“Di pintu masuk di Bandara Soetta dan Ngurah Rai, kita akan melakukan pengawasan atau skrining secara berlapis dengan pengawasan deklarasi kesehatan pelaku perjalanan atau SATUSEHAT Health Pass,” kata Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes RI Achmad Farchanny Tri Adryanto saat konferensi pers daring, Kamis.
Farchanny menjelaskan SATUSEHAT Health Pass yang berbasis website tersebut wajib diisi oleh semua pelaku perjalanan di bandara keberangkatan. Begitu tiba di Indonesia, pelaku perjalanan juga akan di skrining gejala melalui thermal scanner dan pengamatan visual terhadap adanya tanda serta gejala lainnya.
Sedangkan bagi kasus suspek yang didapati di bandara, Kemenkes akan memberlakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekular (TCM) melalu mini lab yang sudah disiapkan. Tim medis penanganan kedaruratan dan penyakit potensial wabah juga turut disiagakan.
“Kemudian, penanganan rujukan kegawatdaruratan medis dan penyakit menular potensial wabah lainnya,” tambahnya.
Kemenkes juga akan menyediakan mini lab dan mini ICU di lokasi penyelenggaran IAF dan HLF-MSP yang bisa melakukan Tes Cepat Molekular (TCM).
Lebih lanjut, Farchanny menyampaikan bahwa penyakit mpox meningkat secara signifikan di negara-negara regional Afrika, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Mpox terbagi menjadi dua yakni Clade 1 yang banyak beredar di negara regional Afrika dengan gejala lebih berat. Sedangkan Clade 2 yang banyak ditemukan di negara-negara Asia, termasuk Indonesia dan negara lain di luar regional Afrika, memiliki gejala yang lebih ringan.
Kemenkes mencatat Indonesia memiliki 88 kasus mpox sepanjang 2022 hingga Agustus 2024 yang keseluruhannya sudah dinyatakan sembuh. Kemudian terkait penemuan lima kasus suspek, telah dinyatakan negatif setelah dilakukan pemeriksaan di laboratorium.
Menanggapi merebaknya kasus mpox termasuk dari negara-negara Afrika yang akan berpartisipasi pada perhelatan IAF dan HLF-MSP pada 1-3 September mendatang, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Prof. Tjandra Yoga Aditama menilai mpox tidak akan menjadi pandemi seperti COVID-19.
Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu menyampaikan bahwa WHO mendeklarasikan mpox sebagai outbreak a public health emergency of international concern atau wabah keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional. Jika kondisi tersebut tidak terkendali, maka statusnya akan naik menjadi pandemi.
“Sejauh ini sudah ada tujuh atau delapan outbreak a public health emergency of international concern yang sebagian besar berhasil ditanggulangi dan tidak menjadi pandemi,” ungkapnya.
Mpox dinilainya tidak akan membesar jadi pandemi, lantaran mpox sudah pernah dinyatakan sebagai wabah keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional pada 2022 dan pernyataan dicabut pada 2023 karena kasusnya sudah selesai.
Alasan kedua, lantaran penularan mpox lewat kontak erat melalui kulit, berbeda dengan COVID-19 yang lewat virus yang bisa menular melalui batuk. Sedangkan alasan ketiga karena pandemi COVID-19 telah mengajarkan banyak hal sehingga lebih siap dalam menghadapi masalah termasuk mpox.
“Untuk vaksin (COVID-19) ketemunya setahun dan mpox belum dinyatakan pandemi, sudah ada tiga vaksin yang beredar,” tuturnya.
Kendati demikian, Tjandra mengingatkan agar mpox harus ditanggulangi secara maksimal baik melalui surveilen suspek melalui berbagai pemeriksaan, diagnosis suspek, pengobatan pasien, hingga penyuluhan kesehatan.
Baca juga: Wamenkes pantau kesiapan skrining mpox di Bali jelang IAF 2024
Baca juga: Vaksin mpox tiba di Afrika, Nigeria, negara pertama penerima vaksin
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Arie Novarina