Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menginginkan pemerintah agar dapat tetap konsisten dalam memberlakukan aturan domestik market obligation (DMO) atau prioritas penjualan di dalam negeri bagi komoditas batubara yang diproduksi secara domestik.
Mulyanto dalam rilis di Jakarta, Sabtu, menyatakan hal tersebut penting dilakukan agar pasokan batubara untuk kebutuhan industri dalam negeri, utamanya kebutuhan pembangkit listrik di berbagai daerah dapat terjamin suplai pasokannya.
Mulyanto yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu menegaskan agar pemerintah jangan mau tunduk pada kepentingan pengusaha yang minta penghapusan kebijakan DMO.
"Sampai hari ini, DMO adalah instrumen yang terbukti sangat efektif untuk mengimplementasikan kebijakan umum energi nasional, yakni menjadikan sumber daya energi bukan sekedar sebagai komoditas ekonomi yang diekspor untuk mendapatkan pemasukan negara, tetapi untuk mendukung pembangunan nasional," kata Mulyanto.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan energi nasional tidak menjadikan sumber daya energi, seperti batubara, minyak, dan gas, sebagai komoditas ekonomi yang dikeruk sekedar untuk meningkatkan devisa negara, namun hal yang paling utama adalah sebagai sumber daya penunjang penyelenggaraan pembangunan nasional.
Mulyanto menambahkan DMO adalah upaya Pemerintah untuk menjamin pasokan batubara bagi keperluan domestik, baik dari segi volume maupun harga.
Dari sisi harga, lanjutnya, DMO adalah sebentuk "subsidi" di sisi hulu bagi ketahanan energi nasional, karena harga batubara DMO untuk listrik umum hanya sebesar 70 dolar AS per metrik ton. Padahal harga batubara internasional sempat meroket menembus angka 267 dolar per metrik ton.
"Bayangkan bila tanpa DMO, tarif listrik atau subsidi listrik akan melonjak 3 kali lipat. Dengan ketentuan DMO saja, masih banyak perusahaan batubara yang nakal, yang cari untung lebih, dengan mengalokasikan batubara untuk kebutuhan dalam negeri kurang dari 25 persen produksinya. Bagaimana bila tidak ada DMO?" kata Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kementerian ESDM, 15 November 2021 lalu, diketahui ternyata dari sekitar 500 perusahaan batu bara, hanya 85 perusahaan yang patuh atas aturan ini, sementara selebihnya melanggar ketentuan DMO.
"Jadi alih-alih dihapus, pemerintah harusnya konsisten menegakkan aturan DMO ini. Tidak cukup sekedar denda, yang tidak seberapa dan dapat ditutup oleh produsen batubara dari keuntungan ekspor. Perlu sanksi yang lebih tegas lagi misalnya pelarangan ekspor, pengurangan kuota produksi atau kalau perlu pencabutan izin produksi," imbuh Mulyanto.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Mulyanto dalam rilis di Jakarta, Sabtu, menyatakan hal tersebut penting dilakukan agar pasokan batubara untuk kebutuhan industri dalam negeri, utamanya kebutuhan pembangkit listrik di berbagai daerah dapat terjamin suplai pasokannya.
Mulyanto yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu menegaskan agar pemerintah jangan mau tunduk pada kepentingan pengusaha yang minta penghapusan kebijakan DMO.
"Sampai hari ini, DMO adalah instrumen yang terbukti sangat efektif untuk mengimplementasikan kebijakan umum energi nasional, yakni menjadikan sumber daya energi bukan sekedar sebagai komoditas ekonomi yang diekspor untuk mendapatkan pemasukan negara, tetapi untuk mendukung pembangunan nasional," kata Mulyanto.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan energi nasional tidak menjadikan sumber daya energi, seperti batubara, minyak, dan gas, sebagai komoditas ekonomi yang dikeruk sekedar untuk meningkatkan devisa negara, namun hal yang paling utama adalah sebagai sumber daya penunjang penyelenggaraan pembangunan nasional.
Mulyanto menambahkan DMO adalah upaya Pemerintah untuk menjamin pasokan batubara bagi keperluan domestik, baik dari segi volume maupun harga.
Dari sisi harga, lanjutnya, DMO adalah sebentuk "subsidi" di sisi hulu bagi ketahanan energi nasional, karena harga batubara DMO untuk listrik umum hanya sebesar 70 dolar AS per metrik ton. Padahal harga batubara internasional sempat meroket menembus angka 267 dolar per metrik ton.
"Bayangkan bila tanpa DMO, tarif listrik atau subsidi listrik akan melonjak 3 kali lipat. Dengan ketentuan DMO saja, masih banyak perusahaan batubara yang nakal, yang cari untung lebih, dengan mengalokasikan batubara untuk kebutuhan dalam negeri kurang dari 25 persen produksinya. Bagaimana bila tidak ada DMO?" kata Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kementerian ESDM, 15 November 2021 lalu, diketahui ternyata dari sekitar 500 perusahaan batu bara, hanya 85 perusahaan yang patuh atas aturan ini, sementara selebihnya melanggar ketentuan DMO.
"Jadi alih-alih dihapus, pemerintah harusnya konsisten menegakkan aturan DMO ini. Tidak cukup sekedar denda, yang tidak seberapa dan dapat ditutup oleh produsen batubara dari keuntungan ekspor. Perlu sanksi yang lebih tegas lagi misalnya pelarangan ekspor, pengurangan kuota produksi atau kalau perlu pencabutan izin produksi," imbuh Mulyanto.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021