Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan meminta kepada pemerintah untuk melanjutkan kembali dua kebijakan besar berjangka panjang yakni Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI).
“MP3EI telah terbukti menumbuhkan perekonomian Indonesia rata-rata 6,0 persen, bahkan pernah mencapai 6,5 persen di periode 2009-2014. Persentase itu adalah persentase tertinggi dari pertumbuhan ekonomi sejak era reformasi," kata Syarief Hasan dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Konsep yang dipergunakan dalam Program MP3EI sebagai contoh grand design jangka panjang yang diperlukan untuk menumbuhkan ekonomi berbasis sumber daya, yakni penumbuhan ekonomi wilayah dilakukan sesuai dengan potensi di daerah masing-masing.
“MP3EI ini memberi ruang kepada setiap daerah untuk mengembangkan potensi unggul daerahnya, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, sayangnya Program ini telah dibubarkan oleh Presiden Jokowi," kata Syarief Hasan.
Baca juga: Proyek MP3EI Bisa Menambah Pendapatan Desa
Menurut anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu, Indonesia memerlukan sebuah grand design ekonomi jangka panjang serta kajian yang matang dalam merancang target pertumbuhan ekonominya.
Selama ini, menurut Syarief, pemerintah lebih banyak membuat kebijakan jangka pendek, seperti gelontoran dana untuk instansi dan bantuan langsung.
"Pemerintah juga harus membuat kebijakan jangka panjang untuk penguatan ekonomi Indonesia," ujar Syarief.
Ia mengingatkan agar pemerintah jangan hanya sekadar membuat target tinggi, lalu melakukan revisi target di tengah jalan seperti yang terjadi dalam kurun tahun 2020.
Menurutnya lagi, pengalaman menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam keadaan normal saja, sejak 2014 dengan posisi saat itu pertumbuhan ekonomi sudah 4,9 sampai 5,0 persen, pemerintah tidak pernah berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih dari 5,2 persen.
Baca juga: PLN Dorong Pembangunan Pembangkit Limbah Sawit
Ia juga menyoroti kebijakan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah untuk rakyat yang baru terserap sebesar 30,7 persen.
"Jika bantuan sosial untuk rakyat ini belum disalurkan secara maksimal, maka bagaimana masyarakat bisa menambah daya belinya. Daya beli masyarakat yang rendah akan membuat ekonomi menjadi semakin melambat," ujar Syarief Hasan.
Dalam Pidato Penyampaian RUU APBN 2021 dan Nota Keuangan, di Gedung Parlemen RI, Senayan, Jakarta pada Jumat (14/8), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan pertumbuhan ekonomi di level 4,5 hingga 5,5 persen pada tahun 2021.
Syarief Hasan memandang bahwa target tinggi yang dipatok oleh pemerintah itu sangat tidak relevan dengan kondisi Indonesia hari ini.
Ia menyebutkan, menurut data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu, menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok ke minus 5,32 persen pada Kuartal II 2020.
Bahkan, proyeksi dari Kemenko Perekonomian RI menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan minus pada Kuartal III 2020 dan artinya ekonomi sudah dalam kondisi resesi.
Angka itu pun diperparah dengan data dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yang menyebutkan jumlah pengangguran bertambah sebesar 3,05 juta selama pandemi COVID-19.
Bahkan, survei LIPI bersama FEB UI pada 2 Mei 2020 memprediksi sebanyak 25 juta pekerja terancam kehilangan pekerjaannya. Banyaknya PHK itu berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
"Dalam posisi sekarang pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen, apakah realistis menetapkan target yang tinggi 5 persen. Jangan menetapkan target dengan tujuan pencitraan yang berlebihan,” kata Syarief Hasan lagi.