Sales Area Manager Pertamina Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng) Drestanto Sham secara tidak langsung menyindir anggota DPRD Kalsel yang menggunakan gas elpiji bersubsidi atau tabung isi tiga kilogram.
Sindiran itu dalam pertemuan Komisi III Bidang Pembangunan dan Infrastruktur DPRD Kalsel yang juga membidangi pertambangan dan energi dengan Pertamina, Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas), Dinas ESDM provinsi setempat di Banjarmasin, Selasa.
Dalam pertemuan yang dipimpin Ketua Komisi III DPRD Kalsel H Sahrujani itu, dari Pertamina menjelaskan, sesuai ketentuan gas elpiji tabung isi tiga kilogram atau bersubsidi untuk masyarakat miskin.
"Untuk kuota pun gas elpiji bersubsidi itu terbatas, kecuali non subsidi kapan pun dan berapa pun memerlukan tidak masalah," tegasnya dalam pertemuan yang juga hadir dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Karena itu pegawai negeri sipil (PNS), orang berpenghasilan per bulan Rp1,5 juta ke atas serta berkemampuan jangan menggunakan gas elpiji bersubsidi, tetapi gunakan yang non subsidi," lanjutnya mengutip Surat Edaran Guberber Kalsel terkait gas elpiji tiga kilogram.
Mengenai langka dan mahalnya harga gas elpiji tiga kilogram atau sebutan "Si Melon" itu, seperti terjadi di Banjarmasin, ibu kota Kalsel, dia juga mengaku bingung atas persoalan tersebut.
Pasalnya menurut dia, penyaluran gas elpiji bersubsidi di Kalsel atau provinsi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota tersebut hingga 31 Juli 2020 sudah lebih dua persen melampaui kuota.
Sedangkan harga gas elpiji tiga kilogram yang tinggi di pengecer, dia menyatakan, hal tersebut bukan tanggung jawab Pertamina, tetapi ada pada pemerintah daerah.
"Sebab yang berwenang menetapkan harga eceran tertinggi (HET) adalah pemerintah daerah. Harga gas elpiji tiga kilogram di pangkalan tetap Rp17.500 per tabung," demikian Drestanto.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kalsel DR H Karlie Hanafi Kalianda SH MH menyarankan, perlu peningkatan pengawasan, dan menindak tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku manakala terjadi penyimpangan.
"Untuk peningkatan pengawasan kemungkinan bisa meminta bantuan kepada aparat keamanan seperti kepolisian bila memang tenaga pengawas dari Pertamina terbatas," saran Karlie yang juga Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Kalsel tersebut.
Pada kesempatan pertemuan tersebut seorang "Srikandi" Komisi III DPRD Kalsel juga menyatakan keluhan sulit mendapatkan atau untuk membeli gas elpiji.
Anggota DPRD Kalsel dua periode itu mengemukakan pengalamannya ketika sedang memasak kebetulan gas habis dan mau membeli/mencari ternyata kosong.
Oleh karena itu, dia mempertanyakan kuota serta penyaluran gas elpiji di provinsinya sehingga terjadi kelangkaan serta harga yang mahal jauh di atas harga di pangkalan.
Sedangkan Ketua Komisi III DPRD Kalsel yang juga politikus senior Partai Golkar berpendapat, selama selisih harga masih tinggi antara yang bersubsidi dengan non subsidi permasalahan gas elpiji tiga kilogram tersebut kemungkinan akan selalu ada.
Pertemuan Komisi III DPRD Kalsel dengan Pertamina, Hiswana Migas serta Pemprov Kalsel tersebut sebagai tindak lanjut tuntutan aksi unjuk rasa LSM di depan "Rumah Banjar" (Gedung DPRD Kalsel), 31 Agustus lalu yang mempersoalkan langka serta mahalnya harga gas elpiji tiga kilogram.
Selain sulit mendapatkan gas elpiji tiga kilogram belakangan ini, juga harganya yang mahal di "kota seribu sungai" Banjarmasin atau ibu kota Kalsel per tabung berkisar antara Rp30.000 - Rp35.000.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Sindiran itu dalam pertemuan Komisi III Bidang Pembangunan dan Infrastruktur DPRD Kalsel yang juga membidangi pertambangan dan energi dengan Pertamina, Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas), Dinas ESDM provinsi setempat di Banjarmasin, Selasa.
Dalam pertemuan yang dipimpin Ketua Komisi III DPRD Kalsel H Sahrujani itu, dari Pertamina menjelaskan, sesuai ketentuan gas elpiji tabung isi tiga kilogram atau bersubsidi untuk masyarakat miskin.
"Untuk kuota pun gas elpiji bersubsidi itu terbatas, kecuali non subsidi kapan pun dan berapa pun memerlukan tidak masalah," tegasnya dalam pertemuan yang juga hadir dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Karena itu pegawai negeri sipil (PNS), orang berpenghasilan per bulan Rp1,5 juta ke atas serta berkemampuan jangan menggunakan gas elpiji bersubsidi, tetapi gunakan yang non subsidi," lanjutnya mengutip Surat Edaran Guberber Kalsel terkait gas elpiji tiga kilogram.
Mengenai langka dan mahalnya harga gas elpiji tiga kilogram atau sebutan "Si Melon" itu, seperti terjadi di Banjarmasin, ibu kota Kalsel, dia juga mengaku bingung atas persoalan tersebut.
Pasalnya menurut dia, penyaluran gas elpiji bersubsidi di Kalsel atau provinsi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota tersebut hingga 31 Juli 2020 sudah lebih dua persen melampaui kuota.
Sedangkan harga gas elpiji tiga kilogram yang tinggi di pengecer, dia menyatakan, hal tersebut bukan tanggung jawab Pertamina, tetapi ada pada pemerintah daerah.
"Sebab yang berwenang menetapkan harga eceran tertinggi (HET) adalah pemerintah daerah. Harga gas elpiji tiga kilogram di pangkalan tetap Rp17.500 per tabung," demikian Drestanto.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kalsel DR H Karlie Hanafi Kalianda SH MH menyarankan, perlu peningkatan pengawasan, dan menindak tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku manakala terjadi penyimpangan.
"Untuk peningkatan pengawasan kemungkinan bisa meminta bantuan kepada aparat keamanan seperti kepolisian bila memang tenaga pengawas dari Pertamina terbatas," saran Karlie yang juga Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Kalsel tersebut.
Pada kesempatan pertemuan tersebut seorang "Srikandi" Komisi III DPRD Kalsel juga menyatakan keluhan sulit mendapatkan atau untuk membeli gas elpiji.
Anggota DPRD Kalsel dua periode itu mengemukakan pengalamannya ketika sedang memasak kebetulan gas habis dan mau membeli/mencari ternyata kosong.
Oleh karena itu, dia mempertanyakan kuota serta penyaluran gas elpiji di provinsinya sehingga terjadi kelangkaan serta harga yang mahal jauh di atas harga di pangkalan.
Sedangkan Ketua Komisi III DPRD Kalsel yang juga politikus senior Partai Golkar berpendapat, selama selisih harga masih tinggi antara yang bersubsidi dengan non subsidi permasalahan gas elpiji tiga kilogram tersebut kemungkinan akan selalu ada.
Pertemuan Komisi III DPRD Kalsel dengan Pertamina, Hiswana Migas serta Pemprov Kalsel tersebut sebagai tindak lanjut tuntutan aksi unjuk rasa LSM di depan "Rumah Banjar" (Gedung DPRD Kalsel), 31 Agustus lalu yang mempersoalkan langka serta mahalnya harga gas elpiji tiga kilogram.
Selain sulit mendapatkan gas elpiji tiga kilogram belakangan ini, juga harganya yang mahal di "kota seribu sungai" Banjarmasin atau ibu kota Kalsel per tabung berkisar antara Rp30.000 - Rp35.000.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020