Mimpi ribuan nelayan dan ratusan pelaku industri yang berharap pada biodesel untuk menjawan kelangkaan dan naiknya harga BBM, nampaknya tak kunjung terwujud. Bahkan kondisinya saat ini memprihatinkan karena pabrik ini tak juga beroperasi sejak didirikan beberapa waktu lalu.
Hadirnya pabrik biodesel ini tak lepas dari segudang persoalan yang menggerogoti usahanya yang muaranya bersumber dari dampak sulitnya memperoleh bahan bakar murah, khususnya solar. Tadinya banyak pihak berharap persoalan itu akan segera terpecahkan dengan munculnya pabrik ini di Kota Baru.
Pada 2007 pemerintah pusat melalui Kementerian Riset dan Tekhnologi memberikan bantuan pabrik biodesel senilai Rp16 miliar kepada Pemerintah Kabupaten Kotabaru.
Pabrik biodesel bantuan dari Menristek merupakan hasil rekayasa teknologi anak bangsa terbaik dalam mengatasi mulai menipisnya BBM dari fosil berupa pabrik pengolahan minyak sawit mentah /crude palm oil (CPO) menjadi energi terbarukan.
Bantuan pabrik biodesel dilatarbelakangi oleh terjadinya harga BBM melambung, sementara harga Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO murah.
Pemerintah Indonesia bersama anak bangsa membuat dua pabrik biodesel yang waktu itu rencanya akan diserahkan kepada pemerintah daerah Oku Timur, Sumatera Selatan dan Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Berharap mendapat bantuan yang bernilai miliaran rupiah tersebut, H Sjachrani Mataja saat menjabat Bupati Kotabaru cukup antusias, sehingga langsung mengalokasikan dana penyertaan minimal 10 persen atau sekitar Rp1,6 miliar dari nilai pabrik sebesar Rp16 miliar.
Rencananya dana penyertaan dari pemerintah daerah yang direaliasikan secara bertahap hingga tiga tahun itu akan dipergunakan untuk membangun gudang, instalasi pengolahan air limbah (IPAL), instalasi listrik, pembuatan sumur bor, dan sarana yang lainnya.
Mimpi nelayan dan industri kecil semakin nyata, ketika Bupati Kotabaru menyatakan, bahwa April 2008 pabrik biodesel mulai dioperasikan, karena pabrik yang memiliki papasitas produksi enam ton biodesel per hari tersebut sudah selesai dibangun di Desa Telaga Sari, Kecamatan Kelumpang Hilir, sekitar 20 km dari Kotabaru.
"Insya Allah tidak lama lagi kita akan mulai mengoperasikan pabrik biodesel ini, setelah ada rekomendasi dari konsultan Kementrian Riset dan Teknologi," terang Sjachrani kala itu.
Biodesel tersebut akan diproduksi dengan menggunakan bahan baku minyak sawit mentah dengan kualitas rendah.
Dengan tersedianya biodesel yang murah, diharapkan mampu mengatasi masalah naiknya harga BBM, yang menyebabkan ribuan nelayan di daerah tidak lagi mampu membeli solar untuk bahan bakar kapal tangkapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bupati Kotabaru menambahkan, untuk mendukung kelancaran produksi biodesel, Pemkab Kotabaru juga memindahkan pabrik kelapa sawit (PKS), di Pulau Sebuku ke Telagasari, guna menghasilkan bahan baku biodesel yakni, CPO.
Sabri Madani saat masih menjabat kepala Dinas Perikanan dan Kelautan menambahkan, lebih 20 persen dari sekitar 15.388 nelayan di Kotabaru tidak dapat melaut akibat kenaikan harga BBM.
Supriono saat menjabat Ketua KUD Gajah Mada, koperasi yang akan mengelola pabrik kala itu mengatakan, dengan luas areal tanaman kelapa sawit di Kotabaru, pihaknya yakin untuk memperoduksi 6 ton biodesel per hari dapat terpenuhi.
Bahkan produksi tersebut ada kemungkinan dapat ditingkatkan menjadi 10 ton per hari.
Tapi rencana itu hanya jadi mimpi belaka. Satu per satu industri kecil mulai gulung tikar dan begitu juga nelayan lokal mulai mencari pekerjaan lain, karena rencana pengoperasian pabrik biodesel itu tidak segera terwujud.
Bahkan hingga saat ini, pabrik yang bernilai lebih dari Rp16 miliar itu masih berdiri dengan kokohnya dalam sebuah gudang di Telaga Sari.
Nelayan dan industri kecil merasa "Mimpi hanya tinggal mimpi" karena janji pengoperasian pabrik tidak kunjung terwujud.
Banyak persoalan yang menjadi kendala tidak bisa dioperasikannya pabrik biodesel tersebut.
Di antaranya, masalah listrik, untuk mengoperasikan pabrik biodesel tersebut diperlukan daya sekitar 100 KVA, sementara PT PLN tidak dapat melayani karena Kotabaru masih krisis listrik.
"Dana untuk pemasangan listrik telah dialokasikan pada perubahan anggaran, namun kami pesimistis dapat dilaksanakan karena waktunya hanya tersisa 45 hari, dan itu tidak dapat dilaksanakan," kata Hernadi yang saat itu menjadi bendaharawan kegiatan pembangunan pabrik biodesel.
Hernadi mengaku, untuk pemasangan listrik dan pembangunan sarana yang lainnya, Pemkab Kotabaru mengalokasikan dana sekitar Rp310 juta pada perubahan anggaran 2008.
H Adriansyah saat menjabat Kabid Perindustrian Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kotabaru, mengungkapkan, untuk pengoperasian perdana pabrik biodesel diperlukan dana sekitar Rp8,5 miliar.
"Dana tersebut untuk melengkapi sarana/fasilitas pabrik yang belum tersedia, serta untuk biaya operasi dan pembelian bahan baku minyak sawit mentah," ujar Adrian, tanpa menyebutkan dengan rinci.
Pabrik biodesel tidak dapat dioperasikan, karena masih belum mendapatkan aliran listrik.
"Bahkan saat akan diserahterimakan ke KUD, kami juga menolak karena masih banyak kelengkapan pabrik yang belum dipenuhi," kata Ketua baru Koperasi Unit Desa (KUD) Gajah Mada calon pengelola pabrik biodesel I Ketut Yudiana.
Bahkan hingga saat ini belum ada perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi minyak sawit mentah/CPO yang menjamin ketersediaan bahan baku untuk biodesel.
Selain dua persoalan pokok tersebut, kata dia, sarana air bersih untuk membantu proses pengolahan biodesel juga belum tersedia.
"Begitu juga dengan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan pabrik biodesel juga belum dilatih," katanya.
Ketut mengaku baru siap menerima penyerahan pengelolaan pabrik biodesel dari Kementerian Riset dan Teknologi melalui pemerintah daerah jika kekurangan tersebut dipenuhi.
"Kami siap menerima jika pabrik tersebut telah benar-benar dapat dioperasikan dan segalanya terpenuhi," katanya.
Menurut dia, pabrik biodesel tidak akan dapat dimanfaatkan jika masalah listrik, perusahaan penjamin bahan baku dan sarana air bersih tersedia.
Mahyudi mengakui, selain persoalan listrik, Ipal dan yang terlibat langsung dengan masalah produksi, legalitas pabrik seperti izin mendirikan bangunan, izin mengenai dampak lingkungan (Amdal) juga belum jelas.
Belum ekonomis.
Pengoperasian pabrik biodesel saat ini dinilai belum ekonomis dan hanya akan menjadi beban APBD Kotabaru.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kotabaru, Mahyudiansyah.
Untuk memproduksi satu liter biodesel diperlukan bahan baku dua liter CPO dan bahan pendukung yang lainnya.
"Untuk satu liter CPO saat ini harganya sekitar Rp7.019 per liter, jadi untuk dua liter CPO sudah sekitar Rp14.038, ditambah biaya opersional dan pendukung yang lainnya total menjadi sekitar Rp16.000-Rp17.000 per liter," terangnya.
Sementara harga solar subsidi Rp4.500 per liter, dan solar non subsidi kisaran Rp9.000 per liter.
"Pabrik tersebut baru akan layak memproduksi biodesel jika subsidi BBM dicabut dan dialihkan untuk menyubsidi produk biodesel agar harganya lebih rendah dari harga BBM di pasaran," ujarnya.
Menurut Mahyudi, pengoperasian pabrik biodesel tersebut tidak akan ekonomis apabila harga solar masih lebih murah dari harga biodesel.
Akibat tidak dimanfaatkan tersebut, kondisi pabrik yang dibangun di atas lahan seluas satu hektare di Desa Telaga Sari itu memprihatinkan.
"Kami sudah tidak mampu lagi membayar gaji tenaga yang menjaga dan merawat pabrik, karena biaya perawatan cukup tinggi," kata Mahyudi dengan sedih.
Desain Ulang Pabrik.
Agar pabrik yang telah menghabiskan dana puluhan miliar itu dapat dimanfaatkan dan tidak mubazir, hendaknya pemerintah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mendesain ulang pabrik memproduksi gliserin karena nilai ekonomisnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biodesel.
Harga gliserin saat ini masih berkisar Rp40.000-Rp250.000 per kg, sementara biodesel relatif murah.
"Dua produk tersebut, sama-sama menggunakan bahan baku minyak sawit mentah atau CPO," ujar Mahyudi.
Hanya saja perlu adanya tambahan perangkat untuk mengubah CPO menjadi gliserin.
Gliserin banyak diperlukan untuk industri kosmetik, di antaranya, sebagai body agent, emollient, humectant, lubricant, solven. Biasanya dipakai untuk skin cream and lotion, shampoo and hair conditioners, sabun dan deterjen.
Dental cream, digunakan sebagai humectant, Peledak, digunakan untuk membuat nitroglycerine sebagai bahan dasar peledak, industri makanan dan minuman, digunakan sebagai solven, emulsifier, conditioner, freeze preventer and coating. Digunakan dalam industri minuman anggur dan minuman lainnya.
Pasar gliserin sangat terbuka lebar, baik pasar dunia maupun pasar domestik," imbuhnya.
Keinginan untuk meredesain pabrik tersebut, ujar Mahyudi, telah disampaikan kepada Kemenristek.
Kisaran biaya untuk pengadaan sarana produksi pembuatan gliserin saat ini diprediksi sekitar Rp250 juta.
Menurut dia, apabila Kemenristek segera menanggapi usulan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tersebut, maka pabrik biodesel itu masih akan bermanfaat.
Bisa saja tidak dibuat memproduksi gliserin, agar pabrik tetap bermanfaat hendaknya pemerintah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk dijadikan penelitian atau laboratorium.
"Apabila kedua tawaran tersebut juga tidak dilakukan, maka bisa saja pabrik biodesel senilai Rp16 miliar itu akan menjadi besi tua," kata seorang sarjana akutansi yang kini menekuni usaha perkebunan kelapa sawit, Shohib.C
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2012