Padi yang subur dan panen yang melimpah, diperlakukan layaknya seorang anak yang datang dari perantauan. Kedatangannya dinanti-nanti. Disambut dengan sepenuh hati sampai dirayakan dengan upacara adat.
Suku Dayak di Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) biasa menyebut upacara adat atau kenduri dengan sebutan aruh. Pelaksanaannya selalu identik dengan pesta. Tujuannya, bisa ungkapan syukur atau tolak bala. Saat aruh yang berpusat di Balai Adat , desa penyelenggara bakal ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai penjuru.
Seperti itulah yang tampak di Kiyu Desa Hinas Kiri pada Sabtu (28/9) malam. Desa yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari kota Barabai, pusat Kabupaten HST, itu semarak. Warga merayakan Aruh Bawanang.
Acara itu dilaksanakan enam hari enam malam. Aruh Bawanang adalah ungkapan rasa syukur atas perolehan panen yang melimpah.
Baca juga: Video-Semarak HUT RI ke-74 warga Pegunungan Meratus
Itu terbilang singkat, biasanya sampai duabelas hari. Dalam aruh, balian bertugas menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas. Termasuk, urusan dengan roh manusia yang telah meninggal.
Aruh Bawanang juga dikenal dengan nama Aruh Ganal. Artinya, upacara adat besar. Disebut demikian karena dilaksanakan besar-besaran oleh seluruh warga desa. Juga, dihadiri oleh undangan yang berasal dari desa-desa lainnya. Sementara Aruh Kecil, dilakukan hanya di lingkungan keluarga saja.
Aruh Bawanang juga hanya digelar apabila hasil panen sesuai dengan harapan warga. Selain sebagai rasa syukur, Bawanang, dimaksudkan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar di tahun mendatang bisa kembali mendapatkan hasil panen yang melimpah. Kemudian, berharap dijauhkan dari segala bahaya, penyakit dan makhluk perusak.
Jika hasil panen tidak sesuai harapan, warga hanya menggelar Aruh Kecil. Atau, malah tidak diadakan sama sekali.
Baca juga: Warga Meratus HST bangun bendungan untuk sarana air bersih
Sabtu malam itu, Balai Adat ramai. Beberapa warga tampak sibuk mempersiapkan pernik-pernik aruh. Mulai dari hidangan untuk masyarakat hingga aksesori terpenting yang oleh warga setempat disebut Langgatan Papatangkalak. Atau, induk dari wadah sesaji.
Wadah itu terbuat dari potongan bambu berbentuk segi empat bertingkat. Dalam upacara adat tersebut, Langgatan Papatangkalak digantungkan di tengah-tengah balai. Dihiasi dengan untaian daun kelapa yang menguning dan hiasan lain dari kain serta dedaunan.
Dibuat persegi empat. Harapannya bisa melindungi seluruh warga dari marabahaya yang datang dari berbagai penjuru," ungkap Haris (41) yang merupakan kepala adat Suku Dayak se-Kecamatan Batang Alai Timur (BAT).
Menjelang dimulainya aruh, Balai Adat Desa Kiyu tersebut penuh sesak oleh warga berbagai usia. Mereka antusias mengikuti upacara adat kali ini. Acara dibuka oleh para balian yang duduk mengelilingi Langgatan Papatangkalak. Di antara mereka terdapat pemimpin balian, yakni penghulu Balai Adat. Dia duduk beralaskan tikar. Mulut lelaki tuan itu komat-kamit atau bamamang. Bersamaan dengan itu, bunyi-bunyian dari Gandang dan Kalimpat yang ditabuh membahana di dalam ruangan.
Baca juga: Chairansyah: Komunitas Adat Terpencil harus mendapat perhatian lebih
Dengan dimulainya bamamang, Dia memberitahu kepada Yang Maha Kuasa bahwa upacara dimulai.
Selain minta izin kepada Yang Maha Kuasa agar upacara berjalan lancar, Balian juga mengundang roh nenek moyang atau datu untuk mengikuti acara.
Setelah itu, para balian asyik mengusap Gelang Hiang di atas kepulan asap kemenyan. Beberapa saat kemudian, para balian yang sedari tadi duduk, lantas bangkit. Wajah para balian mendongak ke atas dan ke depan Langgatan Papatangkalak. Badan mereka sedikit membungkuk dan kedua tangan dilipat ke belakang seperti menggendong. Tiba-tiba, mereka mengentak-entakkan kaki ke lantai.
Diiringi gemerincing Hiang, tabuhan Gandang dan Kalimpat, batandik (mengentak-entakkan kaki) malam itu semakin semarak ketika orang tua, anak muda, serta anak-anak ikut ambil bagian. Lelaki dan perempuan turut serta menari memutari Langgatan Papatangkalak.
"Ini namanya ritual babangsai. Tarian bergembira," ujar Haris.
Baca juga: Masyarakat Adat Dayak Meratus sudah bisa mencantumkan aliran kepercayaan di E-KTP
Babangsai berlangsung selama sekitar lima menit. Setelah itu, tinggal para balian yang melanjutkan ritual. Mereka masih tetap mengentak-entakkan kaki. Terkadang berhenti sejenak dengan tangan memegang Langgatan Papatangkalak. Para balian terdengar nyaring mengucapkan mantra.
Ada berbagai macam ritual yang dilakukan oleh para balian pada Sabtu malam itu sampai esok paginya. Ada Mangguguhan, Mandewata, Mamutir, dan ditutup dengan Sangkuwanang.
Semuanya, menyimbolkan hal-hal yang berkaitan dengan hasil panen melimpah, doa serta harapan. Itu terlihat saat seluruh balian mengelilingi Langgatan Papatangkalak sembari membawa hasil alam. Mulai dari buah-buahan, sayur-sayuran, dan padi yang bagus.
"Bagi kami, padi yang bagus ibarat anak kandung yang bertahun-tahun merantau kemudian pulang ke rumah. Kedatangannya kami rindukan, kami sayangi, bahkan kami rayakan," ungkap Haris.
Baca juga: Warga Meratus gagas pembentukan Perda perlindungan masyarakat adat
Melihat dari kemeriahannya, tidak sedikit biaya yang dibutuhkan warga pada saat pelaksanaan aruh. Sebagai contoh, untuk enam hari enam malam pelaksanaan aruh di Balai Kiyu, saja warga desa secara urunan menyediakan biaya paling sedikit Rp25 juta.
Ditambahkan Haris, bahwa Aruh Bawanang, digelar hanya benar-benar apabila hajat warganya terkabul. Maka pelaksanaan belum tentu ada sekali dalam setahun. Dia juga mengatakan, kalau pun pelaksanaan aruh tidak mendapat bantuan, bukan berarti aruh tak dapat terlaksana.
Pelaksanaan aruh yang digelar di Kabupaten HST, pada umumnya selalu menjadi pembicaraan dan perhatian banyak pihak ketika pelaksanaannya. Di satu sisi, kebudayaan serta tradisi leluhur ini patut dilestarikan.
Namun sayang, pelaksanaan aruh kerap disusupi oleh praktik perjudian. Jenisnya pun beragam. Mulai dari judi kartu hingga dadu. Umumnya, praktik judi berada tidak jauh dari lokasi Balai Adat yang menjadi pusat kegiatan aruh digelar. Tak tanggung-tanggung, praktik judi berlangsung setiap malam, selama pelaksanaan aruh.
Lengan Manusia, Diganti Ketan Satu Meter
Di bagian paling bawah Langgatan Papatangkalak, berjejer rapi ruas bambu sepanjang satu meter. Di dalamnya, ada beras ketan yang sudah matang. Oleh warga desa, beras ketan yang sudah matang itu disebut lamang. Setiap gelaran aruh, lamang selalu ada dan dimasak oleh warga desa.
Kepala Adat Suku Dayak Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Haris, menuturkan bahwa ada sebuah legenda yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu yang berada di dalam bambu satu meter itu bukan lamang. Melainkan, potongan lengan manusia.
Baca juga: Berkat Meratus terjaga, HST selamat dari krisis air bersih
"Namun, oleh Balian Mumburaya Walu, yang merupakan suhu dari para Balian, diganti dengan beras ketan untuk disajikan kepada para tamu undangan," tuturnya. Selain jadi hidangan, lamang itu juga menjadi bagian dari sesaji.
Balian Mumburaya Walu, menurut Haris, bernegosiasi dengan para arwah leluhur untuk mengganti lengan manusia dengan lamang. Sebagai balian, dia mengatakan bahwa apabila aruh ingin tetap ada, maka arwah leluhur tak boleh meminta lengan manusia sebagai sesaji. Jika tetap memaksa, bisa jadi tidak ada siapapun yang bakal mau menggelar aruh atau melalukan pemujaan lagi.
Baca juga: Tari Rag Rag Guy lakonkan dampak jika pegunungan Meratus diekpoitasi
"Pada saat ritual Aruh Bawanang, ada waktu di mana penghulu Balai Adat membawa Lamang Batara (ketan yang dimasak berwadahkan potongan bambu sepanjang satu meter sebanyak empat buah) bersamaan dengan cahaya lilin. Itu, sebagai simbol datangnya pencerahan alias solusi," ujar Haris.
Lantas, kapan Aruh Bawanang kerap digelar? Untuk menetapkan hari dan tanggal pelaksanaan, masyarakat bermusyarah bersama kepala desa dan kepala adat.
Diambil Sekadar untuk Aruh, Melanggar Dikenai Denda
Ada banyak pantangan yang tak boleh dilanggar semasa aruh. Pelaksanaan yang selalu menghadirkan hiburan serta dinanti-nantikan banyak warga itu membuat berlakunya denda adat bila ada yang melanggar. Tidak hanya berlaku untuk warga, denda juga bisa dikenakan pada tamu undangan. Itu juga berlaku dalam gelaran Aruh Bawanang di beberapa balai adat di Kecamatan BAT.
Kepala Adat Suku Dayak Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Haris, berkali-kali memperingatkan warga yang berkumpul di dalam dan di luar Balai Adat agar tertib. Melalui pengeras suara, dia mengimbau warga agar tidak berbuat onar. Apalagi, memantik perkelahian.
"Semua masalah, selisih paham, jangan dibawa ke dalam aruh. Kalau tidak, sampai ada yang rusuh, maka akan dikenakan sanksi adat," imbaunya.
Baca juga: Kemana Bupati dan Ketua DPRD HST, saat masyarakatnya aksi Save Meratus
Haris membeberkan, bahwa meski selama pelaksanaan aruh jarang terjadi pelanggaran serius, bukan berarti dia bisa cuek. Alias, tidak mengingatkan. Dia khawatir jika tidak menyampaikan peringatan, masyarakat bakal lupa bagaimana seharusnya bersikap sepanjang aruh berlangsung.
"Denda ringan ketika ada warga atau tamu yang pulang, meninggalkan desa yang menjadi tempat digelarnya aruh di tengah-tengah ritual berlangsung," terang Haris.
Adapun denda paling berat adalah bila terjadi perkelahian saat digelarnya aruh. Dendanya adalah mengganti seluruh biaya aruh. Mulai dari persiapan sampai akhir.
Baca juga: Pilkades HST diprediksi jadi rebutan, PNS dan warga luar desa boleh mendaftar
Sementara, pantangan lain yang berkaitan dengan aruh adalah menuai padi secara berlebihan. Saat Aruh Bawanang berlangsung, bukan berarti padi-padi yang ada di lahan sudah dibabat habis. Justru sebaliknya, bulir padi yang ditanam oleh Suku Dayak Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), masih berada di ladang.
"Yang kami petik, cuma sekadar keperluan untuk pelaksanaan aruh. Tidak lebih dari itu. Aruh ini layaknya penyambutan terhadap hasil padi yang bagus dan melimpah. Tak sopan bila langsung dipanen secara keseluruhan, warga bisa memanen seluruhnya hanya setelah aruh selesai dilaksanakan," katanya.
Berikut kemeriahan aruh adat Bawanang warga Dayak Meratus di Balai Kiyu Desa Hinas Kiri Kabupaten HST :
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Suku Dayak di Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) biasa menyebut upacara adat atau kenduri dengan sebutan aruh. Pelaksanaannya selalu identik dengan pesta. Tujuannya, bisa ungkapan syukur atau tolak bala. Saat aruh yang berpusat di Balai Adat , desa penyelenggara bakal ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai penjuru.
Seperti itulah yang tampak di Kiyu Desa Hinas Kiri pada Sabtu (28/9) malam. Desa yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari kota Barabai, pusat Kabupaten HST, itu semarak. Warga merayakan Aruh Bawanang.
Acara itu dilaksanakan enam hari enam malam. Aruh Bawanang adalah ungkapan rasa syukur atas perolehan panen yang melimpah.
Baca juga: Video-Semarak HUT RI ke-74 warga Pegunungan Meratus
Itu terbilang singkat, biasanya sampai duabelas hari. Dalam aruh, balian bertugas menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas. Termasuk, urusan dengan roh manusia yang telah meninggal.
Aruh Bawanang juga dikenal dengan nama Aruh Ganal. Artinya, upacara adat besar. Disebut demikian karena dilaksanakan besar-besaran oleh seluruh warga desa. Juga, dihadiri oleh undangan yang berasal dari desa-desa lainnya. Sementara Aruh Kecil, dilakukan hanya di lingkungan keluarga saja.
Aruh Bawanang juga hanya digelar apabila hasil panen sesuai dengan harapan warga. Selain sebagai rasa syukur, Bawanang, dimaksudkan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar di tahun mendatang bisa kembali mendapatkan hasil panen yang melimpah. Kemudian, berharap dijauhkan dari segala bahaya, penyakit dan makhluk perusak.
Jika hasil panen tidak sesuai harapan, warga hanya menggelar Aruh Kecil. Atau, malah tidak diadakan sama sekali.
Baca juga: Warga Meratus HST bangun bendungan untuk sarana air bersih
Sabtu malam itu, Balai Adat ramai. Beberapa warga tampak sibuk mempersiapkan pernik-pernik aruh. Mulai dari hidangan untuk masyarakat hingga aksesori terpenting yang oleh warga setempat disebut Langgatan Papatangkalak. Atau, induk dari wadah sesaji.
Wadah itu terbuat dari potongan bambu berbentuk segi empat bertingkat. Dalam upacara adat tersebut, Langgatan Papatangkalak digantungkan di tengah-tengah balai. Dihiasi dengan untaian daun kelapa yang menguning dan hiasan lain dari kain serta dedaunan.
Dibuat persegi empat. Harapannya bisa melindungi seluruh warga dari marabahaya yang datang dari berbagai penjuru," ungkap Haris (41) yang merupakan kepala adat Suku Dayak se-Kecamatan Batang Alai Timur (BAT).
Menjelang dimulainya aruh, Balai Adat Desa Kiyu tersebut penuh sesak oleh warga berbagai usia. Mereka antusias mengikuti upacara adat kali ini. Acara dibuka oleh para balian yang duduk mengelilingi Langgatan Papatangkalak. Di antara mereka terdapat pemimpin balian, yakni penghulu Balai Adat. Dia duduk beralaskan tikar. Mulut lelaki tuan itu komat-kamit atau bamamang. Bersamaan dengan itu, bunyi-bunyian dari Gandang dan Kalimpat yang ditabuh membahana di dalam ruangan.
Baca juga: Chairansyah: Komunitas Adat Terpencil harus mendapat perhatian lebih
Dengan dimulainya bamamang, Dia memberitahu kepada Yang Maha Kuasa bahwa upacara dimulai.
Selain minta izin kepada Yang Maha Kuasa agar upacara berjalan lancar, Balian juga mengundang roh nenek moyang atau datu untuk mengikuti acara.
Setelah itu, para balian asyik mengusap Gelang Hiang di atas kepulan asap kemenyan. Beberapa saat kemudian, para balian yang sedari tadi duduk, lantas bangkit. Wajah para balian mendongak ke atas dan ke depan Langgatan Papatangkalak. Badan mereka sedikit membungkuk dan kedua tangan dilipat ke belakang seperti menggendong. Tiba-tiba, mereka mengentak-entakkan kaki ke lantai.
Diiringi gemerincing Hiang, tabuhan Gandang dan Kalimpat, batandik (mengentak-entakkan kaki) malam itu semakin semarak ketika orang tua, anak muda, serta anak-anak ikut ambil bagian. Lelaki dan perempuan turut serta menari memutari Langgatan Papatangkalak.
"Ini namanya ritual babangsai. Tarian bergembira," ujar Haris.
Baca juga: Masyarakat Adat Dayak Meratus sudah bisa mencantumkan aliran kepercayaan di E-KTP
Babangsai berlangsung selama sekitar lima menit. Setelah itu, tinggal para balian yang melanjutkan ritual. Mereka masih tetap mengentak-entakkan kaki. Terkadang berhenti sejenak dengan tangan memegang Langgatan Papatangkalak. Para balian terdengar nyaring mengucapkan mantra.
Ada berbagai macam ritual yang dilakukan oleh para balian pada Sabtu malam itu sampai esok paginya. Ada Mangguguhan, Mandewata, Mamutir, dan ditutup dengan Sangkuwanang.
Semuanya, menyimbolkan hal-hal yang berkaitan dengan hasil panen melimpah, doa serta harapan. Itu terlihat saat seluruh balian mengelilingi Langgatan Papatangkalak sembari membawa hasil alam. Mulai dari buah-buahan, sayur-sayuran, dan padi yang bagus.
"Bagi kami, padi yang bagus ibarat anak kandung yang bertahun-tahun merantau kemudian pulang ke rumah. Kedatangannya kami rindukan, kami sayangi, bahkan kami rayakan," ungkap Haris.
Baca juga: Warga Meratus gagas pembentukan Perda perlindungan masyarakat adat
Melihat dari kemeriahannya, tidak sedikit biaya yang dibutuhkan warga pada saat pelaksanaan aruh. Sebagai contoh, untuk enam hari enam malam pelaksanaan aruh di Balai Kiyu, saja warga desa secara urunan menyediakan biaya paling sedikit Rp25 juta.
Ditambahkan Haris, bahwa Aruh Bawanang, digelar hanya benar-benar apabila hajat warganya terkabul. Maka pelaksanaan belum tentu ada sekali dalam setahun. Dia juga mengatakan, kalau pun pelaksanaan aruh tidak mendapat bantuan, bukan berarti aruh tak dapat terlaksana.
Pelaksanaan aruh yang digelar di Kabupaten HST, pada umumnya selalu menjadi pembicaraan dan perhatian banyak pihak ketika pelaksanaannya. Di satu sisi, kebudayaan serta tradisi leluhur ini patut dilestarikan.
Namun sayang, pelaksanaan aruh kerap disusupi oleh praktik perjudian. Jenisnya pun beragam. Mulai dari judi kartu hingga dadu. Umumnya, praktik judi berada tidak jauh dari lokasi Balai Adat yang menjadi pusat kegiatan aruh digelar. Tak tanggung-tanggung, praktik judi berlangsung setiap malam, selama pelaksanaan aruh.
Lengan Manusia, Diganti Ketan Satu Meter
Di bagian paling bawah Langgatan Papatangkalak, berjejer rapi ruas bambu sepanjang satu meter. Di dalamnya, ada beras ketan yang sudah matang. Oleh warga desa, beras ketan yang sudah matang itu disebut lamang. Setiap gelaran aruh, lamang selalu ada dan dimasak oleh warga desa.
Kepala Adat Suku Dayak Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Haris, menuturkan bahwa ada sebuah legenda yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu yang berada di dalam bambu satu meter itu bukan lamang. Melainkan, potongan lengan manusia.
Baca juga: Berkat Meratus terjaga, HST selamat dari krisis air bersih
"Namun, oleh Balian Mumburaya Walu, yang merupakan suhu dari para Balian, diganti dengan beras ketan untuk disajikan kepada para tamu undangan," tuturnya. Selain jadi hidangan, lamang itu juga menjadi bagian dari sesaji.
Balian Mumburaya Walu, menurut Haris, bernegosiasi dengan para arwah leluhur untuk mengganti lengan manusia dengan lamang. Sebagai balian, dia mengatakan bahwa apabila aruh ingin tetap ada, maka arwah leluhur tak boleh meminta lengan manusia sebagai sesaji. Jika tetap memaksa, bisa jadi tidak ada siapapun yang bakal mau menggelar aruh atau melalukan pemujaan lagi.
Baca juga: Tari Rag Rag Guy lakonkan dampak jika pegunungan Meratus diekpoitasi
"Pada saat ritual Aruh Bawanang, ada waktu di mana penghulu Balai Adat membawa Lamang Batara (ketan yang dimasak berwadahkan potongan bambu sepanjang satu meter sebanyak empat buah) bersamaan dengan cahaya lilin. Itu, sebagai simbol datangnya pencerahan alias solusi," ujar Haris.
Lantas, kapan Aruh Bawanang kerap digelar? Untuk menetapkan hari dan tanggal pelaksanaan, masyarakat bermusyarah bersama kepala desa dan kepala adat.
Diambil Sekadar untuk Aruh, Melanggar Dikenai Denda
Ada banyak pantangan yang tak boleh dilanggar semasa aruh. Pelaksanaan yang selalu menghadirkan hiburan serta dinanti-nantikan banyak warga itu membuat berlakunya denda adat bila ada yang melanggar. Tidak hanya berlaku untuk warga, denda juga bisa dikenakan pada tamu undangan. Itu juga berlaku dalam gelaran Aruh Bawanang di beberapa balai adat di Kecamatan BAT.
Kepala Adat Suku Dayak Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Haris, berkali-kali memperingatkan warga yang berkumpul di dalam dan di luar Balai Adat agar tertib. Melalui pengeras suara, dia mengimbau warga agar tidak berbuat onar. Apalagi, memantik perkelahian.
"Semua masalah, selisih paham, jangan dibawa ke dalam aruh. Kalau tidak, sampai ada yang rusuh, maka akan dikenakan sanksi adat," imbaunya.
Baca juga: Kemana Bupati dan Ketua DPRD HST, saat masyarakatnya aksi Save Meratus
Haris membeberkan, bahwa meski selama pelaksanaan aruh jarang terjadi pelanggaran serius, bukan berarti dia bisa cuek. Alias, tidak mengingatkan. Dia khawatir jika tidak menyampaikan peringatan, masyarakat bakal lupa bagaimana seharusnya bersikap sepanjang aruh berlangsung.
"Denda ringan ketika ada warga atau tamu yang pulang, meninggalkan desa yang menjadi tempat digelarnya aruh di tengah-tengah ritual berlangsung," terang Haris.
Adapun denda paling berat adalah bila terjadi perkelahian saat digelarnya aruh. Dendanya adalah mengganti seluruh biaya aruh. Mulai dari persiapan sampai akhir.
Baca juga: Pilkades HST diprediksi jadi rebutan, PNS dan warga luar desa boleh mendaftar
Sementara, pantangan lain yang berkaitan dengan aruh adalah menuai padi secara berlebihan. Saat Aruh Bawanang berlangsung, bukan berarti padi-padi yang ada di lahan sudah dibabat habis. Justru sebaliknya, bulir padi yang ditanam oleh Suku Dayak Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), masih berada di ladang.
"Yang kami petik, cuma sekadar keperluan untuk pelaksanaan aruh. Tidak lebih dari itu. Aruh ini layaknya penyambutan terhadap hasil padi yang bagus dan melimpah. Tak sopan bila langsung dipanen secara keseluruhan, warga bisa memanen seluruhnya hanya setelah aruh selesai dilaksanakan," katanya.
Berikut kemeriahan aruh adat Bawanang warga Dayak Meratus di Balai Kiyu Desa Hinas Kiri Kabupaten HST :
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019