Para pengamat ekonomi menilai kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng membawa dampak negatif berganda, bukan saja kepada pelaku usaha perkelapasawitan tetapi juga kepada tiga juta petani kelapa sawit di Indonesia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, di Jakarta, mengatakan juga kinerja makro ekonomi Indonesia terancam karena penurunan devisa ekspor, sehingga bisa menjadi faktor yang menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
 
"Kami mengingatkan pemerintah secepatnya mencabut larangan ekspor CPO, karena kebijakan tersebut lebih banyak membawa dampak negatif, alih-alih bisa menjadi strategi pengendali harga minyak goreng," katanya, dalam keterangan beberapa waktu lalu.

Dijelaskan dia, kelebihan pasokan minyak sawit yang selama ini terserap di pasar ekspor, tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik, dan pihaknya meminta agar segera mencabut larangan tersebut, bila perlu pekan ini.

Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani kelapa sawit.

Baca juga: GAPKI ingin ekspor CPO dibuka

Rendahnya penyerapan CPO akibat larangan ekspor membuat harga TBS tertekan, bahkan sejumlah pabrik kelapa sawit dalam waktu dekat akan sulit menerima TBS dari petani, karena tanki-tanki penyimpanan CPO yang mulai penuh.

"Dari pantauan kami di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah pasca pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu," katanya.

Menurut dia, di Sumatera Selatan, harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram, di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp1.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 2.900 per kilogram.

Selan itu, penurunan harga TBS terjadi di wilayah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya, seperti di wilayah Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Kebijakan larangan ekspor ini tidak efektif menjamin stabilitas harga minyak goreng, karena masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi bukan bahan baku,” katanya.

Kinerja makro ekonomi Indonesia juga terancam, karena di tahun 2021 sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai USD 35 miliar atau lebih dari Rp500 triliun dan sawit menjadi komoditas penyumbang devisa ekspor terbesar.

Selain dari devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan bagi kas negara dalam bentuk pajak ekspor atau bea keluar dan pendapatan dari pungutan ekspor.

Penurunan pendapatan ekspor minyak sawit ini tentu berpotensi menekan surplus neraca perdagangan, dan mengancam stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Baca juga: GAPKI Kalsel hormati kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya
Baca juga: Harga CPO naik Rp19 per kilogram

“Dengan harga CPO di pasar internasional yang sangat tinggi sementara di pasar domestik rendah akibat kelebihan pasokan, akan memicu terjadinya penyelundupan. Ini akan membuat dinamika industri minyak sawit nasional semakin rumit dan runyam,” katanya.

Pakar komoditas dari John Cabot University Roma Italia, Prof Petro Paganini, mengatakan di tengah kelangkaan minyak nabati global akibat perang Rusia dan Ukraina, dunia tidak punya pilihan lain kecuali mencari minyak sawit.

Bahkan di negara-negara Eropa, berbagai perusahaan makanan sudah mulai menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku dan beberapa produk makanan di Eropa sudah menghapus label “Palm Oil Free”.

“Tidak bisa dielakkan bahwa dunia membutuhkan minyak sawit. Apalagi jika dunia memiliki perhatian terhadap isu-isu keberlanjutan," katanya dalam diskusi dengan para pemangku kepentingan industri minyak sawit Indonesia, di Jakarta.

Ditambahkan dia, pilihannya adalah dengan mengembangkan minyak sawit, karena tanaman kelapa sawit jauh lebih produktif dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya.

Pewarta: Fathurrahman

Editor : Mahdani


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022