Barabai (ANTARA) - Model (Makeup artist) dan busana, Nana, melangsungkan perkawinannya dengan mengikuti adat budaya dan tradisi peninggalan para leluhur, di Tanah Habang, Kecamatan Birayang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, memilih mengikuti adat budaya tersebut karena ingin agar warisan leluhur dapat terus dilestarikan dan diingat para generasi sekarang maupun mendatang.
"Saya memang dulunya bercita-cita jika menikah ingin sekali pesta perkawinan memakai adat budaya di Pahuluan, mulai dari awal sampai selesai ingin memakai adat di Pahuluan," katanya.
Nana merupakan anak perempuan dari pasangan Salasiah dan Almarhum Abdul Sani, juga merupakan adik dari Andra, seorang desainer muda Banjarmasin, Diandra Busana.
Ia merasa beruntung dapat menunaikan keinginannya tersebut, karena di tempat dilangsungkannya perkawinan ini masih banyak tokoh masyarakat setempat yang masih mengerti cara-cara adat dulu menjelang perkawinan.
Baca juga: Tradisi Ba Arak Naga di Kabupaten HST, penganten dan penonton bisa kesurupan sambil menari*
Tiga malam menjelang acara perkawinan ada ritual calon pengantin, seperti dilakukan tradisi "balulur" di malam pertama, lulurnya pun diramu dari kulit-kulit kayu yang ditumbuk di jadikan lulur.
"Malam kedua "balulur cangkaruk", lulur tersebut dibuat sendiri dari beras ketan yg disangrai, habis itu lanjut sore hari "bapapai" atau mandi, tradisi ini dengan menghamburkan beras kuning yang dicampur dengan uang logam," katanya.
Bapapai juga salah satu ritual yg ditunggu-tunggu masyarakat sekitar, untuk menyaksikan acara bapapai karena ingin ikut serta mandi atau sekedar cuci muka dengan air yang digunakan pengantin mandi.
Ramai orang barabutan mayang lawan kambang pangantin, apalagi yang sedang hamil biasanya bunganya dimandikan kembali supaya anaknya cantik seperti pengantin.
Malam terakhir atau malam ketiga dilakukan batimung atau mandi up dengan menggunakan bunga-bunga, supaya pengantin tercium khas bau pengantinnya.
"Proses selanjutnya dilakukan bakasai sirih sakapur, sirih sakapur adalah ritual malam pengantin yg harus dilaksanakan, sirih sekapur dibuat dari daun sirih yang sampuk urat dan berjumlah ganjil yang didoakan oleh orang yang bisa atau dituakan di kampung," katanya.
Berikutnya sebagai puncak ritual pengantin tersebut turun ke pelaminan, tidak lupa telapak betis dan tangan diberi coretan dari kunyit dan kapur atau bisa disebut "ba cacak burung".
Pengantin akan bersanding atau "batatai" sambil bersalam-salaman dengan para tamu dan undangan, sambil menikmati sajian musik, dan sehabis pengantin batabai akan berganti pakaian adat Banjar.
Baca juga: Pelajar Pemberdaya sukses membangun budaya literasi di wilayah desa terpencil
Kemudian pengantin naik ke arak-arakan naga atau "kapala andaru" yang konon katanya umurnya lebih dari 100 tahun, siapa saja boleh memakai arak-arakan, meski tidak punya keturunan langsung, tapi juga syarat-syaratnya harus lengkap.
"Dan jangan aneh jika ada beberapa orang ada yang kerasukan. Pengantin diarak mengitari kampung naik kereta naga (mobil yang dihias seperti kereta naga) sambil menghamburkan uang," katanya.
Tentulah ramai orang-orang akan merebutkan duit yang dihamburkan tersebut dari tangan pengantin, sesudah diarak pengantin turun disambut tari-tarian kuda gepang.
Pengantin duduk menikmati tari-tarian sambil mendengarkan pantun papadahan atau nasehat buat pengantin oleh beberapa penari dengan penyampaian bahasa dan gaya khas setempat.
Dan acara terakhir, pengantin diusung sambil menari mengikuti musik gamelan yang sangat sakral, beberapa rangkaian acara tersebut juga tak melupakan syarat-syarat yang harus disediakan.
Melestarikan adat budaya pernikahan
Kamis, 10 Maret 2022 22:03 WIB
Ia beruntung dapat menunaikan keinginannya tersebut, karena di tempat dilangsungkannya perkawinan ini masih banyak tokoh masyarakat setempat yang masih mengerti cara-cara adat dulu menjelang perkawinan,