Banjarmasin (ANTARA) - Ketua Tim Pakar untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr H Iwan Aflanie mengatakan, klaim zona hijau yang ditetapkan oleh Pemkot Banjarmasin terhadap beberapa kelurahan dinilai sangat bias.
"Pemkot tidak menggunakan kriteria ketat yang telah ditetapkan oleh Satgas Pusat Percepatan Penanganan COVID-19. Sehingga penetapan menjadi zona hijau sangat longgar dan bias," terang dia di Banjarmasin, Minggu.
Menurut Iwan, penyebutan zona hijau juga cukup riskan bagi pengendalian pertumbuhan COVID-19 di kota ini karena dapat mengancam angka infeksi COVID-19 yang sudah tinggi menjadi lebih besar lagi.
Berdasarkan peta yang dirilis oleh Dinas Kesehatan Pemkot Banjarmasin pada 25 Juli, ungkap Iwan, tampak hitungan teknis zona hijau hanya berdasar pada formula kasus positif dikurangi angka kesembuhan dan pasien meninggal. Jika jumlahnya sama dengan nol, maka kelurahan tersebut menjadi zona hijau.
Contohnya adalah Kelurahan Kertak Baru Ilir, jumlah kasus positif 6, sembuh 5, dan meninggal 1 kasus sehingga kasus aktifnya menjadi nol. Karena itu, kemudian Kelurahan Kertak Baru Ilir menjadi zona hijau.
Kedua, data yang dirilis Pemkot sendiri yang merefleksikan warna zona tidak konsisten. Sebagai contoh resmi yang dirilis untuk data agregasi level kota kasus positif sebanyak 2.099 kasus, dirawat atau kasus aktif sebanyak 1.045 kasus, sembuh 890 kasus dan meninggal sebanyak 140 kasus.
"Sekarang kita gunakan data kasus positif, sembuh, dan meninggal pada tiap kelurahan. Dari 52 kelurahan diperoleh jumlahnya mencapai kasus positif sebanyak 1.763 kasus, sembuh 1.170 pasien, meninggal 166 kasus. Berdasarkan penjumlahan ini, maka diperoleh data kasus aktif atau dirawat sebanyak 440 kasus. Sehingga data yang disajikan oleh Pemkot sendiri tidak sinkron dengan rilis data agregasi pada level kota," papar Ahli Forensik dan Medikolegal itu.
Iwan juga mengaku agak bingung apakah kasus positif yang disebutkan dalam infografis tersebut adalah data total kasus positif ataukah data kasus aktif (dirawat) saja.
"Ini perlu penjelasan dan perbaikan supaya data tersebut dapat dipegang oleh publik," cetusnya.
Ketiga, klaim zona hijau itu secara psikologis tidak baik. Karena salah satu problem di Kota Banjarmasin adalah bagaimana mengedukasi masyarakat, sehingga mereka kemudian menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Tetapi fakta di lapangan masih banyak warga yang abai terhadap protokol kesehatan seperti penggunaan masker yang tak semuanya melakukan.
"Nah, jika Pemkot merilis zona hijau yang tolak ukurnya sangat bias, maka itu akan membuat masyarakat semakin terlena sehingga menjadi semakin abai terhadap penerapan protokol kesehatan. Warga bisa saja menganggap situasi sekarang semakin normal dan bebas keluar rumah karena sudah ada zona hijau," timpal Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Kedokteran ULM itu.
Keempat, penetapan zona hijau tidak serta merta membuat kelurahan tersebut bebas dari ancaman penularan COVID-19.
Karena Pemkot Banjarmasin tidak mampu menjamin dan mengontrol mobilitas atau pergerakan penduduk yang masuk dan keluar zona hijau. Padahal pertumbuhan dan penyebaran COVID-19 sangat bergantung pada mobilitas penduduk.
Berdasarkan data Gugus Tugas Pencegahan, Pengendalian, dan Penanganan COVID-19 di Kalimantan Selatan, per tanggal 26 Juli 2020 kasus terkonfirmasi positif di provinsi itu berjumlah 5.656 orang, 2.505 masih dirawat, 2.880 sembuh dan 271 meninggal dunia. Sedangkan suspek (diduga COVID-19) 1.154 orang.
Khusus Kota Banjarmasin dengan kasus tertinggi ada 2.138 orang terkonfirmasi positif, 1.135 masih dalam perawatan, 863 sembuh dan 140 meninggal. Ada 52 kelurahan di 5 kecamatan di Ibukota Provinsi Kalsel itu semuanya terdampak penularan COVID-19.