Barabai, (Antaranews Kalsel) - Ketika mendengar kata Pegunungan Meratus maka akan ada terasa kesejukan dan perasaan yang tenang karena merupakan kawasan pegunungan yang berada di Tenggara Pulau Kalimantan membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua, membentang sepanjang 600 km2 dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Pegunungan ini menjadi bagian dari delapan kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Balangan, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Kabupaten Tapin.

Sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur mencangkup Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Barat bagian selatan, sementara di Provinsi Kalimantan Tengah meliputi sebagian kecil Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Timur.

Bagi suku Dayak Meratus, hutan merupakan paru-paru bagi kehidupannya dengan pemanfaatannya dikelola secara bersama yang mereka atur berdasarkan kebiasan atau adat.

Model pengelolaannya berbasis pada nilai ekonomis, ekologis dan keberlanjutan yang sumber daya alamnya menjadi sumber pendapatan pemenuhan kehidupan sehari-hari sekaligus sebagai tabungan masa depannya untuk anak cucu mereka.

Mata pencahariannya mengandalkan sumber daya alam setempat yang memiliki rotasi ekonomi sepanjang tahun sesuai musim yang berlaku, mulai usaha pertanian berupa padi Tugalan, kebun rotan, kebun karet dan hasil hutan non kayu seperti kulit kayu gemor, getah jelutung, obat tradisional dan buah-buahan  lokal  musiman.

Proses pengelolaannya atau pemanfaatan dan pelestariannya diatur  dengan kesepakatan adat oleh masyarakat Dayak melalui musyawarah yang dipimpin oleh kepala adat dan sumber daya alam yang dimaksud antara lain, hutan, kebun, sungai-sungai dan mahluk hidup di dalamnya termasuk manusia tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Pegunungan Meratus merupakan ekosistem hutan hujan tropika yang memiliki ciri khas dan unik oleh karena itulah Indonesia secara umum menjadi Negara terpenting dalam perlindungan hutan hujan tropika di Asia.

Hutan Borneo yang mana termasuk di dalamnya hutan di pegunungan Meratus juga dikenal oleh seluruh dunia sebagai Lungs of The World yaitu paru-paru dunia karena masih banyaknya tumbuhan yang hidup dalam ekosistem hutan baik yang masih alami dan juga sudah dikelola oleh masyarakat daerahnya.

Disebut sebagai paru-paru dunia karena memiliki penghasil oksigen terbesar guna kelangsungan hidup makhluk hidup di dunia ini.

Kawasan hutan merupakan aset penting untuk meredam dampak pemanasan global dengan kemampuannya menyerap sejumlah besar karbondioksida dari atmosfer dalam proses fotosintesis.

Para pakar dan aktivis lingkungan juga berusaha untuk segera memasukkan kawasan Pegunungan Meratus ke dalam mekanisme udara bersih atau lean Development Mechanism sehingga kelestarian kawasan tersebut kemudian akan menjadi kepedulian seluruh dunia.

Karena hutan Pegunungan Meratus yang terbentang dengan luas lebih dari satu juta hektar merupakan aset besar yang memberikan kontribusi bagi kesegaran udara dunia.

Namun selain keindahan alam dan keasrian hutannya, pegunungan Meratus juga kawasan yang dikenal memiki cadangan bahan tambang melimpah khususnya batu bara yang menggairahkan berbagai kalangan mengeksploitasi bahan galian yang disebut pula sebagai “emas hitam”.

Dari delapan Kabupaten di Kalsel yang masuk wilayah Meratus, cuma Kabupaten HST yang belum digarap pertambangan batu baranya, sehingga menjadi incaran para Perusahaan besar dan kecil untuk bersaing dan terkesan menghalalkan segala cara untuk dapat mengekploitasi.

Pusat Sumberdaya Geologi Departemen Pertambangan dan Energi juga pernah melalukan penelitian dan menyelidiki potensi tambang di HST dengan mendeteksi cadangan batu bara di dua Kecamatan yaitu Batang Alai Timur dan Haruyan.

Di Kecamatan Batang Alai Timur terdapat 15 juta ton dengan nilai panas 5.000-6.000 kcal per kilogram sedangkan di Kecamatan Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton,dengan nilai kalori 6.000-7.000 kcal per kilogram.

Izin kuasa pertambangan (KP) batubara yang pernah dikeluarkan HST pernah terjadi tahun 1995 namun karena dalam pelaksanaannya izin tersebut disalahgunakan, hingga Pemerintah Kabupaten mencabutnya pada tahun 2002.

Saat ini ada dua perusahaan besar yang mengantongi izin dari Pemerintah pusat yang merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yaitu PT Antang Gunung Meratus (AGM) dengan luas arealnya di HST 3.242 hektare Sedangkan PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang juga memgantongi ijin dengan bahan galian seluas 1.964 hektare.

Bentuk penolakan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah seakan-akan tidak diindahkan oleh 2 Perusahaan tersebut karena pada Tahun 2017 kembali ada permintaan penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) HST yang terkena koordinat PKB2B untuk memulai rencana kerangka acuan AMDAL penambangan batu bara.

Namun lagi-lagi mendapatkan penolakan dari Pemerintah Daerah, LSM maupun masyarakat setempat dan juga secara tegas Bupati HST H Abdul Latif saat itu pernah mengeluarkan statment jika HST sampai di eksploitasi batu bara maka siap mundur dari jabatannya.

Di Tahun yang sama pula PT Antang Gunung Meratus (AGM) kembali dengan berani memasang patok di tanah milik warga secara diam-diam di zona wilayah yang sudah masuk dalam PKP2B yaitu Kecamatan Haruyan, Hantakan dan Batang Alai Selatan dan sempat ada reaksi memanas di tengah masyarakat karena mereka menganggap ilegal.

Bupati HST dengan sigap langsung mendatangi kantor PT AGM dengan membawa dokumen penolakan dari masyarakat HST dan mengeluarkan surat bernomor 800/288/DLHP/2017 yang berisi penolakan tambang batubara tertanggal 5 September 2017 kepada Menteri ESDM.

Penolakan disampaikan berdasarkan hasil rapat pembahasan PKP2B Blok Batu Tangga untuk PT Mantimin Coal Mining (MCM) dan PKP2B PT AGM di Blok Haruyan pada 25 Agustus 2017 dan jajaran Perusahaan juga meminta maaf karena tidak memberitahukan atau mensosialisasikan sebelumnya terkait pemasangan patok itu.

Pada awal Tahun 2018 ini masyarakat HST kembali di buat geger dengan surat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menerbitkan keputusan dengan Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan PKP2B kepada PT MCM menjadi tahap kegiatan operasi produksi.

Surat Keputusan tersebut dikeluarkan untuk penambangan di wilayah Kabupaten HST yang meliputi Kecamatan Batang Alai Timur yang ditandatangani atas nama Menteri ESDM yaitu Dirjen mineral dan Batu bara Bambang Gatot Ariyono tertanggal 4 Desember 2017 lalu yang ditembuskan kepada Bupati HST, Bupati Tabalong dan Bupati Balangan serta Direksi PT MCM.

Surat itu memutuskan bahwa Perusahaan tersebut sudah bisa melakukan tahap kegiatan operasi produksi yang artinya sudah boleh ditambang.

Adapun titik koordinatnya untuk tahap kegiatan produksi meliputi tiga lokasi yaitu di Kabupaten HST, Balangan dan Tabalong dengan total luas 5.908 hektare dan kegiatan operasi produksi berlaku sampai 2034 mendatang.

Tentu saja SK tersebut mendapat reaksi keras penolakan dari berbagai kalangan disaat HST mengalami banjir dan Bupatinya dijadikan tersangka oleh KPK.  

Muncul juga petisi penolakan yang sudah di tandatangani puluhan ribu masyarakat dari berbagai kalangan dan reaksi dari DPR RI hingga para aktivis lingkungan hidup.

Masyarakat menganggap,  tidak ditambang saja Barabai setiap tahunnya kebanjiran apalagi jika ditambang maka akan merusak lingkungan hidup dan dapat mengubah secara total baik iklim maupun keberlangsungan hayati.

Termasuk juga hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen dan pengatur suhu.

Selain itu penambangan batu bara juga bisa mengakibatkan perubahan sosial ekonomi masyarakat disekitar kawasan penambangan.

Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pertambangan batu bara perlu dilakukan  tindakan-tindakan yang serius dan tidak dapat di pungkiri bahwa Pemerintah mempunyai peran yang penting dalam mencari solusi terhadap dampak dan pengaruh pertambangan batu bara.

Pemerintah harus menyadari bahwa tugas mereka adalah memastikan masa depan yang dimotori oleh energi bersih dan terbarukan hingga  dengan cara ini kerusakan pada manusia dan kehidupan sosialnya serta kerusakan ekologi dan dampak buruk perubahan iklim dapat dihindari.

Namun kenyataannya malah Pemerintah Pusat kembali memberikan surat ijin kegiatan operasi produksi penambangan tanpa melihat dampak dan gejolak yang terjadi di masyarakat.

HST sebagai salah satu lumbung produksi padi di Kalimantan Selatan, tentunya irigasi dan kawasan pertanian para petani merupakan suatu sumber dari keberlangsungan hidup mereka.

Ribuan keluarga petani di HST akan terancam keberlangsungan hidupnya dikarenakan ribuan hektar sawah garapan mereka terancam tidak mendapat pasokan air.

Izin pertambangan batubara tentunya sangat menyakiti hati rakyat HST, karena mayoritas penduduknya adalah petani dan dampak ini akan langsung dirasakan oleh mereka karena area konsesi pertambangan batubara semuanya bermuara ke Sungai Batang Alai yang merupakan sungai utama sebagai sumber irigasi petani, apalagi setelah rampungnya bendungan Sungai Batang Alai ini akan mampu mengairi 6.223 Ha sawah dari ribuan petani.

Selain itu berdasarkan overlay peta kawasan hutan dan berdasarkan SK Menhut No. 435/2009, ternyata konsesi pertambangan batubara PT. MCM tersebut sebagian bertumpang tindih dengan kawasan Hutan Lindung.

Jadi sudah jelas bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang batubara akan mengancam keberadaan kawasan lindung dan catchment area Sungai Batang Alai.

Pertambangan batu bara tersebut di prediksikan akan memperparah bencana banjir yang selama ini terjadi di HST dan juga Kerawanan bencana banjir dan longsor di HST akan semakin meningkat dengan adanya pertambangan di catchment area Sungai Batang Alai.

Padahal, seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2006 sampai 2025, Kabupaten HST sudah konsisten mengutamakan pembangunan berbasis lingkungan yang diperkuat dengan Perda Nomor 4 Tahun 2010.

Selanjutnya pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) HST periode 2016-2021 dalam Perda Nomor 5 Tahun 2016 menyatakan juga bahwa sumber daya yang tidak diperbaharui tidak dieksploitasikan secara maksimal hanya demi kepentingan jangka pendek.

Pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat fokus pada sektor pertanian baik itu perkebunan, perikanan dan kehutanan dengan senantiasa meningkatan kualitas sumber daya manusianya dan menyediakan fasilitas pendukung yang menunjang.

Maka sudah menjadi keniscayaan kepada setiap masyarakat Indonesia pada umumnya dan warga Provinsi Kalsel yang terkhusus warga Bumi Murakata untuk berani bertindak,  bergerak dan menolak pertambangan batu bara di HST untuk keberlangsungan lingkungan dan anak cucu kita serta keberlangsungan dunia.

Pewarta: M. Taupik Rahman

Editor : Muhammad Taufikurrahman


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018