Hasil analisa cepat probabilitas penyebab tersesatnya paus pembunuh atau Orcinus orca di perairan Anambas, Kepulauan Riau, pada 3 April 2020 mulai dari anomali massa air laut hingga sinyal seismik yang mengganggu gelombang akustik mamalia tersebut.
Berdasarkan kondisi suhu laut, salinitas dan konsentrasi klorofil di Perairan Laut Kepulauan Anambas pada 01 hingga 06 April 2020, dikorelasikan dengan teori yang ada, maka tingkat kecocokan Perairan Anambas sebagai habitat paus pembunuh termasuk kategori rendah hingga sedang.
“Sehingga bisa dikatakan kemunculannya di perairan Anambas merupakan hal yang anomali,” kata peneliti Madya Bidang Oseanografi Terapan Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan SDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo di Jakarta, Jumat.
Anomali tersebut, menurut Widodo, bisa positif dan bisa negatif. Untuk mengetahui hal tersebut memang diperlukan riset survei dan pengukuran lebih lanjut tentang kondisi menyeluruh interaksi laut, atmosfer, dan dinamika kolom massa air di perairan Anambas, Laut Natuna Utara hingga ekstensinya ke Laut China Selatan.
Hal ini didasarkan pada teori bahwa ketika migrasi, orca menggunakan sonar untuk memancarkan gelombang akustik yang dimilikinya untuk memandunya mencari mangsa dan menuju lokasi yang ditujunya.
Penjalaran gelombang akusitik di kolom massa air laut sangatlah tergantung oleh suhu laut dan densitas massa air laut. Sementara densitas massa air laut sangatlah dipengaruhi dari konsentrasi partikel-partikel yang terlarut di dalam air laut tersebut, seperti kadar garam dan konsentrasi terlarut lainnya.
Ketika ada suatu anomali massa air laut, maka kecepatan penjalaran gelombang akustik yang dipancarkan oleh orca juga bisa terganggu atau terbelokkan sehingga mamalia itu pun tersesat.
Faktor ekstrem lain yang mampu membelokkan sonar navigasi orca adalah adanya sinyal-sinyal seismik yang digunakan oleh manusia dalam survei seismik mencari potensi sumber-sumber minyak di bawah dasar laut hingga percobaan-percobaan militer ledakan di bawah air juga bisa menghasilkan sinyal akustik ekstrem.
Paus pembunuh yang memiliki nama lain yakni seguni merupakan spesies terbesar dari lumba-lumba dan dapat ditemukan di perairan bersuhu dingin seperti Antartika hingga yang bersuhu hangat.
Meski demikian, menurut Widodo, mamalia ini jarang terlihat di perairan Indonesia, tidak rutin setiap tahun, biasanya di samudra bagian selatan dan daerah subtropis.
Pada Jumat (3/4), nelayan Anambas mengabadikan empat orca di perairan Letung sekitar Pulau Bawah, Kepulauan Riau. Video tersebut kemudian dibagikan oleh Bawah Reserve di akun Instagram pada keesokan harinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020