Terik matahari yang menyengat tak menyurutkan semangat wanita bernama Samiasih untuk terus mencabut rumput liar menggunakan tangan di atas lahan pinjaman seluas sekitar 20x50 meter persegi yang ditanami daun bawang.
"Kalau tidak dicabut, sayurnya malah kalah sama rumput berebut makanan dalam tanah. Jadi tiap hari terus dikontrol. Termasuk harus disiram air tiap sore," ucap Samiasih ditemui Antara, Senin.
Menempati rumah sederhana di Jalan Golf, Gang Dewantara, Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Samiasih terbilang beruntung karena lahan kosong di samping rumahnya yang menjorok hingga ke tepi jalan, diperbolehkan oleh sang pemilik tanah untuk ditanami.
Baca juga: 50 Poktan berlomba garap lahan Jejangkit Batola
Tak hanya satu, total ada dua lahan yang bisa digarapnya. Untuk satunya berada agak jauh dan berbeda pemilik pula.
"Kalau lahan di samping rumah ini milik orang Jakarta. Sedangkan lahan satunya punya orang di Banjarbaru sini juga. Alhamdulilah kita diizinkan untuk menanami, asal dirawat dan dibersihkan," terang ibu empat anak itu.
Tanaman sayur dipilihnya memang berdasarkan pertimbangan lebih mudah dan murah dalam perawatan serta cepat panen.
Seperti daun bawang atau masyarakat kebanyakan lebih familiar dengan menyebutnya bawang prei. Tanaman sayur yang kini berumur 18 hari itu bakal panen ketika berusia 45 hari atau maksimal 2 bulan.
"Bawang prei ini lebih tahan di musim kemarau yang sedikit air. Kalau pas musim hujan, saya tanam timun, buncis, kangkung, bayam hingga terong yang butuh banyak air," beber wanita 43 tahun itu.
Baca juga: SKPD ‘Keroyokan’ Garap 1250 Lahan Potensial
Untuk bibit daun bawang tersebut, Samiasih mengaku mendapatkannya dari seorang teman yang biasa membelikan seharga Rp 15.000 perkilogram. Dalam satu petak lahan, diperlukan 1 kuintal atau 100 kilogram bibit untuk memenuhi lahan yang ditanami.
Sebelum ditanami, tanah ditaburi pupuk kandang sebanyak 30 kilogram yang dibeli seharga Rp 24.000 perkilogram. Kemudian setelah tanaman sayur berusia 20 hari, Samiasih menaburi lagi dengan Pupuk Phonska, jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah seharga Rp 135 ribu perkarung.
"Kalau subur semua tumbuh, panennya bisa jadi 2,5 kuintal. Untuk harga partai saya jual Rp 17.000 sampai Rp 18.000 perkilogram. Kemudian dijual pedagang lagi di eceran Rp 22.000 sampai Rp 23.000," paparnya.
Bersama sang suami, Slamet yang hanya bekerja sebagai tukang bangunan, Samiasih coba bertahan hidup dengan menggarap lahan milik orang untuk dijadikannya kebun kecil ditanami sayur-sayuran.
Samiasih dan suami kini membesarkan tiga anak yang masih dalam tanggung jawabnya yaitu satu duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), satu masih di Taman Kanak-Kanak (TK) dan paling kecil berusia satu tahun. Sedangkan satu anak sulungnya sudah berkeluarga sehingga tidak lagi jadi tanggungannya.
Baca juga: Petani Sawit Ultimatum Garap Lahan Sendiri 2018
Wanita asal Jombang, Provinsi Jawa Timur yang sejak kelas 3 Sekolah Dasar (SD) mengikuti orang tua hijrah ke Kalimantan Selatan dalam program transmigrasi era Presiden Soeharto itupun terus bersyukur atas rezeki dari Allah SWT. Meski hidup sederhana dengan ekonomi pas-pasan, Samiasih tak pernah mengeluh dan selalu semangat bekerja mencari rupiah untuk membantu suami menghidupi keluarga mereka.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Kalau tidak dicabut, sayurnya malah kalah sama rumput berebut makanan dalam tanah. Jadi tiap hari terus dikontrol. Termasuk harus disiram air tiap sore," ucap Samiasih ditemui Antara, Senin.
Menempati rumah sederhana di Jalan Golf, Gang Dewantara, Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Samiasih terbilang beruntung karena lahan kosong di samping rumahnya yang menjorok hingga ke tepi jalan, diperbolehkan oleh sang pemilik tanah untuk ditanami.
Baca juga: 50 Poktan berlomba garap lahan Jejangkit Batola
Tak hanya satu, total ada dua lahan yang bisa digarapnya. Untuk satunya berada agak jauh dan berbeda pemilik pula.
"Kalau lahan di samping rumah ini milik orang Jakarta. Sedangkan lahan satunya punya orang di Banjarbaru sini juga. Alhamdulilah kita diizinkan untuk menanami, asal dirawat dan dibersihkan," terang ibu empat anak itu.
Tanaman sayur dipilihnya memang berdasarkan pertimbangan lebih mudah dan murah dalam perawatan serta cepat panen.
Seperti daun bawang atau masyarakat kebanyakan lebih familiar dengan menyebutnya bawang prei. Tanaman sayur yang kini berumur 18 hari itu bakal panen ketika berusia 45 hari atau maksimal 2 bulan.
"Bawang prei ini lebih tahan di musim kemarau yang sedikit air. Kalau pas musim hujan, saya tanam timun, buncis, kangkung, bayam hingga terong yang butuh banyak air," beber wanita 43 tahun itu.
Baca juga: SKPD ‘Keroyokan’ Garap 1250 Lahan Potensial
Untuk bibit daun bawang tersebut, Samiasih mengaku mendapatkannya dari seorang teman yang biasa membelikan seharga Rp 15.000 perkilogram. Dalam satu petak lahan, diperlukan 1 kuintal atau 100 kilogram bibit untuk memenuhi lahan yang ditanami.
Sebelum ditanami, tanah ditaburi pupuk kandang sebanyak 30 kilogram yang dibeli seharga Rp 24.000 perkilogram. Kemudian setelah tanaman sayur berusia 20 hari, Samiasih menaburi lagi dengan Pupuk Phonska, jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah seharga Rp 135 ribu perkarung.
"Kalau subur semua tumbuh, panennya bisa jadi 2,5 kuintal. Untuk harga partai saya jual Rp 17.000 sampai Rp 18.000 perkilogram. Kemudian dijual pedagang lagi di eceran Rp 22.000 sampai Rp 23.000," paparnya.
Bersama sang suami, Slamet yang hanya bekerja sebagai tukang bangunan, Samiasih coba bertahan hidup dengan menggarap lahan milik orang untuk dijadikannya kebun kecil ditanami sayur-sayuran.
Samiasih dan suami kini membesarkan tiga anak yang masih dalam tanggung jawabnya yaitu satu duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), satu masih di Taman Kanak-Kanak (TK) dan paling kecil berusia satu tahun. Sedangkan satu anak sulungnya sudah berkeluarga sehingga tidak lagi jadi tanggungannya.
Baca juga: Petani Sawit Ultimatum Garap Lahan Sendiri 2018
Wanita asal Jombang, Provinsi Jawa Timur yang sejak kelas 3 Sekolah Dasar (SD) mengikuti orang tua hijrah ke Kalimantan Selatan dalam program transmigrasi era Presiden Soeharto itupun terus bersyukur atas rezeki dari Allah SWT. Meski hidup sederhana dengan ekonomi pas-pasan, Samiasih tak pernah mengeluh dan selalu semangat bekerja mencari rupiah untuk membantu suami menghidupi keluarga mereka.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019