Kabupaten Tanah Bumbu sebagai salah satu wilayah yang tumbuh cepat di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), sedang menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan ruang.

Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan menjadi tantangan besar yang kini berdampak langsung terhadap keselamatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

Baca juga: 80 desa di Tanah Bumbu rawan bencana alam

Ketika kawasan sempadan sungai diubah menjadi pemukiman, atau lereng curam menjadi tambang terbuka, maka sesungguhnya wilayah tersebut sedang membuka pintu bagi bencana untuk datang lebih sering dan lebih merusak.

Banjir, longsor, hingga kekeringan semakin sering terjadi dan masyarakat yang menanggung akibatnya.

Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga mengguncang kehidupan sosial. Ketika rumah hanyut karena banjir, atau ladang tak lagi subur karena erosi, maka yang hilang bukan sekadar aset, tapi juga harapan.

Para siswa terpaksa berhenti sekolah, kesehatan menurun akibat lingkungan tercemar, dan masyarakat kehilangan mata pencaharian. Ini bukan sekadar masalah teknis perencanaan, melainkan krisis kemanusiaan yang lahir dari cara manusia memperlakukan ruang hidup.

Maka, penataan ruang yang tangguh terhadap bencana bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Kita perlu membangun sistem yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga melindungi kehidupan.

Dan semua itu dimulai dari cara manusia memahami dan merancang ruang.

Baca juga: BPBD Tanah Bumbu ekspose kajian resiko bencana lima tahun ke depan


 
Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tanah Bumbu dan relawan mengevakuasi tanah longsor di Jalan Mentewe yang menghubungkan Kabupaten Tanah Bumbu-Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, Rabu (23/4/2025). (ANTARA/Sujud Mariono)

 



Ketika Ruang Tak Lagi Netral: Menyemai Kesadaran dari Ilmu dan Pengalaman

Penataan ruang adalah cerminan cara kita memperlakukan bumi ini, apakah manusia merawat dengan bijak, atau justru mengeksploitasi tanpa batas.

Di Tanah Bumbu, banyak lahan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung justru dijadikan ladang eksploitasi. Ketika kawasan resapan air diaspal untuk pembangunan, atau hutan ditebang tanpa rencana, maka manusia sedang memutus keseimbangan alam yang sudah terbentuk ratusan tahun.

Baca juga: Tanah Bumbu tekan risiko bencana melalui KSB

Pemikiran seperti ini bisa kita ditemukan pada gagasan social ecological system yang dikembangkan oleh Folke dan rekan-rekannya (2016).

Folke dan rekan-rekannya mengingatkan bahwa manusia dan alam bukan dua hal yang terpisah. Setiap kali manusia mengubah lanskap, maka mengubah pola hidup masyarakat dan kemampuan untuk bertahan menghadapi bencana.

Ketika wilayah tangkapan air rusak, masyarakat tak bisa lagi berharap sungai tidak meluap.

Hal ini sejalan dengan pendekatan risk sensitive land use planning yang disarankan oleh UNDRR (2017).

Perencanaan ruang seharusnya tidak hanya memikirkan di mana bangunan berdiri, tetapi juga seberapa aman tempat itu untuk ditinggali. Data risiko harus menjadi panduan utama, bukan sekadar pelengkap laporan.

Jika masyarakat tahu suatu kawasan rawan longsor, maka seharusnya tidak ada permukiman dibangun di lokasi tersebut, seberapa pun tinggi nilai investasi.

Lalu bagaimana seharusnya masyarakat bersikap? Salah satu solusi melalui pendekatan berbasis alam atau nature based solutions yang digaungkan IUCN (2016).

Ini bukan sekadar teori, tapi ajakan untuk kembali percaya pada kekuatan alam, seperti mangrove yang tumbuh di tepi pantai bisa melindungi desa dari abrasi dan gelombang tinggi atau hutan hujan di perbukitan mampu menahan air agar tak langsung turun deras ke pemukiman.

Ini adalah solusi yang tidak mahal, namun penuh makna.

Karena itu, penataan ruang yang baik adalah penataan ruang yang manusiawi. Ia memadukan pengetahuan ilmiah, kearifan lokal, dan empati pada generasi yang akan datang.

Jika Tanah Bumbu ingin tetap menjadi tempat yang aman dan layak ditinggali, maka cara manusia menata ruang harus berubah dari sekadar mengejar untung menjadi menjaga kehidupan.

Baca juga: Tanah Bumbu tekan risiko bencana melalui KSB
 


 


Arah Strategis: Implementasi Tata Ruang Responsif terhadap Ketidaksesuaian Lahan

Apabila kerangka teoritis memberi pemahaman konseptual, maka strategi implementasi merupakan jawaban praktis. Strategi ini harus menjawab langsung persoalan ketidaksesuaian lahan yang selama ini mengakar di Tanah Bumbu, meliputi:

1. Evaluasi dan Penataan Ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Langkah utama adalah mengkaji ulang peta peruntukan ruang dengan mengintegrasikan data terbaru tentang kawasan rawan bencana, daerah aliran sungai, sempadan pantai, dan zona lindung.

Penyesuaian RTRW harus mengacu pada prinsip land suitability analysis yang berbasis ekologi, bukan sekadar kepentingan investasi.

Baca juga: Puluhan pelajar SMP di Tanah Bumbu ikuti sosialisasi kebencanaan

2. Moratorium Alih Fungsi Lahan di Zona Rawan

Pemerintah daerah perlu menetapkan moratorium terhadap izin pembangunan di wilayah yang telah dikategorikan sebagai rawan bencana atau daerah konservasi.

Penghentian sementara ini penting untuk menghentikan kerusakan yang terus berlanjut, sekaligus memberi waktu bagi proses restorasi ekologis.

3. Penguatan Penegakan Hukum dan Sistem Pengawasan

Selama ini, lemahnya pengawasan dan minim sanksi telah membuat marak pelanggaran tata ruang, sehingga dibutuhkan pembentukan satuan tugas pengendalian pemanfaatan ruang yang bersifat lintas sektor, serta penggunaan teknologi seperti pemetaan GIS dan drone untuk pemantauan di lapangan.

4. Restorasi Kawasan Kritis sebagai Upaya Mitigasi

Penataan ulang ruang harus diiringi dengan rehabilitasi lahan rusak, contohnya reboisasi dengan membuat kawasan hijau, serta normalisasi sungai harus diprioritaskan di wilayah yang mengalami degradasi parah.

Langkah ini tidak hanya mengurangi potensi bencana, tetapi juga memperbaiki kualitas lingkungan jangka panjang.

Baca juga: BPBD Tanah Bumbu rakor hadapi bencana alam

 

Petugas dari BPBD Tanah Bumbu bersawa relawan melakukan evakuasi tanah longsor di Jalan Mentewe beberapa waktu lalu. Jalan tersebut merupakan akses mayarakat menghubungkan Kabupaten Tanah Bumbu-Kabupaten Banjar. Rabu (23/4/2025) (ANTARA/Sujud Mariono)

 



5. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat Terkait Fungsi Ruang

Masyarakat lokal sering menjadi korban dari praktik pembangunan yang salah urus. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat sangat penting guna menjaga kawasan sesuai peruntukan.

Program pendidikan lingkungan, pelatihan pengawasan partisipatif, dan forum warga tentang tata ruang dapat membangun kesadaran kolektif.

6. Kemitraan Multisektor pada Perencanaan dan Pemulihan Ruang

Penataan ulang ruang memerlukan kerja sama lintas aktor melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.

Model collaborative planning memungkinkan setiap pihak berbagi tanggung jawab dan sumber daya untuk menyusun kebijakan yang inklusif dan berbasis bukti.


Penutup: Bertumpu landasan teoritis

Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan struktural dan kebijakan.

Ketika fungsi ruang tidak sesuai dengan kondisi ekologis, maka bencana bukan sesuatu yang tidak terduga, melainkan hasil dari keputusan yang keliru.

Maka dari itu, pembangunan ke depan harus bertumpu pada landasan teoritis yang kuat dan strategi implementasi yang tegas. Menata ulang ruang berarti juga menata ulang cara kita memandang hubungan antara pembangunan, lingkungan, dan keberlanjutan.

Bila hal ini dilakukan secara konsisten, Tanah Bumbu tidak hanya akan menjadi daerah yang berkembang secara ekonomi, tetapi juga tangguh menghadapi bencana dan adil secara ekologis.

 


Penulis: Mahasiswa S3 Program Studi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat


Referensi
Folke, C., Biggs, R., Norström, A.V., Reyers, B., & Rockström, J. (2016). Social-ecological resilience and biosphere-based sustainability science. Ecology and Society, 21(3).
UNDRR. (2017). Words into Action Guidelines: National Disaster Risk Assessment.
IUCN. (2016). Nature-based Solutions to Address Global Societal Challenges.
Meerow, S., Newell, J.P., & Stults, M. (2016). Defining urban resilience: A review. Landscape and Urban Planning, 147, 38–49.
FAO. (2019). Land Use Planning for Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation.

Pewarta: Sulhadi

Editor : Taufik Ridwan


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2025