Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anggota Komisi IV Bidang Kesra Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Selatan Misri Syarkawie berpendapat, perkawinan usia dini sebuah dilematis.
     
Pendapat tersebut menjawab Antara Kalimantan Selatan (Kalsel) di Banjarmasin, Jumat berkaitan perkawinan usia dini di provinsinya, seperti terjadi di Kabupaten Tapin baru-baru ini.
     
Perkawinan usia dini di "Bumi Ruhui Rahayu" Tapin belakangan ini ramai menjadi pembicaraan masyarakat, dan bahkan sebagai konsumsi publik dengan masuknya dalam acara "hitam putih" salah satu televisi swasta di Indonesia.
   
Menurut  dia, pada dasarnya Islam tidak melarang perkawinan usia dini asalkan yang bersangkutan sudah akil baligh sesuai ketentuan syar'i, seperti perempuan sudah haid (mins), alumnus Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin itu. 
     
Sebagaimana perkawinan usia dini di Tapin secara syariah, baik si laki-laki maupun perempuannya sudah memenuhi, tutur mantan Ketua Umum Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalimantan tersebut.
     
"Oleh sebab itu, mungkin baik si anak maupun orang tua mereka lebih baik mengawinkan daripada berbuat sesuatu yang terlarang sesuai ajaran Islam. Terlebih kalau kedua anak tersebut sudah mengarah pergaulan bebas," ujarnya.
     
Sementara dari sisi lain, misalnya pendidikan atau pola kedewasaan berpikir mungkin belum memadai kalau kelak menjadi seorang ayah dan ibu dalam sebuah keluarga.
     
Begitu pula dari segi perekonomian, dengan kedewasaan anak itu kemungkin belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga untuk hidup layak supaya tidak menimbulkan permasalahan keluarga di kemudian hari.
     
"Sedangkan Indonesia bukan negara Islam, namun pemerintahannya menginginkan generasi bangsa memiliki masa depan yang lebih baik, dan salah satu upaya menata/mengatur perkawinan," lanjut mantan redaktur senior Harian Umum Kalimantan Post.
     
Sebagai contoh melalui peraturan perundang-undangan melarang perkawinan usia dini atau di bawah umur, seperti perempuan minimal 18 tahun, karena berisiko tinggi dalam melahirkan bagi mereka berusia muda.
     
"Oleh karenanya menjadi tugas kita semua, baik keluarga/orang tua maupun masyarakat sekitar serta pemerintah daerah setempat agar tidak terjadi perkawinan usia dini," demikian Misri Syarkawie.
     
Pada kesempatan terpisah, mantan Ketua Gerakan Pemuda Pembatasan Pertumbuhan Penduduk atau Youth Movement Zero Population Growth (ZPG) Kalsel Syamsuddin Hasan berpendapat, guna menghindari perkawinan usia dini perlu wadah aktivitas positif bagi generasi muda.
     
"Penyediaan wadah tersebut pada dasarnya menjadi kewajiban pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan partisipasi swasta atau masyarakat sendiri," ujar mantan Ketua Umum Ikatan Pers Mahasisw Indonesia (IPMI) Cabang Banjarmasin yang mewilayahi Kalsel dan Kalimantan Tengah itu.
     
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu secara sekilas menerangkan pesan-pesan ZPG yaitu tunda perkawinan, tunda kelahiran anak pertama, tunda kelahiran anak kedua, dan stop dua anak.
 

Pewarta: Syamsudin Hasan

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018