Memiliki luas wilayah dan potensi lahan pertanian cukup luas bukan menjadi jaminan bahwa daerah tersebut mampu mencukupi kebutuhan bahan pangan sendiri dan terbebas dari rawan pangan.
Seperti halnya Kotabaru, kabupaten yang berpenduduk sekitar 290 ribu jiwa itu kini masih terus mendatangkan bahan kebutuhan pokok berupa beras dari daerah dan provinsi lain di Indonesia.
Meskipun pemerintah daerah setempat mengklaim, sejak 2007 Kotabaru telah berswasembada beras.
Namun nyatanya di lapangan, pedagang besar dan distributor di Kotabaru, masih terus mendatangkan berbagai macam jenis beras dari kabupaten lain di Kalsel dan Pulau Jawa yang rata-rata mencapai kisaran 400 ton per bulan.
Bahkan Bulog Kotabaru dalam memenuhi kebutuhan beras bagi rumah tangga miskin (raskin) di daerah itu sebagian besar masih mendatangkan beras dari daerah lain di Kalsel dan Sulawesi.
Kepala Bulog Kotabaru Rony Hadianto, menuturkan, mulanya Bulog berencana membeli beras dari petani lokal untuk memenuhi kebutuhan beras raskin di daerah itu.
"Namun kenyataanya, harga beras di lapangan Rp4.500 lebih tinggi dibandingkan dengan harga ketetapan pemerintah Rp4.060 per kg," katanya.
Sekretaris Dinas Pertanian Kotabaru Khairuddin, menjelaskan, masuknya beras dari kabupaten dan provinsi lain ke Kotabaru bukan berarti produksi beras di Kotabaru tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, tetapi faktor selera.
"Karena masyarakat Kotabaru ini berasal dari berbagai suku di Indonesia, sehingga seleranya pun berbeda-beda," kata dia.
Mayoritas, menurut Khairuddin, beras yang didatangkan dari Pulau Jawa jenis beras pulen, sementara sebagian besar produksi beras di Kotabaru beras jenis 'Banjar' yang agak keras.
Dia menegaskan, masuknya beras luar ke Kotabaru tidak dapat dijadikan patokan bahwa Kotabaru kekurangan bahan pangan sehingga dapat mengakibatkan rawan pangan.
Berdasarkan data 2008, di Kabupaten Kotabaru masih terdapat delapan daerah kecamatan masuk kategori rawan pangan.
Delapan daerah kecamatan rawan pangan tersebut di antaranya, Kecamatan Pulau Laut Utara, Pulau Laut Barat, Kelumpang Barat, Kelumpang Hilir, Sampanahan, Sungai Durian dan Pulau Sembilan.
Rawan pangan di delapan kecamatan di Kotabaru, menurut Kabid Ekonomi dan Ketahanan Pangan, Kamrul Haspandi, kala itu mengatakan, bukan berarti tidak ada bahan pangan.
Akan tetapi daerah-daerah itu sangat tergantung dengan cuaca dan gelombang laut, jika terjadi ombak besar dan angin kencang, transportasi akan terganggu dan pasokan sembako terhenti.
Secara umum, kelancaran transportasi di wilayah Kotabaru sangat mempengaruhi ketersediaan barang kebutuhan rumah tangga, terutama sembilan bahan pokok (Sembako).
Hingga 2008 Kotabaru masih membutuhkan pasokan beras dari luar daerah, utamanya Pulau Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 5.476 ton per tahun.
Dari hasil lahan pertanian yang dimiliki Kotabaru 2008 seluas 18.990 ha hanya mampu memproduksi beras 59.762 ton, sementara kebutuhan beras rata-rata mencapai 65.238 ton per tahun.
Sementara itu, beberapa tahun terakhir untuk mengatasi rawan pangan dan anjloknya harga gabah di tingkat petani saat panen raya, pemerintah daerah mengucurkan dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM-LUEP) sebesar Rp400 juta.
Langkah tersebut dilakukan untuk menjaga kestabilan harga gabah, dengan mengucurkan dana talangan pembelian gabah kepada kelompok tani melalui dana LUEP.
Dijelaskan, dengan dana Rp400 juta tersebut petani dapat membeli gabah dua kali putaran/panen sekitar 320 ribu ton gabah kering giling dengan harga rata-rata Rp2,400-Rp2,500 per kg.
Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kotabaru H Abdul Hamid menjelaskan, pada 2010 ini, Pemkab Kotabaru mulai melaksanakan pemetaan daerah rawan pangan dan penanggulangannya.
Setelah mendapatkan daerah rawan pangan, masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menyusun program sesuai dengan bidangnya untuk bersama-sama meningkatkan kesejahteraan dan daya beli masyarakat di daerah rawan pangan.
Dinas Kesehatan dapat memberikan makanan tambahan/asupan makanan bagi masyarakat atau balita yang menderita kurang gizi akibat rawan pangan.
Sedangkan Dinas Pertanian dapat memberikan bantuan saprodi atau program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) atau sejenisnya untuk menjaga harga gabah atau beras tidak jatuh pada saat panen.
Untuk jangka panjang, Dinas Perkebunan dapat membuka program revitalisasi perkebunan tanaman karet, kelapa sawit atau yang lainnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di lokasi rawan pangan.
Dengan peran aktif SKPD-SKPD itu, secara bertahap daya beli dan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan pangan akan meningkat.
Mandiri Pangan.
Hamid menjelaskan, untuk mengatasi agar tidak terjadi rawan pangan, Kabupaten Kotabaru 2010 membentuk desa mandiri pangan (mapan).
Tujuan pembentukan desa mapan pangan adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya yang dimiliki atau yang dikuasainya untuk mencapai kemandirian pangan rumah tangga dan masyarakat.
Sasaran dari program tersebut adalah rumah tangga miskin di desa rawan pangan agar dapat mewujudkan kemandirian pangan masyarakat.
"Dari sekitar 201 kelurahan dan desa di Kotabaru terdapat sekitar 37 desa yang dinilai rawan pangan karena angka kemiskinannya lebih dari 30 persen," jelas Hamid.
Dia menerangkan, untuk mendorong agar desa-desa tersebut terbebas dari rawan pangan, pemerintah mengucurkan dana bantuan dan dana pinjaman modal melalui Lembaga Pengembangan Distribusi Masyarakat (LPDM), Dana Pinjaman Modal, Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP).
Untuk program bantuan sosial, pemerintah memberikan bantuan dana di tiga kecamatan, Pulau Laut Barat, Pulau Laut Tengah dan Pulau Laut Timur, masing-masing Rp150 juta.
Dana tersebut digunakan untuk lumbung sebesar Rp30 juta, untuk ketahanan pangan Rp10 juta dan sisanya Rp120 juta untuk jual beli gabah.
"Dana tersebut untuk menstabilkan hatrga gabah di tingkat petani agar tidak jatuh saat panen raya," tandasnya.
Pada 2010 ini, dana bantuan itu ditambah Rp75 juta sehingga menjadi Rp225 juta per kecamatan.
Hamid menambahkan, pemerintah juga masih menyediakan dana talangan dan dana yang lain khusus untuk daerah rawan pangan.
Khusus untuk desa mandiri pangan Desa Hampang dan Desa Cantung Kiri Hulu Kecamatan Hampang mendapatkan bantuan masing-masing Rp100 juta.
"Diharapkan desa-desa tersebut empat tahun mendatang bisa mandiri pangan," paparnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2010
Seperti halnya Kotabaru, kabupaten yang berpenduduk sekitar 290 ribu jiwa itu kini masih terus mendatangkan bahan kebutuhan pokok berupa beras dari daerah dan provinsi lain di Indonesia.
Meskipun pemerintah daerah setempat mengklaim, sejak 2007 Kotabaru telah berswasembada beras.
Namun nyatanya di lapangan, pedagang besar dan distributor di Kotabaru, masih terus mendatangkan berbagai macam jenis beras dari kabupaten lain di Kalsel dan Pulau Jawa yang rata-rata mencapai kisaran 400 ton per bulan.
Bahkan Bulog Kotabaru dalam memenuhi kebutuhan beras bagi rumah tangga miskin (raskin) di daerah itu sebagian besar masih mendatangkan beras dari daerah lain di Kalsel dan Sulawesi.
Kepala Bulog Kotabaru Rony Hadianto, menuturkan, mulanya Bulog berencana membeli beras dari petani lokal untuk memenuhi kebutuhan beras raskin di daerah itu.
"Namun kenyataanya, harga beras di lapangan Rp4.500 lebih tinggi dibandingkan dengan harga ketetapan pemerintah Rp4.060 per kg," katanya.
Sekretaris Dinas Pertanian Kotabaru Khairuddin, menjelaskan, masuknya beras dari kabupaten dan provinsi lain ke Kotabaru bukan berarti produksi beras di Kotabaru tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, tetapi faktor selera.
"Karena masyarakat Kotabaru ini berasal dari berbagai suku di Indonesia, sehingga seleranya pun berbeda-beda," kata dia.
Mayoritas, menurut Khairuddin, beras yang didatangkan dari Pulau Jawa jenis beras pulen, sementara sebagian besar produksi beras di Kotabaru beras jenis 'Banjar' yang agak keras.
Dia menegaskan, masuknya beras luar ke Kotabaru tidak dapat dijadikan patokan bahwa Kotabaru kekurangan bahan pangan sehingga dapat mengakibatkan rawan pangan.
Berdasarkan data 2008, di Kabupaten Kotabaru masih terdapat delapan daerah kecamatan masuk kategori rawan pangan.
Delapan daerah kecamatan rawan pangan tersebut di antaranya, Kecamatan Pulau Laut Utara, Pulau Laut Barat, Kelumpang Barat, Kelumpang Hilir, Sampanahan, Sungai Durian dan Pulau Sembilan.
Rawan pangan di delapan kecamatan di Kotabaru, menurut Kabid Ekonomi dan Ketahanan Pangan, Kamrul Haspandi, kala itu mengatakan, bukan berarti tidak ada bahan pangan.
Akan tetapi daerah-daerah itu sangat tergantung dengan cuaca dan gelombang laut, jika terjadi ombak besar dan angin kencang, transportasi akan terganggu dan pasokan sembako terhenti.
Secara umum, kelancaran transportasi di wilayah Kotabaru sangat mempengaruhi ketersediaan barang kebutuhan rumah tangga, terutama sembilan bahan pokok (Sembako).
Hingga 2008 Kotabaru masih membutuhkan pasokan beras dari luar daerah, utamanya Pulau Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 5.476 ton per tahun.
Dari hasil lahan pertanian yang dimiliki Kotabaru 2008 seluas 18.990 ha hanya mampu memproduksi beras 59.762 ton, sementara kebutuhan beras rata-rata mencapai 65.238 ton per tahun.
Sementara itu, beberapa tahun terakhir untuk mengatasi rawan pangan dan anjloknya harga gabah di tingkat petani saat panen raya, pemerintah daerah mengucurkan dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM-LUEP) sebesar Rp400 juta.
Langkah tersebut dilakukan untuk menjaga kestabilan harga gabah, dengan mengucurkan dana talangan pembelian gabah kepada kelompok tani melalui dana LUEP.
Dijelaskan, dengan dana Rp400 juta tersebut petani dapat membeli gabah dua kali putaran/panen sekitar 320 ribu ton gabah kering giling dengan harga rata-rata Rp2,400-Rp2,500 per kg.
Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kotabaru H Abdul Hamid menjelaskan, pada 2010 ini, Pemkab Kotabaru mulai melaksanakan pemetaan daerah rawan pangan dan penanggulangannya.
Setelah mendapatkan daerah rawan pangan, masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menyusun program sesuai dengan bidangnya untuk bersama-sama meningkatkan kesejahteraan dan daya beli masyarakat di daerah rawan pangan.
Dinas Kesehatan dapat memberikan makanan tambahan/asupan makanan bagi masyarakat atau balita yang menderita kurang gizi akibat rawan pangan.
Sedangkan Dinas Pertanian dapat memberikan bantuan saprodi atau program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) atau sejenisnya untuk menjaga harga gabah atau beras tidak jatuh pada saat panen.
Untuk jangka panjang, Dinas Perkebunan dapat membuka program revitalisasi perkebunan tanaman karet, kelapa sawit atau yang lainnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di lokasi rawan pangan.
Dengan peran aktif SKPD-SKPD itu, secara bertahap daya beli dan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan pangan akan meningkat.
Mandiri Pangan.
Hamid menjelaskan, untuk mengatasi agar tidak terjadi rawan pangan, Kabupaten Kotabaru 2010 membentuk desa mandiri pangan (mapan).
Tujuan pembentukan desa mapan pangan adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya yang dimiliki atau yang dikuasainya untuk mencapai kemandirian pangan rumah tangga dan masyarakat.
Sasaran dari program tersebut adalah rumah tangga miskin di desa rawan pangan agar dapat mewujudkan kemandirian pangan masyarakat.
"Dari sekitar 201 kelurahan dan desa di Kotabaru terdapat sekitar 37 desa yang dinilai rawan pangan karena angka kemiskinannya lebih dari 30 persen," jelas Hamid.
Dia menerangkan, untuk mendorong agar desa-desa tersebut terbebas dari rawan pangan, pemerintah mengucurkan dana bantuan dan dana pinjaman modal melalui Lembaga Pengembangan Distribusi Masyarakat (LPDM), Dana Pinjaman Modal, Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP).
Untuk program bantuan sosial, pemerintah memberikan bantuan dana di tiga kecamatan, Pulau Laut Barat, Pulau Laut Tengah dan Pulau Laut Timur, masing-masing Rp150 juta.
Dana tersebut digunakan untuk lumbung sebesar Rp30 juta, untuk ketahanan pangan Rp10 juta dan sisanya Rp120 juta untuk jual beli gabah.
"Dana tersebut untuk menstabilkan hatrga gabah di tingkat petani agar tidak jatuh saat panen raya," tandasnya.
Pada 2010 ini, dana bantuan itu ditambah Rp75 juta sehingga menjadi Rp225 juta per kecamatan.
Hamid menambahkan, pemerintah juga masih menyediakan dana talangan dan dana yang lain khusus untuk daerah rawan pangan.
Khusus untuk desa mandiri pangan Desa Hampang dan Desa Cantung Kiri Hulu Kecamatan Hampang mendapatkan bantuan masing-masing Rp100 juta.
"Diharapkan desa-desa tersebut empat tahun mendatang bisa mandiri pangan," paparnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2010