Kilas balik cerita tentang proses pembangunan  proyek strategis nasional (PSN) di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dan keputusan masyarakat dayak menuju kehidupan modern.

Kamis, 18 Februari 2021 lalu, Presiden ke 7 Republik Indonesia Joko Widodo meresmikan secara langsung bendungan yang mulai dibangun pada 2015 lalu itu.

Bendungan yang direalisasikan di era presiden yang akrab disapa Jokowi itu berangkat dari lahan pertanian yang cukup potensial untuk dikembangkan dan juga tentang permasalahan banjir tahunan di aliran sungai Tapin.

Diketahui, luas wilayah Tapin sekitar 2.174,95 KM persegi, terdapat 5.472 hektar lahan pertanian yang dinilai mampu untuk dikembangkan secara maksimal dengan cara pemanfaatan sumber daya air melalui jaringan irigasi.

Selain itu juga sebagai reduksi banjir tahunan yang biasanya terjadi sebanyak 2-3 kali, luapan sungai Tapin kerap merendam pemukimam warga dan fasilitas umum di wilayah daerah aliran sungai (DAS) di Kecamatan Bungur, Kecamatan Tapin Utara dan Kecamatan Bakarangan.

Bermula dari latar belakang itu maka, pada Tahun 2003 wilayah hulu sungai Tapin di dataran tinggi Kecamatan  Piani diusulkan pembangunan bendungan ke pemerintah pusat sebagai alternatif untuk tampungan air pada musim hujan dan mengairi sawah pada musim kemarau. Selain itu, tentunya sebagai reduksi banjir tahunan.

Melalui proyek irigasi dan rawa andalan Kalimantan Selatan, Tahun 2003 dilakukan detail desain peningkatan bendungan menjadi waduk  atau embung daerah irigasi Tapin.

Pada tahun 2004 dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Berjarak dua tahun pada 2006, satuan kerja sementara irigasi dan rawa andalan Kalsel melakukan detail desain bendungan Tapin tahap II.

Sejak Tahun 2007, proyek negara itu dipegang oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan II, di tahun itu mereka melakukan sertifikasi bendungan Tapin dan model test bendungan atau pelimpahan bendungan. Menuju ke Tahun 2008 dilakukan review desain bendungan.

Lebih lanjut, pada Tahun 2010 BWS Kalimantan II melakukan analisis AMDAL dan penyusunan land acquisition resettiment action plan (LARAP) tahap I.

Di Tahun 2012 dilakukan penyusunan LARAP tahap II dan revieu sertifikasi bendungan Tapin tahap I. Masuk ke 2013 dilakukan reviu sertifikasi tahap II dan Tahun 2014 dilakukan investigasi geologi tambahan bendungan.

Tibalah proses pembangunan di Tahun 2015 oleh BWS Kalimantan II melaui kontraktor PT. Brantas Abibraya dan PT. Waskita Karya. Tanggal kontak dimulai pada 13 Oktober 2015-31 Desember 2020 dengan nilai Rp. 986.503.498.000.

Sampai ke 2018 BWS Kalimantan II melakukan penggelakan sungai Tapin. Sampai pada 9 Oktober 2020 dilakukanlah impounding pengisian awal bendungan dihadiri oleh Direktur Bendungan dan Danau, Ditjen Sumber Daya Air (SDA) Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tentunya di hari itu juga ada Bupati Tapin di jabat HM Arifin Arpan.

Masih ada kisah dari rentetan kronologi pembanguan bendungan dari BWS Kalimantan II itu. Tercatat, dalam ingatan masyarakat setempat, sebelum diajukan pada Tahun 2003, tepatnya 20 tahun sebelum diresmikannya bendungan itu oleh Jokowi Kamis, 18 Februari 2021.

Pada Tahun 2000, pemerintah daerah sudah mensosialisasikan terkait wacana pembuatan bendungan yang akan menenggelamkan  Desa Pipitak Jaya dan Harakit kepada masyarakat di Kantor Kecamatan Piani.

“Sosialisasi pertama oleh pemerintah daerah Tapin pada tahun 2000 terkait rencana pembangunan bendungan. 60 persen masyarakat pada saat rapat itu menyatakan setuju, namun berbeda dengan masyarakat Desa Pipitak Jaya dan Harakit, mereka menolak,” ujar Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Tapin, sekaligus putra daerah kelahiran Desa Mancabung (sekarang Desa Pipitak Jaya).

Dijelaskan lelaki bersuku dayak itu, waktu itu alasan Sebagian masyarakat menolak lantaran takut hilangnya kebudayaan, tempat tinggal dan tanah.

“Oleh karena penolakan itu saya membuat sebuah buku yang berjudul Tanggapan Masyarakat Tentang Pembangunan Bendungan kepada Bupati Tapin yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Tapin,” ujar pensiunan polisi itu, menceritakan.

Sejalan dengan perencanaan proyek negara. Tepatnya, 11 September 2009, tokoh masyarakat dari ke dua desa itu melakukan rapat atau kerap disebut sebagai sidang adat.

Singkatnya, dari hasil pertemuan besar itu sampailah kepada keputusan untuk memperbolehkan pembangunan bendungan, meskipun harus merelakan suasana kampung lama.

Keputusan itu didasari, mengingat dan menimbang hal hal penting untuk kemashalatan orang banyak di Tapin dan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan, khususnya untuk sumber daya manusia (SDM) masyarakat dayak menuju era modernisasi.

“Selama ini kita ketertinggalan baik dalam segi infrasutuktur maupun SDM, dengan pemikiran dibangunnya bendungan ini akan  merubah tata cara kehidupan anak cucu kami nantinya,” ujarnya

Setelah dilakukan ganti untung atas pembebasan tanah, dirasakan lelaki yang juga berstatus Damang Adat itu, sekarang kehidupan masyarakat sudah berubah drastis, membaik dibanding dengan sebelumnya.

Senada dengan masyarakat setempat pada umumnya, diakui Kharliansyah, ketertinggalan itu sudah dirasa oleh generasinya dan generasi di atasnya misalnya banyak yang tidak sempat untuk mengenyam pendidikan yang layak hingga ada yang buta baca dan tulis.

“Dampak positifnya sudah nampak. Kehidupan masyarakat di Desa Pipitak Jaya dan Harakit yang tadinya, dulunya –mohon maaf- kehidupan masyarakat di sana jauh dari kelayakan, sekarang  mereka sudah kelihatan makmur. Ke depannya nanti bagaimana mereka mengelola, mempertahankan dan merubah kehidupan anak cucunya kelak misalnya untuk pendidikan dan lainya dari uang hasil pembebasan tanah,” ucapnya.

 

Suasana Aruh salah satu tradisi Dayak di Kecamatan Piani setelah selesai panen padi (ANTARA / Muhammad Fauzi Fadilah)

Dampak negatif yang terjadi, sekarang keharmonisan sosial masyarakat sudah terasa memudar berbeda seperti yang dulu.

“Solidaritas masyarakat sebagai orang adat perlahan mulai menghilang. Kebudayaan pun juga terancam hilang, banyak faktor yang mempengaruhi. Sebagai putra daerah tentu kita akan mencoba mempertahankan adat istiadat agar tidak hilang, sampai sekarang masih dilakukan,” ungkapnya.

Kecamatan Piani yang letak geografirnya berada di area perbukitan itu berpenduduk 5.965 jiwa, dari delapan desa diantaranya ada empat desa yang dihuni masyarakat adat dayak diantaranya Pipitak Jaya, Harakit, Batung dan Balawaian.

Di empat desa itu memiliki balai adat masing-masing dan memiliki tradisi yang sama. Hal yang paling menonjol yaitu ketika mengekspresikan syukur atas hasil panen yang melimpah, penduduk lokal menyebutnya “Aruh”.

Tentang Bendungan Tapin

Bendungan Tapin dengan luas genangan 425 hektar itu mampu menampung 56,7 juta meter kubik air. Saat ini juga proses pembangunan jaringan irigasi untuk mengalirkaan air ke areal persawahan petani seluas 5.472 hektare, meliputi lima kecamatan dari 12 kecamatan yang ada di Tapin.  

Selian itu juga dirancang mampu menyediakan air baku sebesar 500 liter perdetik, dan menghasilkan listrik tenaga air sebesar 3,3 megawatt.

Bendungan bertipe timbunan batu zona inti tegak dengan tinggi bendungan utama mencapai 70 meter itu juga dirancang mampu  mereduksi banjir sebesar 107 meter kubik perdetik.

Ditambah, bendungan multifungsi itu juga memiliki potensi menjadi wisata unggulan di Kalsel dengan menawarkan keindahan alam. Apabila tidak hilang, pesona budaya lokal khas dayak Piani direncakan sebagai salah satu daya tarik untuk wisatawan.

Baca juga: Tradisi "Aruh" suku Dayak di Tapin Kalimantan Selatan
Baca juga: Bendungan Tapin Bisa Berdampak Hilangnya Budaya Dayak

Baca juga: Bupati Silaturrahmi Dengan Masyarakat Dayak
Baca juga: Kadis PUPR Tapin inginkan pembangunan wisata di bendungan memuat kultural daerah

Baca juga: Bendungan Tapin dan harapan masa depan lumbung padi nasional di Kalsel
Baca juga: Proses pembangunan irigasi di Tapin Kalsel capai angka 9 persen

Pewarta: M Fauzi Fadillah

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021