Warga Dayak Meratus di Desa Labuhan, Kecamatan Batang Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) berhasil merampungkan pembangunan Pura Pertama umat Hindu di sana yang diberi nama Pura Agung Datu Magintir.
"Bahkan, di dalam Pura Pertama Umat Hindu di Kabupaten HST itu juga dibangun Kori Agung dengan menggunakan nama menurut Suku Dayak yaitu Pandungkulan," kata Ketua Panitia Pembangunan Pura Agung Datu Magintir yang juga Kepala Adat Desa Labuhan, Suan saat dikonfirmasi Senin (23/11).
Padungkulan tersebut menurutnya dibangun menggunakan Patung Balian. Balian yakni tokoh spiritual warga Dayak. Penggunaan Patung Balian tersebut merupakan simbol penghormatan kepada ajaran peninggalan leluhur Suku Dayak.
Ia menjelaskan Pandungkulan adalah tempat yang sangat sakral untuk berserah diri jiwa dan raga kepada Nining Bahatara/Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur karena kita yakin bahwa semua kesalahan/dosa yang dilakukan baik dari pemikiran, perkataan dan perbuatan.
"Mendungkul dilakukan dengan cara menggenggam kedua tangan dengan lima jari tangkup jadi 10, 11 dengan mata hagi, 12 dengan ubun-ubun, 13 dengan panuturan. Posisi kedua tangan di atas ubun-ubun. Pandungkulan ini pertama kali dibangun di Indonesia," bebernya.
Kenapa mamakai konsep Patung Balian Tuha dan Juru Patati? Suan menjelaskan, pada zaman dahulu satu-satunya Balian sangat diagungkan adalah Balian Ranggan Laki Bini (Suami dan Istri). Ini merupakan simbol dari Balian Tua dan Juru Patati.
"Kalo di Agama Hindu merupakan perwujudan dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati," ujarnya.
Selain itu juga dibangun, Taruna Halang Balianan/Burung Elang yang berada diatas Pandungkulan dan Papan Baruwing yang berada di pagar Pandungkulan.
"Taruna Halang Balianan/Burung Elang menurut kepercayaan Suku Dayak adalah Tunggangan Balian apabila mau naik ke langit yang ke-7/Swarga Loka, pada saat hilang jalan kemudian turunlah Taruna Halang Balianan yang dipakai sebagai tunggangan untuk mencapai Langit ke-7," jelasnya.
Selanjutnya juga ada Papan Baruwing yakni tempat/perahu/sarana untuk menghantarkan orang/sesajen ke tempat siapa yang kita tuju seperti kepada Nining Bahatara/Sang Hyang Widhi dan Para Lelulur.
Sedangkan Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten HST, Irpani menambahkan, Hal ini tentu sangat membanggakan umat Hindu Indonesia yang bersuku Dayak Kaharingan di Kabupaten HST khususnya masyarakat Desa Labuhan.
"Mereka saat ini sudah mempunyai tempat Ibadah Pura yang nantinya bisa digunakan untuk beribadah dan pusat kegiatan keagamaan bagi Umat Hindu yang berada di Kabupaten HST," ujarnya.
Irpani menerangkan, bahwa kedepan Pura Agung Datu Magintir akan menjadi aset Cagar Budaya Pemda HST dan sebagai tempat Wisata Religi bagi Wisatawan Lokal maupun Mancanegara.
"Tentu kebanggaan tersebut bisa dicapai karena ada do'a dan uluran tangan umat sedharma yang berada di Nusantara, para donatur yang dermawan dan para pihak yang telah berkonstribusi penuh untuk terselenggaranya pembangunan Pura Agung Datu Magintir, baik bantuan berupa uang, tenaga, pemikiran dan doa," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Bahkan, di dalam Pura Pertama Umat Hindu di Kabupaten HST itu juga dibangun Kori Agung dengan menggunakan nama menurut Suku Dayak yaitu Pandungkulan," kata Ketua Panitia Pembangunan Pura Agung Datu Magintir yang juga Kepala Adat Desa Labuhan, Suan saat dikonfirmasi Senin (23/11).
Padungkulan tersebut menurutnya dibangun menggunakan Patung Balian. Balian yakni tokoh spiritual warga Dayak. Penggunaan Patung Balian tersebut merupakan simbol penghormatan kepada ajaran peninggalan leluhur Suku Dayak.
Ia menjelaskan Pandungkulan adalah tempat yang sangat sakral untuk berserah diri jiwa dan raga kepada Nining Bahatara/Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur karena kita yakin bahwa semua kesalahan/dosa yang dilakukan baik dari pemikiran, perkataan dan perbuatan.
"Mendungkul dilakukan dengan cara menggenggam kedua tangan dengan lima jari tangkup jadi 10, 11 dengan mata hagi, 12 dengan ubun-ubun, 13 dengan panuturan. Posisi kedua tangan di atas ubun-ubun. Pandungkulan ini pertama kali dibangun di Indonesia," bebernya.
Kenapa mamakai konsep Patung Balian Tuha dan Juru Patati? Suan menjelaskan, pada zaman dahulu satu-satunya Balian sangat diagungkan adalah Balian Ranggan Laki Bini (Suami dan Istri). Ini merupakan simbol dari Balian Tua dan Juru Patati.
"Kalo di Agama Hindu merupakan perwujudan dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati," ujarnya.
Selain itu juga dibangun, Taruna Halang Balianan/Burung Elang yang berada diatas Pandungkulan dan Papan Baruwing yang berada di pagar Pandungkulan.
"Taruna Halang Balianan/Burung Elang menurut kepercayaan Suku Dayak adalah Tunggangan Balian apabila mau naik ke langit yang ke-7/Swarga Loka, pada saat hilang jalan kemudian turunlah Taruna Halang Balianan yang dipakai sebagai tunggangan untuk mencapai Langit ke-7," jelasnya.
Selanjutnya juga ada Papan Baruwing yakni tempat/perahu/sarana untuk menghantarkan orang/sesajen ke tempat siapa yang kita tuju seperti kepada Nining Bahatara/Sang Hyang Widhi dan Para Lelulur.
Sedangkan Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten HST, Irpani menambahkan, Hal ini tentu sangat membanggakan umat Hindu Indonesia yang bersuku Dayak Kaharingan di Kabupaten HST khususnya masyarakat Desa Labuhan.
"Mereka saat ini sudah mempunyai tempat Ibadah Pura yang nantinya bisa digunakan untuk beribadah dan pusat kegiatan keagamaan bagi Umat Hindu yang berada di Kabupaten HST," ujarnya.
Irpani menerangkan, bahwa kedepan Pura Agung Datu Magintir akan menjadi aset Cagar Budaya Pemda HST dan sebagai tempat Wisata Religi bagi Wisatawan Lokal maupun Mancanegara.
"Tentu kebanggaan tersebut bisa dicapai karena ada do'a dan uluran tangan umat sedharma yang berada di Nusantara, para donatur yang dermawan dan para pihak yang telah berkonstribusi penuh untuk terselenggaranya pembangunan Pura Agung Datu Magintir, baik bantuan berupa uang, tenaga, pemikiran dan doa," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020