Awan di langit Desa Pulau Sewangi, Kecamatan Alalak Banjarmasin Kalimantan Selatan sore itu sedikit mendung, namun cuaca yang terlihat mulai tidak bersahabat itu tidak memengaruhi semangat Makruf menyelesaikan kapal pesanan dari Kementerian Perikanan dan Kelautan.

Peluh yang sedikit membasahi wajahnya tidak dipedulikan, lelaki paruh baya itu terus bekerja, agar perahu pesanan itu bisa selesai sesuai janjinya kepada si pemesan.

Makruf adalah salah satu perajin kapal di antara ratusan warga di pulau kecil tersebut yang menggantung ekonomi keluarga dari pekerjaan sebagai pembuat perahu atau dalam Bahasa Banjar "jukung".

 Tidak banyak warga Banjar yang tahu tentang keterampilan yang dimiliki masyarakat pulau tersebut, kendati jarak Pulau Sewangi dengan Banjarmasin cukup dekat, hanya dibatasi sebuah sungai yang merupakan anak Sungai Barito.

Tak sampai setengah jam menyeberangi sungai, para pendatang akan langsung disambut bunyi gaduh bor, kayu yang dipukul-pukul, gergaji, dan lainnya.

Pulau Sewangi merupakan pusat pembuatan kapal kayu di Indonesia, bahkan pada era 1990-an pemerintah pernah mengikutkan perahu-perahu buatan perajin Pulau Sewangi ini pada ajang pameran internasional.

Malah beberapa negara di Eropa pernah memesan perahu pada perajin di pulau tersebut salah satunya Norwegia, sedangkan pemesan dari luar Kalsel tidak terhitung lagi jumlahnya.

Keterampilan warga Pulau Sewangi membuat perahu tidak diperoleh dari pendidikan khusus, melainkan mereka mendapatkannya secara otodidak yakni warisan nenek moyang yang diturunkan kepada anak cucu mereka.

Kondisi alam yang membuat warga di pulau itu harus pandai membuat perahu, karena pulau yang mereka tempati dikelilingi sungai dan satu-satunya alat transportasi yang praktis dan murah adalah perahu.

Sayangnya, kejayaan industri perahu di pulau itu kini sedikit meredup, karena perajin sekarang kesulitan bahan baku utama yakni kayu.

Kondisi tersebut berbeda dibanding 1990-an di mana Kalsel salah satu provinsi yang menjadi "surganya" kayu nasional.

Menipisnya bahan baku itulah, yang membuat perajin tidak bisa memenuhi permintaan pesanan, sehingga terpaksa sebagian tukang yang sebelumnya bekerja sebagai pembuat kapal kini mencari pekerjaan lain seperti menjadi kuli bangunan atau pekerjaan kasar lainnya.

 Manfaatkan Kayu Limbah Kesulitan mendapatkan bahan baku kayu membuat sebagian besar industri perahu di pulau yang terletak di pinggiran Sungai Barito tersebut terhenti pada 2007-2009.

Ribuan lelaki penduduk desa yang sebelumnya bekerja sebagai perajin kapal jukung, menganggur dan terpaksa keluar desa untuk mendapatkan pekerjaan lain, baik itu menjadi petani maupun buruh bangunan.

Namun sejak awal 2010, industri tersebut kembali bergeliat, setelah beberapa perajin mampu memanfaatkan kayu limbah yang didapat dari sisa perusahaan.

"Kalau pesanan sih cukup banyak, namun kita kan tidak selalu bisa menerima, karena kayu belum tentu ada, kalaupun ada harganya cukup mahal," katanya.

Kini warga yang masih bertahan dengan industri itu harus pintar mencari bahan baku kayu limbah dengan cara membeli dari sisa industri kayu sawmil yang ada di daerah tersebut.

 Namun konsekuensinya, karena harga kayu limbah ternyata juga mahal terpaksa perajin menaikkan harga perahu agar tetap memperoleh keuntungan, tapi berakibat merosotnya jumlah pemesan.

 "Kondisi industri jukung sekarang sulit, sangat jauh berbeda dibanding dulu, kayu sangat susah didapat," kata Makruf.

Makruf mengaku untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai perajin perahu dia juga bercocok tanam di sawahnya yang tidak terlalu luas.

Namun Makruf dan warga lainnya di pulau itu untuk sementara sedikit lega, karena pada awal 2010 Kementerian Perikanan dan Kelautan memberikan orderan berupa pembuatan kapal untuk para perajin sebanyak 24 kapal pencari ikan, asap dapur pun bisa mengepul untuk sementara waktu.

Menurut Makruf setiap pembuatan satu kapal pesanan dari Kementerian tersebut, dia dan tiga anggota kelompoknya bisa menyelesaikan dalam waktu antara tiga sampai empat bulan dengan upah Rp50 juta per kapal.

Selain Makruf, beberapa warga yang tergabung dalam kelompok lainnya, juga mendapatkan jatah proyek pembuatan kapal yang rencananya akan berlangsung hingga 2014.

Haji Salmin, salah satu juragan kapal di pulau itu berharap pemerintah bisa memberikan solusi terhadap masalah kelangkaan bahan baku, minimal dengan memberikan dispensasi atau kemudahan surat menyurat pengiriman kayu antarprovinsi.

 "Kalau pesanan sangat banyak, namun beberapa di antaranya terpaksa kita tolak, karena harganya bahan baku kayu sangat mahal," katanya.

Begitu juga dengan proyek Kementerian Perikanan tersebut, kalau bahan baku kayunya habis, terpaksa pekerjaan juga tidak bisa dilanjutkan.

 Beruntung, tambah dia, saat ini pihaknya mendapatkan kayu limbah dari beberapa perusahaan sawmil di sekitar wilayah tersebut dan beberapa dari Kalimantan Tengah.

Bukan hanya industri jukung, industri kayu di Kalsel dalam beberapa tahun terkahir juga terus terpuruk. Perusahaan kayu yang sebelumnya tidak kurang dari 40 perusahaan kini tinggal sekitar lima perusahana yang bertahan.

Begitu juga dengan HPH yang sebelumnya mencapai puluhan kini tersisa tidak lebih dari lima perusahaan. Mengatasi hal tersebut, Dinas Kehutanan Kalsel berupaya untuk kembali melakukan penanaman terutama untuk lokasi kawasan hutan rakyat dengan kayu-kayu untuk memenuhi kebutuhan industri. /B/C/

Pewarta: Ulul Maskuriah

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2012