Manggarai Barat (ANTARA) - Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan pada tahun ini akan menurun menjadi 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibanding pada 2018 yang sebesar 2,93 persen PDB.
"Kami melihat akan lebih baik di 2019 dengan 'current account deficit/CAD' (defisit transaksi berjalan) di 2,7 persen PDB," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI Endy Dwi Tjahjono di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin.
Penurunan defisit transaksi berjalan ini tidak lepas dari catatan surplus Neraca Perdagangan di bulan pertama pada kuartal IV 2019 atau Oktober 2019 yang sebesar 161,3 juta dolar AS.
Baca juga: BI bakal terapkan transaksi "QRIS" serentak pada 2020
Namun, di November 2019, BI memperkirakan akan timbul pengungkit untuk impor khususnya barang konsumsi karena persiapan masyarakat menjelang Liburan Natal dan Tahun Baru.
Sementara untuk pertumbuhan ekonomi, BI memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,1 persen (year on year/yoy) di 2019.
Angka pertumbuhan akan membaik di kuartal IV 2019, kata Endy, karena stimulus dari realisasi belanja pemerintah di akhir tahun dan perbaikan kinerja ekspor. Selain itu tren konsumsi tinggi masyarakat pada liburan Natal dan Tahun Baru juga akan turut menggenjot pertumbuhan.
"Kontribusi fiskal itu biasanya pada akhir tahun, anggaran keluar semua. Jadi akan terjadi lonjakan di pengeluaran pemerintah. Dan liburan Natal dan Tahun Baru akan dongkrak ekonomi," ujar dia.
Pertumbuhan ekonomi 5,1 persen di 2019, stabil dengan 2018 yang sebesar 5,17 persen. Di kuartal III 2019, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,02 persen (yoy).
Sementara, untuk indikator makro ekonomi lainnya, BI memperkirakan inflasi 2019 akan sebesar 3,1 persen (yoy), pertumbuhan kredit delapan persen (yoy) atau menurun dibanding 2018 yang sebesar 12,1 persen (yoy) dan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang sebesar delapan persen.
Baca juga: BI tidak ada kelonggaran aturan bagi Mastercard dan Visa