Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dalam waktu dekat akan melayangkan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait Keputusan Presiden (Keppres) pelantikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron yang dinilai bertentangan dengan Undang-undang KPK hasil revisi.
"Kita tim advokasi Undang-Undang KPK akan menggugat Keppres dari saudara Nurul Ghufron," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin.
"Mungkin pekan depan kita akan melayangkan gugatan terhadap pelantikan Nurul Ghufron ke PTUN," ucap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menambahkan.
Baca juga: Pelantikan Kepala Daerah Tunggu Keppres
Pengangkatan Nurul Ghufron sebagai pimpinan KPK dilakukan berdasarkan pada Keppres Republik Indonesia Nomor 129/P Tahun 2019 Tentang Pengangkatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Kurnia, Keppres tersebut bertentangan dengan UU KPK baru hasil revisi.
Kurnia mengatakan Ghufron seharusnya tidak bisa dilantik sebagai pimpinan KPK, karena dalam Pasal 29 Huruf (e) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan minimal umur pimpinan KPK adalah minimal 50 tahun, sedangkan umur Nurul Gufron saat dilantik baru 45 tahun (lahir 22 September 1974).
Secara logika, kata Kurnia, pelantikan Nurul Ghufron seharusnya mengacu pada UU KPK yang baru, karena UU tersebut telah disahkan pada 17 Oktober 2019, sementara Ghufron baru dilantik pada 20 Desember 2019.
"Tanggal 20 Desember itu pasti berlaku UU KPK baru sehingga tidak memungkinkan digunakan UU KPK yang lama, karena frasanya 'untuk dapat diangkat'. 'Untuk dapat diangkat' itu legalitasnya melalui Keputusan Presiden," ujar Kurnia.
Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai pelantikan Nurul Ghufron tidak sah secara hukum.
Baca juga: KPK akan adakan tes terhadap pegawai
Adapun diterbitkannya Keppres tersebut telah didasari oleh Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 333/KMA/HK.005/11/2019 tanggal 12 November 2019 yang menyatakan bahwa Nurul Ghufron telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk diangkat sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.
Kendati demikian, Kurnia berpandangan bahwa fatwa MA tersebut seharusnya tidak menegasikan pasal dalam UU KPK yang baru.
"Kita menilai baiknya fatwa itu tidak bertentangan dengan pasal UU KPK baru. UU KPK baru menyebutkan 50 tahun, yang harusnya Ghufron tidak bisa dilantik. Itu menunjukkan bahwa mereka memang asal-asalan membentuk UU KPK baru," kata Kurnia.
Presiden Joko Widodo pada Jumat (20/12/2019) menyaksikan pengambilan sumpah lima orang komisioner KPK 2019-2023 yaitu Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango.
Pengangkatan pejabat tersebut tercakup dalam Keputusan Presiden No. 112/P tahun 2019 tanggal 21 Oktober 2019 dan No. 129/P tahun 2019 tanggal 2 Desember 2019 tentang pengangkatan Komisioner KPK 2019-2023.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Kita tim advokasi Undang-Undang KPK akan menggugat Keppres dari saudara Nurul Ghufron," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin.
"Mungkin pekan depan kita akan melayangkan gugatan terhadap pelantikan Nurul Ghufron ke PTUN," ucap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menambahkan.
Baca juga: Pelantikan Kepala Daerah Tunggu Keppres
Pengangkatan Nurul Ghufron sebagai pimpinan KPK dilakukan berdasarkan pada Keppres Republik Indonesia Nomor 129/P Tahun 2019 Tentang Pengangkatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Kurnia, Keppres tersebut bertentangan dengan UU KPK baru hasil revisi.
Kurnia mengatakan Ghufron seharusnya tidak bisa dilantik sebagai pimpinan KPK, karena dalam Pasal 29 Huruf (e) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan minimal umur pimpinan KPK adalah minimal 50 tahun, sedangkan umur Nurul Gufron saat dilantik baru 45 tahun (lahir 22 September 1974).
Secara logika, kata Kurnia, pelantikan Nurul Ghufron seharusnya mengacu pada UU KPK yang baru, karena UU tersebut telah disahkan pada 17 Oktober 2019, sementara Ghufron baru dilantik pada 20 Desember 2019.
"Tanggal 20 Desember itu pasti berlaku UU KPK baru sehingga tidak memungkinkan digunakan UU KPK yang lama, karena frasanya 'untuk dapat diangkat'. 'Untuk dapat diangkat' itu legalitasnya melalui Keputusan Presiden," ujar Kurnia.
Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai pelantikan Nurul Ghufron tidak sah secara hukum.
Baca juga: KPK akan adakan tes terhadap pegawai
Adapun diterbitkannya Keppres tersebut telah didasari oleh Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 333/KMA/HK.005/11/2019 tanggal 12 November 2019 yang menyatakan bahwa Nurul Ghufron telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk diangkat sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.
Kendati demikian, Kurnia berpandangan bahwa fatwa MA tersebut seharusnya tidak menegasikan pasal dalam UU KPK yang baru.
"Kita menilai baiknya fatwa itu tidak bertentangan dengan pasal UU KPK baru. UU KPK baru menyebutkan 50 tahun, yang harusnya Ghufron tidak bisa dilantik. Itu menunjukkan bahwa mereka memang asal-asalan membentuk UU KPK baru," kata Kurnia.
Presiden Joko Widodo pada Jumat (20/12/2019) menyaksikan pengambilan sumpah lima orang komisioner KPK 2019-2023 yaitu Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango.
Pengangkatan pejabat tersebut tercakup dalam Keputusan Presiden No. 112/P tahun 2019 tanggal 21 Oktober 2019 dan No. 129/P tahun 2019 tanggal 2 Desember 2019 tentang pengangkatan Komisioner KPK 2019-2023.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020