Baik dari kualitas permainan di lapangan hijau maupun dari cara turnamen disajikan kepada khalayak, Piala Asia 2023 dan Piala Afrika 2023 telah menguak fenomena baru bahwa sepak bola di kedua benua ini semakin maju dan modern.
Tahun ini, akibat sama-sama diinterupsi oleh pandemi Covid-19, dua turnamen sepak bola tingkat benua itu diadakan pada waktu bersamaan, bukan hanya tahun yang sama, tapi juga pada bulan yang sama.
Jarang sekali momen seperti ini terjadi, terlebih tahun ini memperlihatkan dimensi lain bahwa Asia dan Afrika sudah mulai berhasil mengatasi kesenjangan kualitas dan profesionalitas dari Eropa dan Amerika Selatan.
Uniknya, turnamen tingkat Eropa dan Amerika Selatan edisi kali ini juga berlangsung dalam tahun yang sama.
Setelah Piala Asia 2023 dan Piala Afrika 2023 berakhir akhir pekan ini, Eropa menyusul akan menggelar Piala Eropa 2024 di Jerman, mulai 20 Juni sampai 14 Juli.
Euro 2024 diadakan pada bulan yang sama dengan Amerika Selatan menggelar Copa America mulai 20 Juni sampai 14 Juli, yang untuk kedua kali setelah 2016 diadakan di luar Amerika Selatan, tepatnya Amerika Serikat.
Dari keempat turnamen sepak bola itu, Eropa menjadi benchmark untuk kawasan-kawasan lain, dalam hampir semua standar. Itu sudah termasuk ukuran kualitas kompetisi dan bagaimana kompetisi bisa dinikmati oleh khalayak, khususnya penggemar sepak bola yang mencapai miliaran manusia di seluruh dunia.
Jika melihat Piala Asia 2023 dan Piala Afrika 2023, standar Eropa terlihat sudah didekati Asia dan Afrika.
Standar itu salah satunya dicapai berkat kiprah pemain-pemain Asia dan Afrika yang bermain di Eropa.
Mereka secara langsung dan tidak langsung turut menajamkan kualitas permainan sepak bola di kedua benua.
Gaya dan pendekatan Eropa terlihat kental terlihat, selama Piala Afrika 2023 dan Piala Asia 2023 berlangsung.
Baca juga: Sukses paripurna Qatar pupus nestapa Piala Dunia
Baca juga: Trigol Akram Afif bawa Timnas Qatar juara Piala Asia 2023
Baca juga: Menang adu penalti, Afsel finis peringkat tiga di Piala Afrika 2023
Halaman berikut: iklim sepak bola Eropa yang kompetitif Iklim kompetitif Eropa
Jika babak knockout menjadi ukuran kualitas sepak bola, maka 16 tim Piala Afrika 2023 dan Piala Asia 2023 yang masuk putaran ini bisa dibilang tengah bergerak mendekati standar profesionalitas Eropa. termasuk Qatar, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, yang skuadnya total dihuni para pemain yang merumput di klub-klub lokal.
Jepang, Korea Selatan, Australia dan Iran, adalah tim-tim yang paling banyak memanggil legiun asing mereka untuk Piala Asia 2023.
Keempat tim itu berhasil mencapai perempat final, tetapi hanya Iran dan Korea Selatan yang melenggang ke semifinal.
Sayang, mereka gagal masuk babak final. Qatar yang seluruh pemainnya bermain di liga domestik, justru lolos ke partai puncak ini.
Mereka menghadapi Yordania yang kebanyakan bermain di dalam negeri tapi memiliki pemain paling menonjol yang bermain di Eropa, yakni gelandang Musa Al-Taamari yang bermain bersama Montpellier di liga utama Prancis.
Sekalipun produk domestik, Qatar tak terpisahkan dari kutub-kutub sepak bola global, terutama Eropa, berkat hadirnya sejumlah pemain eks Eropa di sana, termasuk yang memang warga negara Eropa.
Di klub-klub papan atas Qatar bermain pemain-pemain kaliber atas, seperti Marco Verratti, Phillippe Couthinho, Julian Draxler, dan Rafinha.
Pemain-pemain kelas dunia lainnya bermain di klub-klub jauh lebih kaya di liga Arab Saudi, termasuk Cristiano Ronaldo, Neymar, Riyad Mahrez, Sadio Mane, Karim Benzema, dan banyak lagi.
Demikian pula dengan klub-klub Uni Emirat Arab yang juga tak asing untuk pemain-pemain asal Eropa atau alumni liga-liga Eropa.
Oleh karena itu, kendati hampir seluruh pemain Qatar yang berlaga dalam Piala Asia 2023 berasal dari klub domestik, pemain-pemain mereka termasuk striker Akram Afif terbiasa dengan iklim kompetitif Eropa berkat kehadiran para pemain eks Eropa di negerinya.
Perkembangan ini sedikit banyak meningkatkan kualitas permainan dan kompetisi sepak bola Asia, yang tercermin selama Piala Asia 2023 di Qatar.
Baca juga: Akram Afif dinobatkan sebagai pemain terbaik Piala Asia 2023
Halaman berikut: kualitas setara Eropa di Afrika
Kentara di Afrika
Bukti lebih kuat adanya pengaruh Eropa terlihat dalam Piala Afrika 2023.
Kehadiran para pemain yang merumput di Eropa membuat kompetisi Piala Afrika semakin sengit dari masa ke masa. Di benua ini, bahkan fenomena ini melahirkan negara-negara baru yang menyeruak sebagai kekuatan sepak bola kawasan.
Bukti paling nyata dari adanya standar dan pengaruh Eropa terlihat pada dua tim yang mencapai final Piala Afrika 2023 di Pantai Gading, yakni Pantai Gading sendiri dan Nigeria.
Seluruh pemain yang dilibatkan Pantai Gading dalam Piala Afrika 2023 berasal dari pemain-pemain yang bermain di luar negeri, yang kebanyakan dari klub-klub Eropa. Demikian pula Nigeria, yang cuma mengikutkan satu pemain klub lokal.
Dalam skuad Pantai Gading terdapat nama-nama besar yang dikenal luas di Eropa, seperti striker Borussia Dortmund Sebastian Haller dan winger Brighton & Hove Albion Simon Adingra.
Nigeria sendiri memiliki pemain-pemain seperti gelandang Fulham Alex Iwobi, megastar Victor Osimhen yang memperkuat Napoli dan winger Atalanta Ademola Lookman.
Kehadiran pemain-pemain itu telah memoles aura kompetisi menjadi tak ubahnya seperti kompetisi di liga-liga top Eropa dan bahkan Piala Dunia.
Tren ini juga terjadi di Asia, walau Jepang dan Korea Selatan yang diperkuat legiun Eropa dalam jumlah besar, gagal ke partai puncak.
Baca juga: Final Piala Asia: Qatar dan Yordania berlomba menorehkan tinta emas
Baca juga: Akram Afif nilai pengalaman jadi kunci Qatar kunci gelar juara
Baca juga: Final Piala Afrika: Nigeria atau Pantai Gading yang akan antiklimaks?
Halaman berikut: Piala Asia dan Piala Afrika kian menarik ditonton
Tontonan kian menarik
Rata-rata skuad Piala Asia dan Piala Afrika banyak diisi legiun Eropa, termasuk Indonesia yang diperkuat sejumlah pemain klub-klub Eropa dan kawasan lain termasuk bek Asnawi Mangkualam yang kini bermain di Thailand.
Namun, bukan hanya soal konten pemain Eropa, Kemenarikan Piala Asia dan Piala Afrika kali ini juga terlihat dari bagaimana setiap laga disajikan kepada masyarakat. Mulai dari sudut pengambilan gambar yang sangat menarik dan berstandar tayangan sekelas Piala Dunia sehingga laga sepak bola semakin nikmat untuk ditonton, sampai dengan penglibatan komentator yang tak sekadar mengulang apa yang dilihat penonton sepak bola.
Komentator-komentator sepak bola yang kerap didampingi mantan bintang sepak bola itu juga memberikan informasi lain tentang pemain, tim, pelatih, statistik, dan menganalisis secara kritis teknik serta pola-pola bermain atau apa yang terjadi di lapangan, sehingga memperkaya wawasan penonton sepak bola dan membuat tontonan menjadi lebih bernuansa.
Tak heran, menyaksikan Piala Asia 2023, dan juga Piala Afrika 2023, bagaikan melihat laga-laga Piala Dunia, atau liga-liga top Eropa, atau Liga Champions.
"Piala Asia vibes (aura) Piala Dunia", tulis seorang netizen mengomentari cuplikan video pertandingan Indonesia melawan Irak dalam fase grup Piala Asia 2023 yang dilaporkan oleh komentator asing, yang dibagikan dalam platform TikTok, beberapa waktu lalu.
Dari banyak dimensi itu, sepak bola di kedua benua menjadi lebih nikmat untuk diikuti. Di sana juga ada pesan kemajuan sepak bola yang dicapai kedua benua.
Tak berlebihan jika badan sepak bola dunia, FIFA, menambah jatah tim Afrika dan Asia untuk putaran final Piala Dunia mulai 2026 di Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, menjadi delapan tim, ditambah satu tim yang lolos lewat playoff antarbenua.
Namun demikian, ulasan ini bukan untuk memberi kesan bahwa sepak bola dunia terlalu berkiblat ke Eropa, melainkan lebih dari mencoba melihat sejauh mana sepak bola Asia dan Afrika, berkembang lebih baik dan lebih profesional lagi.
Baca juga: Puasa gelar 64 tahun, Klinsmann sebut Korsel "tim yang lapar"
Baca juga: Pelatih Pantai Gading: Bagaikan mimpi bisa lolos ke final Piala Afrika
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2024