Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) Muhammad Syaripuddin SE MAP atau yang akrab dengan sapaan Bang Dhin mengimbau, agar pemanfaatan dana desa untuk pencegahan "stunting" atau kekerdilan bagi anak usia Balita.
"Pemerintah telah memberikan dukungan anggaran untuk pencegahan stunting," ujar politikus muda yang cukup kreatif dan "visioner" tersebut melalui WA-nya, Selasa (2/11) siang.
"Hal itu sesuai Peraturan Menteri Desa (Permendesa) Nomor 19/2017 tentang prioritas penggunaan Dana Desa 2018, disebutkan bahwa Dana Desa dapat untuk kegiatan penanganan stunting sesuai musyawarah desa," lanjutnya.
Menurut mantan anggota DPRD Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu), Kalsel tersebut, salah satu efek pandemi COVID-19 bagi perekonomian masyarakat berkurangnya asupan gizi pada anak-anak mereka terutama anak balita.
"Ditambah kebijakan relokasi anggaran dimungkinkan berpengaruh pada alokasi dana untuk kegiatan pencegahan stunting," ujar wakil rakyat asal daerah pemilihan Kalsel VI/Kabupaten Kotabaru dan Tanbu itu.
Begitu pula Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan terhentinya layanan Posyandu. Oleh karenanya ada kekhawatiran pandemi COVID-19 akan menambah angka stunting baru, lanjutnya.
Stunting atau kerdil adalah kondisi gagal tumbuh pada anak bawah usia lima tahun (Balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu dari janin sampai anak berusia dua tahun.
Dengan mengutip pakar kesehatan dan psikologi, dia menambahkan, Stunting berpotensi penyakit jantung dan rendahnya kemampuan belajar hingga berakibat tidak optimal produktivitas dan hal tersebut tidak diinginkan dalam pembangunan manusia.
"20 persen dana desa untuk bidang kesehatan termasuk di dalamnya Stunting, buat kegiatannya dengan serius. Dana desa tidak hanya sekadar untuk pembangunan infrastruktur, karena itu desa harus berinovasi," imbaunya.
Dukungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi dalam upaya penurunan stunting antara lain melalui pengaktifan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan oleh unsur desa.
Beberapa kegiatan tersebut seperti pembangunan/rehabilitasi pos kesehatan desa (poskesdes), poliklinik desa (polindes) dan pos pelayanan terpadu (Posyandu), penyediaan makanan sehat untuk peningkatan gizi balita dan anak, perawatan kesehatan ibu hamil dan menyusui.
Selain itu, kegiatan pembangunan sanitasi dan air bersih melalui pengadaan insentif untuk kader kesehatan masyarakat, pembangunan rumah singgah, pengelolaan Balai Pengobatan Desa, pengadaan kebutuhan medis (makanan, obat-obatan, vitamin, dan lain-lain).
Kemudian sosialisasi dan edukasi gerakan hidup bersih dan sehat, serta melalui pengadaan ambulans desa yang bisa berupa mobil atau kapal motor di desa yang memiliki kawasan perairan.
"Stunting itu masalah kompleks dan perlu penangangan sinergitas antara 'stakeholder' bidang kesehatan sudah pasti," lanjutnya.
Contoh lain bidang pertanian perikanan untuk ketahanan pangan, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengurus sanitasi perumahan, KB dan pemberdayaan perempuan bantu promosi 1000 HPK, bidang pendidikan juga harus bantu dalam hal kelas parenting, Kominfo mengkampenyekan isu stunting, dan lain sebagainya.
"Diketahui, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2018, prevalensi stunting nasional 30,8 persen dan Kalsel tercatat 33,08 persen," ungkap laki-laki kelahiran Tungkaran Pangeran Batulicin (260 kilometer tenggara Banjarmasin), ibukota Tanbu Tahun 1979 itu.
"Prevalensi Kalsel lebih tinggi dari nasional, artinya kita dituntut untuk lebih ektra lagi. Jangan program sendiri-sendiri. Komunikasi, konsultasi dan koordinasikan sama-sama. Jangan nanti dilaporan kegiatan ditulis lemahnya komunikasi koordinasi. Apa-apaan itu, sudah kaya penyakit kronis saja. Tidak sembuh-sembuh penyakit SKPD," demikian Bang Dhin
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021