Banjarmasin (ANTARA) - Kurangnya jumlah tenaga guru di Provinsi Kalimantan Selatan dikeluhkan Dinas Pendidikan setempat hingga dikhawatirkan proses pembelajaran tidak dapat berjalan maksimal sesuai harapan masyarakat.
Sedikitnya provinsi berjuluk Bumi Lambung Mangkurat itu membutuhkan sekitar 4.000 tenaga guru lagi untuk mengisi sekolah-sekolah yang ada mulai tingkat pra sekolah seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK) hingga pendidikan dasar (SD-SMP) dan pendidikan menengah (SMA/SMK).
Bahkan di kota Banjarmasin sebagai ibukota provinsi saja, Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin Totok Agus Daryanto mengakui kurangnya tenaga guru sebanyak 1.500 orang. Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Tahun 2018 lalu pun tidak bisa mengakomodir kebutuhan guru, karena tidak sebandingnya guru pensiun dengan yang diterima melalui tes CPNS.
Namun lantas apakah kekurangan tersebut hanya terjadi pada sisi kuantitas?. Menurut pengamat dan praktisi pendidikan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof H Ahmad Suriansyah, MPd, PhD, kekurangan guru tak hanya soal jumlah tetapi secara kualitas juga perlu terus dibenahi.
"Ada dua hal yang disebut dengan kurang. Pertama kurang dilihat dari sisi jumlah dan kedua kurang dari sisi kualitas. Sekarang pertanyaannya, dua-duakah kurang atau salah satu saja. Saya berharap hanya kurang dari sisi jumlah bukan kualitas," kata Prof Sur, begitu biasa Ahmad Suriansyah disapa saat ditemui di Banjarmasin, Senin.
Dia menjelaskan, untuk jumlah bisa diatasi dengan produksi guru tetapi kualitas perlu diatasi dengan kebijakan dan pembinaan berkelanjutan.
Diakui Prof Sur, dalam proses pembelajaran guru jadi faktor paling dominan yang berkontribusi besar terhadap peningkatan mutu hasil belajar.
Oleh sebab itu, kata dia, kekurangan jumlah guru adalah masalah besar bagi pendidikan, karena jumlah guru yang kurang berarti ada sejumlah siswa yang tidak terlayani dalam proses pembelajran atau terlayani tetapi tidak mendapatkan pelayanan maksimal dan memuaskan sesuai harapan masyarakat.
"Kekurangan ini bisa berdampak terhadap kualitas lulusan. Oleh sebab itu, harus diatasi kalau kita menginginkan proses pembelajaran menjadi lebih bagus. Rekrutmen pengangkatan tenaga ASN dengan perjanjian kerja bisa dilakukan pemerintah. Karena setiap tahun kekurangan ribuan guru ini akan terus terjadi dan bertambah lantaran ada yang pensiun," jelas pria yang menjabat Direktur Pascasarjana ULM ini.
Jika melihat data yang diungkapkan oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, ungkap Prof Sur, guru yang profesional hanya 25 persen. Itu artinya, 75 persen sisanya tidak profesional. Kalau demikian, maka perlu peningkatan standarisasi guru, terlebih dalam era revolusi industri 4.0.
Sedangkan untuk mengatasi kekurangan kualitas, menurut Prof Sur pembinaan tersistem dan berkelanjutan mesti dilakukan. Ada yang bentuknya diklat maupun pembinaan sehari-hari yang bekerja sama dengan lembaga penghasil guru atau LPTK di berbagai universitas.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru harus bersertifikat pendidik. Artinya, harus ada melalui pendidikan yang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG).
"Kita tahu bahwa hasil penelitian mengatakan tidak ada guru yang hebat kalau tidak dilakukan pembinaan oleh kepala sekolah yang hebat. Sementara kepsek yang hebat akan ada kalau terdapat sejumlah pengawas dan pembina pendidikan yang hebat pula. Nah, pengawas pendidkan yang hebat ini akan lahir dari satu kebijakan proses rekrutmen pengawas yang benar. Inilah sistem yang harus dibangun kalau ingin pendidikan kedepan bagus," papar pria yang sukses mengantarkan Program Magister Manajemen Pendidikan serta Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) ULM terakreditasi A.
Lebih jauh profesor Bidang Manajemen Pendidikan lulusan Universiti Utara Malaysia ini menyimpulkan, pertama pemda harus memenuhi jumlah guru dan kedua harus menjamin kualitas guru yang akan direkrut atau guru yang sudah ada di sekolah.
"Lahirkan kebijakan yang berorientasi kepada mutu. Kemudian bina kepala sekolah dan pengawas yang selanjutnya kepala sekolah membina guru-guru untuk lebih bermutu. Ini yang krusial harus diatasi di masa sekarang dan akan datang," tandasnya.
Di sisi lain, Prof Sur memastikan jika dari sisi jumlah lulusan tenaga guru seperti di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ULM, sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan yang diperlukan sekolah di Kalsel mulai tingkat PAUD hingga SMA sederajat.
Guru yang dihasilkan pun dijamin secara akademik memenuhi syarat kompetensi. Selanjutnya jika lulusan perguruan tinggi tersebut bertugas di sekolah, maka pembinaan lanjutan jadi tugas Dinas Pendidian setempat.
"Sinergitas antara pemda dan perguruan tinggi inilah yang diharapkan. Jadi tidak bisa jalan sendiri-sendiri. FKIP misalnya, harus memperhatikan guru apa yang dibutuhkan di lapangan. Kalau dua sisi ini sinergi dan harmonis, maka pembentukan guru yang berkualitas akan lebih memungkinkan bisa kita lahirkan," pungkasnya.