Sebagian masyarakat Kalimantan Selatan (Kalsel) masih memegang teguh  tradisi dan budaya Banjar dengan sejumlah kesenian daerah yang sudah terkenal sampai ke pelosok negeri.

Salah satu daerah yang menjadi kiblat tumbuh kembang nya kesenian daerah di Kalsel ada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) tepatnya di Desa Barikin Kecamatan Haruyan sekitar 135 km dari pusat Kota Banjarmasin.

Di sana, sejumlah kesenian dan budaya daerah juga dikembangkan mulai dari gamelan, wayang, tari, topeng, kuda gepang, seni pahat, seni rupa, japin dan lain-lainnya.

Namun yang menarik dan selalu didatangi banyak warga adalah tradisi ba arak (arak-arakan) naga ketika ada hajatan, hiburan atau pesta perkawinan dengan diiringi gamelan.

Ba arak naga sendiri merupakan tradisi yang biasa dilakukan garis keturunan Datu Taruna atau Warga Asli Barikin dan sekarang boleh juga dilakukan oleh warga suku Banjar lainnya dengan menaiki mobil atau gerobak yang dihiasi ornamen naga. 

Yang mempunyai hajat atau penganten duduk di atas ornamen tersebut menggunakan pakaian adat banjar seperti raja dan dikawal dua orang yang berdiri di depannya mengelilingi kampung atau tempat mempelai penganten bersanding.

Jika ba arak naga itu digelar, maka sering kali terjadi kesurupan, baik itu warga yang menonton maupun penganten yang menaiki mobil atau gerobak yang dihias dengan ornamen  naga tersebut.

Namun, warga yang kesurupan saat ba arak naga tidak mengamuk atau pingsan seperti biasanya. Mereka yang kesurupan justru menari mengikuti irama gamelan pengiring.

Mitos awal

Seniman dari Dewan Kesenian Kabupaten HST Masruswian menceritakan, tradisi ba arak naga ini sudah ratusan tahun dilakukan yang awalnya memang untuk hiburan pada upacara perkawinan.

Namun menurutnya, dari versi mitos dan cerita warga Keturunan pewayangan di Desa Barikin, dahulu kala anggota keluarga mereka melangsungkan perkawinan dengan seorang anak tokoh adat.

Undangan yang datang pun merupakan tokoh-tokoh adat dan orang-orang yang berpengaruh saat itu. Sehingga, agar terlihat meriah maka mereka membuat sebuah perahu dari kayu yang menyerupai naga spesial untuk kedua mempelai penganten yang akan diarak melalui jalur sungai, sehingga warga dapat menyaksikan.

Ketika melewati sungai yang saat ini berada di Desa Sungai Harang Kecamatan Haruyan, ada sebuah teluk atau liang yang dalam dan secara tiba-tiba perahu berbentuk naga dengan membawa penganten itu bergerak dan menjadi hidup.

Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan menyelamatkan penganten, maka salah satu keluarga mempelai mencabut mandau (parang khas Kalimantan) dan menebas kepala naga tersebut hingga seketika bercucuran darah keluar dari kepala naga tersebut hingga semua penumpang selamat dan naga itu berubah kembali menjadi perahu.

Tempat peristiwa itu saat ini disebut warga dengan Sungai Lok Laga (teluk naga) dan menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten HST. 

Patung Kepala naga yang terkena tebasan parang mandau tersebut sampai saat ini masih disimpan keturunan Warga Barikin dan disebut dengan Naga Rimpang yang diperkirakan umurnya lebih dari 500 Tahun.

Semenjak itulah, garis keturunan warga Barikin asli tidak lagi mengadakan pesta perkawinan dengan ba arak naga di sungai guna menghindari peristiwa itu terulang kembali. Namun diganti dengan menghias gerobak atau sekarang menggunakan mobil yang dihias membentuk ornamen naga dan diarak mengelilingi kampung di jalur darat.

Namun, tidak ada kepercayaan yang mengharuskan seluruh keturunan warga Asli Barikin mengadakan tradisi ba arak naga ketika menggelar acara perkawinan, hanya untuk mereka yang mempunyai hajat atau berkeinginan saja. Bahkan saat ini siapa pun bisa melaksanakan.

Ritual sebelum ba arak

Tradisi Ba arak Naga juga ada di daerah lain di Kalimantan Selatan maupun Provinsi lain, seperti di daerah Kabupaten Tapin dan Kabupaten Barito Kuala, serta daerah-daerah lain di luar Kalimantan. Tentunya, setiap daerah mempunyai ciri khas masing-masing.

Seperti halnya di Desa Barikin, dalam mengadakan upacara ba arak naga pada pesta perkawinan, terlebih dahulu menyiapkan dan menghias gerobak atau mobil berupa ornamen naga yang biasanya terbuat dari rangka kayu atau bambu.

Gerobak atau mobil tersebut akan dibungkus kain dan warna warni menjadi tubuh naga, sedangkan kepala naga biasanya sudah jadi dan disewakan oleh para keturunan pewayangan di Barikin.

Kepala naga sendiri ada dua jenis yaitu jantan berwarna merah dan betina berwarna putih serta mempunyai nama masing-masing, seperti milik Sanggar Bima Cili Tatah Desa Barikin yang jantan bernama Gauk Saliburan Alam dan betina bernama Salira Puspa Kencana yang pernah dinaiki Bupati dan Wakil Bupati HST H Aulia Oktafiandi dan H Mansyah Sabri pada peringatan hari Jadi Kabupaten yang ke-62 Tahun 2021 lalu.

Sebelum ba arak naga, yang mempunyai hajat harus menyiapkan piduduk (sesajen) seperti kelapa, beras, gula merah dan telor yang telah diberikan doa berisi permohonan kepada Tuhan agar kelancaran dan keselamatan saat beraktivitas atau kegiatan yang akan dilakukan.

Kedua mempelai penganten pun sebelum menaiki ornamen naga terlebih dahulu dilakukan tapung tawar yaitu memercikkan air yang disediakan oleh orang tetua kampung yang memimpin acara dan selanjutnya dihamburkan beras kuning.

Ketika ba arak naga, penganten akan diiringi irama gamelan di belakangnya dan diarak ke tempat tujuan yang telah ditentukan.

Biasanya, ada saja yang kesurupan dan menurut kepercayaan dirasuki arwah nenek moyang mereka dengan menari sepanjang jalan mengiringi irama gamelan. Namun, ketika ba arak naga selesai, mereka yang kesurupan pun kembali waras seperti biasa.

Simbol kekuasaan

Istilah Naga berasal dari Bahasa Sansakerta yang berarti ular sebutan umum untuk makhluk mitologi yang berwujud reptil berukuran raksasa. Makhluk ini muncul dalam berbagai kebudayaan. Pada umumnya berwujud seekor ular besar, tetapi ada pula yang menggambarkannya sebagai kadal bersayap yang memilik beberapa kepala dan dapat menghembuskan nafas api. 

Naga sendiri mempunyai sejarah yang berbeda-beda di sejumlah wilayah seperti India, Eropa, China maupun Kalimantan. Naga dalam kebudayaan Tionghoa adalah lambang suatu kebaikan, kebenaran, keberuntungan, kekuatan dan kemakmuran.

Berikutnya, dalam budaya Jawa, Naga biasanya digambarkan seperti ular tak berkaki. Itu bisa dimaknai sebagai sang penjaga mata angin artinya bahaya dari segala arah penjuru angin. Jadi kekuatannya dianggap dahsyat untuk penangkal dan perlindungan.

Sedangkan Naga dalam kebiasaan istiadat Kalimantan, khususnya suku Dayak dan suku Banjar diasumsikan sebagai simbol alam bawah. Naga digambarkan hidup di dalam cairan atau tanah dan dinamakan sebagai Naga Lipat Bumi.

Menurut kebiasaan istiadat Kalimantan, alam semesta yaitu perwujudan "Dwitunggal Semesta" yaitu alam atas yang diduduki oleh Mahatala atau Pohotara, yang disimbolkan enggang gading (burung), sedangkan alam bawah diduduki oleh Jata atau Juata yang disimbolkan sebagai naga.

Dalam kebiasaan istiadat Banjar, alam bawah yaitu milik Puteri Junjung Buih sedangkan alam atas milik Pangeran Suryanata, pasangan suami isteri yang mendirikan dinasti kerajaan Banjar.

Gambar Naga juga ada di panji atau bendera di Kesultanan Banjar yang melambangkan Sultan atau Raja muda yang bijak dan memperhatikan Rakyatnya dengan baik.

Jadi, orang yang menaiki naga atau ba arak naga bisa ditafsirkan sebagai lambang suatu kekuasaan, kepemimpinan dan kewibawaan. Seperti para penganten yang menaiki naga dianalogikan sebagai raja dan mereka akan menjadi pemimpin terhadap keluarga dan anak-anaknya.

Ba arak naga juga dilakukan oleh para kepala daerah atau bupati serta tokoh-tokoh berpengaruh dalam beberapa hajatan besar seperti Hari jadi kabupaten atau kegiatan-kegiatan lainnya, sebagai simbol kekuasaan mereka memimpin suatu wilayah.

Terlepas dari berbagai macam mitos terkait ba arak naga, sebenarnya tradisi tersebut lebih kepada hiburan masyarakat dalam rangka pelestarian kebudayaan dan kesenian khas daerah yang saat ini terus digenjot oleh pemerintah Kabupaten HST agar lebih terkenal lagi di level nasional maupun internasional.

Pewarta: M. Taupik Rahman

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022