Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Penanganan barang bukti digital atau digital evidence memerlukan keahlian dan pengetahuan khusus. Sehingga penyidik Polri yang menangani kasus terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak salah dalam bertindak.
Untuk itu, Polda Kalsel terus meningkatkan kemampuan para penyidik dalam menangani barang bukti digital agar mulai tahap penyitaan, analisis, sampai dihadirkan di persidangan tidak cacat hukum.
"Kali ini kami mengundang pakar dari Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia Yogyakarta untuk memberikan pencerahan bagi penyidik terutama penyidik cyber agar lebih profesional," terang Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalsel Kombes Pol Rizal Irawan. Hal itu dikatakannya kepada wartawan usai membuka workshop bertajuk "Peningkatan Profesionalisme Penyidik Dalam Penanganan Kasus Terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" yang berlangsung di Meratus Room Hotel Banjarmasin International (HBI), Jumat (7/12).
Rizal mengakui, barang bukti digital berbeda dengan barbuk pada umumnya. Untuk itu, perlu penanganan khusus dan penyidik harus siap guna kelancaran dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
"Harapannya segala konten baik di komputer, gadget maupun media elektronik lainnya seperti program, file gambar, dan dokumen teks bisa didapatkan secara komprehensif sehingga menjadi alat bukti di persidangan," tandas Rizal. Sementara Kepala Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia Yudi Prayudi yang menjadi narasumber mengungkapkan, kapasitas kemampuan penyidik memang menjadi kendala selama ini terutama di level bawah ketika menangani kasus Undang-Undang ITE.
"Misalnya kasus dimulai dari penerimaan laporan diharapkan ada sebuah keterampilan yang standar dari penyidik yang kemudian dengan pelaporan yang baik maka memudahkan proses selanjutnya," papar Yudi yang merupakan pengurus pusat Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI).
Apalagi terminologi Teknologi Informasi dan Komunikasi, ungkap Yudi, harus diterjemahkan dengan baik seperti tindakan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan dokumen elektronik.
"Secara teknis seperti apa, dan dari sisi hukum juga harus jelas, sehingga pemahaman yang benar oleh penyidik bisa merekonstruksikannya," pungkas pria yang menjadi anggota High Technology Crime Investigation Association (HTCIA) itu. Workshop yang dimoderatori Daddy Fahmanadie dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) itu dihadiri para penyidik Subdit II Perbankan Pencucian Uang dan Kejahatan Dunia Maya (PPUKDM) Ditreskrimsus Polda Kalsel dan Kasat Reskrim Polres jajaran.
"Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia, Fakultas Teknik ULM dan juga Polda Kalsel
sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi penyidik berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut Undang-Undang ITE," timpal Kasubdit II PPUKDM Ditreskrimsus Polda Kalsel AKBP Zaenal Arifien.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018
Untuk itu, Polda Kalsel terus meningkatkan kemampuan para penyidik dalam menangani barang bukti digital agar mulai tahap penyitaan, analisis, sampai dihadirkan di persidangan tidak cacat hukum.
"Kali ini kami mengundang pakar dari Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia Yogyakarta untuk memberikan pencerahan bagi penyidik terutama penyidik cyber agar lebih profesional," terang Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalsel Kombes Pol Rizal Irawan. Hal itu dikatakannya kepada wartawan usai membuka workshop bertajuk "Peningkatan Profesionalisme Penyidik Dalam Penanganan Kasus Terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" yang berlangsung di Meratus Room Hotel Banjarmasin International (HBI), Jumat (7/12).
Rizal mengakui, barang bukti digital berbeda dengan barbuk pada umumnya. Untuk itu, perlu penanganan khusus dan penyidik harus siap guna kelancaran dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
"Harapannya segala konten baik di komputer, gadget maupun media elektronik lainnya seperti program, file gambar, dan dokumen teks bisa didapatkan secara komprehensif sehingga menjadi alat bukti di persidangan," tandas Rizal. Sementara Kepala Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia Yudi Prayudi yang menjadi narasumber mengungkapkan, kapasitas kemampuan penyidik memang menjadi kendala selama ini terutama di level bawah ketika menangani kasus Undang-Undang ITE.
"Misalnya kasus dimulai dari penerimaan laporan diharapkan ada sebuah keterampilan yang standar dari penyidik yang kemudian dengan pelaporan yang baik maka memudahkan proses selanjutnya," papar Yudi yang merupakan pengurus pusat Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI).
Apalagi terminologi Teknologi Informasi dan Komunikasi, ungkap Yudi, harus diterjemahkan dengan baik seperti tindakan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan dokumen elektronik.
"Secara teknis seperti apa, dan dari sisi hukum juga harus jelas, sehingga pemahaman yang benar oleh penyidik bisa merekonstruksikannya," pungkas pria yang menjadi anggota High Technology Crime Investigation Association (HTCIA) itu. Workshop yang dimoderatori Daddy Fahmanadie dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) itu dihadiri para penyidik Subdit II Perbankan Pencucian Uang dan Kejahatan Dunia Maya (PPUKDM) Ditreskrimsus Polda Kalsel dan Kasat Reskrim Polres jajaran.
"Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia, Fakultas Teknik ULM dan juga Polda Kalsel
sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi penyidik berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut Undang-Undang ITE," timpal Kasubdit II PPUKDM Ditreskrimsus Polda Kalsel AKBP Zaenal Arifien.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018