Kotabaru (Antaranews Kalsel) - Pemkab Kotabaru, Kalimantan Selatan, perlu membuat peraturan bupati dalam menjabarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 14 tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD.
"Jika mengacu pada ketentuan, setiap penerima bantuan kelompok masyarakat (pokmas) harus berbadan hukum dan menyertakan akte notaris, itu terlalu memberatkan masyarakat," kata Wakil Ketua DPRD Kotabaru, M Arif usai mendampingi rombongan Komisi I dalam kunjungan kerja di Kementerian Dalam Negeri, Selasa.
Pasalnya dengan mengharapkan bantuan sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta, tapi untuk melengkapi ketentuan administrasi yang disyaratkan seperti harus terdaftar ke notaris dan Kemenkumham itu bisa lebih dari nilai yang diusulkan.
Sehingga, dari hasil konsultasi dan koordinasi yang dilakukan dengan Bagian Hukum Kemendagri di Jakarta mengisaratkan adanya kemungkinan tidak perlunya akte notaris dan legalitas lainnya yang bersifat memberatkan bagi pokmas yang akan menerima bantuan.
Syaratnya adalah harus ada payung hukum bagi daerah berupa peraturan bupati sebagai implementasi atas Permendagri No14 tahun 2016 tersebut.
Dijelaskan, perbup terkait petunjuk teknis dalam pemberian bantuan kepada masyarakat itu mendesak diperlukan, agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat dalam mengusulkan bantuan.
Selain itu, adanya kekhawatiran tidak tersalurkannya alokasi dana hibah dan bantuan sosial kepada kelompok masyarakat, maka kemungkinan akan berpengaruh pada keuangan daerah sehingga berkonsekuensi pada semakin besarnya sisa lebih penggunaan anggaran (silpa).
Diketahui, pemerintah pusat melalui Kemendagri mengeluarkan Permendagri No14 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Diperkuat lagi dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri No.900/Keuda/2015 tentang transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Kalangan legislatif Kotabaru menilai, titik point atas berlakunya surat edaran tersebut salah satunya mengatur pengelolaan dana bantuan sosial (bansos) yang akhir-akhir ini banyak menuai masalah karena diduga ada penyalah gunaan.
Ketentuan baru yang tercantum dalam surat edaran itu mengharuskan kepada setiap penerima bansos baik kelompok masyarakat, organisasi atau lembaga lainnya untuk melengkapi segala ketentuan khususnya menyangkut legalitas formal.
Penjelasan atas ketentuan tersebut, bagi kelompok masyarakat harus terlebih dulu mendapatkan SKT (surat keterangan terdaftar) dari bupati dan telah mempunyai akte notaris. Sedangkan bagi organisasi atau lembaga, maka terdaftar di Kemenkumham.
Kebijakan baru yang pemberlakuanya sejak bulan Oktober 2015 sudah harus digunakan untuk pengelelolaan anggaran 2015, sementara penyaluran dana bansos sudah berlangsung sejak belum ada surat edaran.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017
"Jika mengacu pada ketentuan, setiap penerima bantuan kelompok masyarakat (pokmas) harus berbadan hukum dan menyertakan akte notaris, itu terlalu memberatkan masyarakat," kata Wakil Ketua DPRD Kotabaru, M Arif usai mendampingi rombongan Komisi I dalam kunjungan kerja di Kementerian Dalam Negeri, Selasa.
Pasalnya dengan mengharapkan bantuan sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta, tapi untuk melengkapi ketentuan administrasi yang disyaratkan seperti harus terdaftar ke notaris dan Kemenkumham itu bisa lebih dari nilai yang diusulkan.
Sehingga, dari hasil konsultasi dan koordinasi yang dilakukan dengan Bagian Hukum Kemendagri di Jakarta mengisaratkan adanya kemungkinan tidak perlunya akte notaris dan legalitas lainnya yang bersifat memberatkan bagi pokmas yang akan menerima bantuan.
Syaratnya adalah harus ada payung hukum bagi daerah berupa peraturan bupati sebagai implementasi atas Permendagri No14 tahun 2016 tersebut.
Dijelaskan, perbup terkait petunjuk teknis dalam pemberian bantuan kepada masyarakat itu mendesak diperlukan, agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat dalam mengusulkan bantuan.
Selain itu, adanya kekhawatiran tidak tersalurkannya alokasi dana hibah dan bantuan sosial kepada kelompok masyarakat, maka kemungkinan akan berpengaruh pada keuangan daerah sehingga berkonsekuensi pada semakin besarnya sisa lebih penggunaan anggaran (silpa).
Diketahui, pemerintah pusat melalui Kemendagri mengeluarkan Permendagri No14 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Diperkuat lagi dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri No.900/Keuda/2015 tentang transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Kalangan legislatif Kotabaru menilai, titik point atas berlakunya surat edaran tersebut salah satunya mengatur pengelolaan dana bantuan sosial (bansos) yang akhir-akhir ini banyak menuai masalah karena diduga ada penyalah gunaan.
Ketentuan baru yang tercantum dalam surat edaran itu mengharuskan kepada setiap penerima bansos baik kelompok masyarakat, organisasi atau lembaga lainnya untuk melengkapi segala ketentuan khususnya menyangkut legalitas formal.
Penjelasan atas ketentuan tersebut, bagi kelompok masyarakat harus terlebih dulu mendapatkan SKT (surat keterangan terdaftar) dari bupati dan telah mempunyai akte notaris. Sedangkan bagi organisasi atau lembaga, maka terdaftar di Kemenkumham.
Kebijakan baru yang pemberlakuanya sejak bulan Oktober 2015 sudah harus digunakan untuk pengelelolaan anggaran 2015, sementara penyaluran dana bansos sudah berlangsung sejak belum ada surat edaran.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017