkap kasus yang didalamnya disinyalir adanya mark up dari anggaran yang telah disiapkan dan diambil dari dana APBD Kalsel 2011.
"Kita akan terus melakukan penyidikan dalam kasus ini, dan beberapa saksi sudah kita lakukan pemeriksaan dan tidak menutupi kemungkinan ada penambahan tersangka nantinya," tutur pria lulusan Akpol angkatan 2000 itu.
Untuk diketahui, kasus ini bermula dari Unit Tindak Pidana Korupsi Polresta Banjarmasin melakukan penyelidikan proyek pengadaan tambah daya listrik di rumah sakit tersebut.
Diketahui dari penyelidikan itu dan dari hasil pengumpulan bahan dan keterangan serta data yang diperoleh, terlihat adanya mark up atau penyelewengan dana yang telah dianggaran dalam proyek tersebut.
Untuk data pengadaan tambah daya listrik tahap pertama di RSAS, dari 146 KVA menjadi 197 KVA dengan anggaran sebesar Rp 27.575.000. Namun yang dibayarkan ke pihak PLN hanya sebesar Rp 25.575.000 sehingga terjadi selisih sekitar Rp 2.000.000 dan dari selisih itu diperkirakan adanya dugaan korupsi.
Selanjutnya pengadaan daya tahap kedua, dari 197 KVA menjadi 555 KVA dengan nilai kontrak sebesar Rp 304.300.000, namun yang dibayarkan kepihak PLN hanya sebesar Rp 180.790.000 sehingga terjadi selisih sekitar Rp 123.510.000.
Atas adanya selisih itu, maka kasus ini terus berlanjut, hingga ke proses hukum yang lebih tinggi, dan dari hasil Pemeriksaan BPKP terdapat kerugian negara sekitar Rp 300 jut lebih.