Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersinergi dengan Kementerian Pertanian untuk mengembangkan teknologi, yang menggabungkan panen padi dan udang windu secara bersamaan di lokasi sama.
"Teknologi ini menarik, dan merupakan teknologi baru yang mencoba menggabungkan udang windu yang biasanya hidup di wilayah laut dengan padi yang biasanya hidup di air tawar," kata Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Sjarief memaparkan bahwa panen bersamaan tersebut adalah hasil Inovasi Teknologi Adaptif Perikanan Mina Padi Air Payau (INTAN-AP) padi udang windu (PANDU), yang telah dicobakan di lahan menganggur di Dusun Uring, Desa Lawallu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Minggu (5/5/2019).
Menurut dia, dengan teknologi tersebut maka produksi padi dan udang windu bisa didekatkan, karena padi dengan varietas khusus tertentu ternyata mampu bertahan dengan air payau udang windu.
"Setelah panen pertama berhasil, panen kedua ini luar biasa, berhasil juga. Jadi kita lihat teknologi ini sudah mapan untuk bisa dikembangkan di masyarakat secara luas," ujar Kepala BRSDM.
Ia mengungkapkan, panen dilakukan di lahan seluas 1 hektare (30 persen untuk tambak udang dan 70 persen untuk lahan padi). Lahan tersebut merupakan lahan persawahan milik kelompok masyarakat yang sudah ditinggalkan kurang lebih 10 tahun karena dianggap tidak produktif.
INTAN-AP PANDU merupakan integrasi teknologi budi daya udang windu dengan padi varietas toleran salin untuk memanfaatkan potensi lahan menganggur yang disebabkan oleh intrusi air laut.
Kegiatan riset tersebut, lanjutnya, diinisiasi oleh Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) pada tahun 2018 melalui sinergitas riset antara Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) Kementerian Pertanian (Kementan).
Dijelaskan bahwa tokolan udang windu yang digunakan adalah hasil riset perakitan strain udang windu unggul BRPBAP3, sedangkan varietas padi toleran salin yang digunakan adalah INPARI 34 dan 35 yang merupakan hasil riset perakitan varietas BBPadi.
"Perbaikan teknologi budidaya minapadi air payau pada tahun ini yaitu pencegahan serangan hama pada tanaman padi tidak lagi menggunakan pestisida kimia, namun menggunakan biopestisida atau pestisida nabati yang aman bagi kehidupan udang dan ramah lingkungan," ucap Sjarief.
Menurut dia, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada pemeliharaan dan manajemen lingkungan yang sesuai untuk kehidupan udang windu dan padi karena udang windu dan padi mempunyai toleransi salinitas yang berbeda.
Ia juga mengatakan, keberhasilan INTAN-AP PANDU serta pengembangan dan keberlanjutan teknologi ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah pusat, namun juga dari pemerintah daerah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Teknologi ini menarik, dan merupakan teknologi baru yang mencoba menggabungkan udang windu yang biasanya hidup di wilayah laut dengan padi yang biasanya hidup di air tawar," kata Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Sjarief memaparkan bahwa panen bersamaan tersebut adalah hasil Inovasi Teknologi Adaptif Perikanan Mina Padi Air Payau (INTAN-AP) padi udang windu (PANDU), yang telah dicobakan di lahan menganggur di Dusun Uring, Desa Lawallu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Minggu (5/5/2019).
Menurut dia, dengan teknologi tersebut maka produksi padi dan udang windu bisa didekatkan, karena padi dengan varietas khusus tertentu ternyata mampu bertahan dengan air payau udang windu.
"Setelah panen pertama berhasil, panen kedua ini luar biasa, berhasil juga. Jadi kita lihat teknologi ini sudah mapan untuk bisa dikembangkan di masyarakat secara luas," ujar Kepala BRSDM.
Ia mengungkapkan, panen dilakukan di lahan seluas 1 hektare (30 persen untuk tambak udang dan 70 persen untuk lahan padi). Lahan tersebut merupakan lahan persawahan milik kelompok masyarakat yang sudah ditinggalkan kurang lebih 10 tahun karena dianggap tidak produktif.
INTAN-AP PANDU merupakan integrasi teknologi budi daya udang windu dengan padi varietas toleran salin untuk memanfaatkan potensi lahan menganggur yang disebabkan oleh intrusi air laut.
Kegiatan riset tersebut, lanjutnya, diinisiasi oleh Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) pada tahun 2018 melalui sinergitas riset antara Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) Kementerian Pertanian (Kementan).
Dijelaskan bahwa tokolan udang windu yang digunakan adalah hasil riset perakitan strain udang windu unggul BRPBAP3, sedangkan varietas padi toleran salin yang digunakan adalah INPARI 34 dan 35 yang merupakan hasil riset perakitan varietas BBPadi.
"Perbaikan teknologi budidaya minapadi air payau pada tahun ini yaitu pencegahan serangan hama pada tanaman padi tidak lagi menggunakan pestisida kimia, namun menggunakan biopestisida atau pestisida nabati yang aman bagi kehidupan udang dan ramah lingkungan," ucap Sjarief.
Menurut dia, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada pemeliharaan dan manajemen lingkungan yang sesuai untuk kehidupan udang windu dan padi karena udang windu dan padi mempunyai toleransi salinitas yang berbeda.
Ia juga mengatakan, keberhasilan INTAN-AP PANDU serta pengembangan dan keberlanjutan teknologi ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah pusat, namun juga dari pemerintah daerah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019