PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Regional 3 Sub Regional Kalimantan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menggandeng Jaksa Pengacara Negara (JPN) sebagai kuasa hukum untuk mewakili perusahaan dalam proses persidangan melawan gugatan PT Fitria Trans Tamara berkaitan proyek perumahan.
"Sebagai bentuk komitmen terhadap penegakan hukum dan tata kelola perusahaan yang baik, Pelindo telah menunjuk Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasa hukum," kata Suprayogi selaku Junior Manager Umum dan Humas Pelindo Regional 3 Sub Regional Kalimantan di Banjarmasin, Kamis.
Baca juga: Pelindo Batulicin bersiap hadapi lonjakan arus mudik lebaran
Penunjukan JPN dari Kejaksaan Negeri Banjarmasin itu menurut Suprayogi sejalan dengan Kejaksaan dalam memberikan bantuan hukum kepada badan usaha milik negara (BUMN) dalam menghadapi permasalahan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara.
Suprayogi menyatakan Pelindo menghormati dan mendukung sepenuhnya proses persidangan yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Banjarmasin itu.
Perusahaan percaya bahwa pengadilan akan memproses perkara ini secara adil dan objektif sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam agenda persidangan yang telah berlangsung, Pelindo telah menyampaikan jawaban atas klaim atau gugatan yang diajukan oleh PT Fitria Trans Tamara.
Jawaban tersebut mencakup argumen dan bukti-bukti yang mendukung posisi perusahaan dalam sengketa ini.
“Kami berprinsip pada komitmen pengimplementasian Good Coporate Governance dalam setiap hubungan kerjasama dengan semua pihak dan sudah kami sampaikan dalam persidangan gugatan," jelasnya.
Pelindo berkomitmen untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan dengan itikad baik dan profesionalisme.
Perusahaan berharap agar proses hukum ini dapat segera mencapai keputusan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Baca juga: Pelindo Batulicin: Angkutan di Pelabuhan Samudera tumbuh 100 persen
Diketahui gugatan dilayangkan oleh Makmum selaku Direktur PT Fitria Trans Tamara yang mengaku mendapat pekerjaan proyek perumahan dari Pelindo pada tahun 2016 lalu.
Namun di tengah jalan, proyek pembangunan 13 unit rumah itu terhenti.
Padahal penggugat sudah melaksanakan pekerjaan, bahkan beberapa bahan bangunan dari pekerjaan rumah dinas sudah dipesannya kepada suplayer.
Dalam gugatannya, Makmum meminta kepada majelis hakim agar menerima dan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.
Yakni menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum atas diterbitkan surat oleh tergugat No.Pj06/121/Bjm-2017 tertanggal 06 Desember 2017 dan Pj06/34/Bjm-201 tertanggal 19 Februari 2018.
“Agar menghukum tergugat wajib membayar kepada penggugat seketika dan sekaligus kerugian materiil dan immateriil,” kata Makmum.
Untuk materiil, nilai tagihan termin I yang tercantum dalam invoice sebesar Rp1.702.000.000 sebagai akibat langsung dari tidak dibayarnya tagihan.
Maka penggugat mengalami kerugian berupa hilangnya hak untuk menikmati bunga akibat kelalaian (moratoir) tergugat, menurut hukum sebesar 6 persen per tahun selama 90 bulan, penggugat pun menelan kerugian sebesar Rp765 juta.
Dan kerugian secara immateriil telah menimbulkan kekecewaan yang sangat besar, berupa waktu, tenaga, pikiran akibat tidak dibayarnya tagihan penggugat.
“Kesemuanya itu sebenarnya tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi demi untuk kepastian hukumnya ditetapkan sebesar Rp5.675.000.000,” ucapnya.
Dia juga meminta kepada majelis agar menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsoom) sebesar Rp10 juta setiap hari apabila tergugat lalai melaksanakan isi putusan perkara ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap nanti.
Baca juga: BUMN setor dividen Rp85,5 triliun untuk Negara
Editor : Gunawan Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2025