Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D mengatakan ketimpangan vaksinasi global memicu sulitnya dunia mengendalikan pandemi.
"Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 bisa dijadikan ajang bagaimana negara-negara di dunia bisa merata vaksinasinya, jangan sampai terjadi ketimpangan terlalu jauh," kata dia di Banjarmasin, Jumat.
Dijelaskannya, vaksinasi adalah salah satu alat kebijakan yang efektif dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya infeksi virus COVID-19 dan untuk membangun kekebalan komunitas buatan.
Permasalahannya adalah terjadi ketimpangan vaksinasi global yang sangat akut dan menjadi sumber ancaman sulitnya dunia mengendalikan penularan dari satu negara ke negara lainnya.
Menurut dia, kemunculan varian Omicron dari Afrika yang sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia adalah akibat terjadinya ketimpangan vaksinasi.
Capaian vaksinasi lengkap di Afrika berdasarkan data Ourworldindata.org hanya sebesar 11 persen dari total populasi. Hal ini berbanding terbalik dengan kawasan atau benua lainnya yang vaksinasi lengkapnya sudah berada di level 60 persen dari jumlah penduduk.
"Keengganan dan kekurangseriusan negara-negara maju dalam membantu Afrika, negara-negara miskin dan berkembang membuat pandemi menjadi lebih lama. Akibatnya masalah yang terjadi di Afrika menimpa balik Amerika dan Eropa, serta seluruh dunia," paparnya.
Di Indonesia, ketimpangan vaksinasi juga menjadi permasalahan serius. Kawasan Timur Indonesia yang lebih tertinggal pembangunannya meliputi Nusa Tengara, Maluku dan Papua adalah regional yang paling rendah capaian vaksinasi lengkapnya yaitu sebesar 32 persen dari jumlah penduduk.
Berikutnya Sulawesi 39 persen dari populasi, Kalimantan dan Sumatera 44 persen. Sedangkan Jawa dan Bali sudah 56 persen.
Untuk itu, kata Muttaqin, masyarakat dunia harus bekerjasama dalam percepatan vaksinasi dan pengurangan ketimpangan vaksinasi di Afrika dan negara-negara miskin. Sedangkan di Indonesia, pemerintah pusat dan daerah perlu merancang strategi percepatan vaksinasi di kawasan yang tertinggal tadi.
Setelah melalui masa kasus yang minim pada November dan Desember 2021, Indonesia termasuk Kalimantan Selatan kembali mengalami lonjakan transmisi COVID-19 dari akhir Januari hingga saat ini.
Tercatat dari awal tahun hingga 10 Februari 2022 sebanyak 2.325 warga Kalsel dikonfirmasi positif. Khusus 1-10 Februari saja ada 2.098 kasus baru dan 8 orang meninggal dunia.
Memburuknya situasi di Kalsel tersebut tidak lepas dari sebaran varian Omicron. Varian yang pada awalnya dianggap remeh karena hanya menimbulkan gejala ringan telah menyebabkan sebanyak lebih dari 117 juta orang di seluruh dunia dinyatakan terinfeksi dari 1 Januari hingga 10 Februari 2022.
Dalam periode yang sama lebih dari 349 ribu orang dilaporkan meninggal dunia.
Akibat varian Omicron dan kelengahan banyak negara mengantisipasinya, secara kumulatif sudah 405 juta orang dari seluruh dunia yang terinfeksi dan lebih dari 5,79 juta meninggal dunia.
Situasi ini, kata Muttaqin, menuntut masyarakat global bekerjasama dalam penanganan pandemi. Perkembangan hasil riset dan ilmu pengetahuan, vaksin dan obat-obatan untuk COVID-19, serta pengalaman yang sudah diperoleh selama ini hendak menjadi modal untuk penanganan dan percepatan pengendalian pandemi.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022
"Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 bisa dijadikan ajang bagaimana negara-negara di dunia bisa merata vaksinasinya, jangan sampai terjadi ketimpangan terlalu jauh," kata dia di Banjarmasin, Jumat.
Dijelaskannya, vaksinasi adalah salah satu alat kebijakan yang efektif dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya infeksi virus COVID-19 dan untuk membangun kekebalan komunitas buatan.
Permasalahannya adalah terjadi ketimpangan vaksinasi global yang sangat akut dan menjadi sumber ancaman sulitnya dunia mengendalikan penularan dari satu negara ke negara lainnya.
Menurut dia, kemunculan varian Omicron dari Afrika yang sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia adalah akibat terjadinya ketimpangan vaksinasi.
Capaian vaksinasi lengkap di Afrika berdasarkan data Ourworldindata.org hanya sebesar 11 persen dari total populasi. Hal ini berbanding terbalik dengan kawasan atau benua lainnya yang vaksinasi lengkapnya sudah berada di level 60 persen dari jumlah penduduk.
"Keengganan dan kekurangseriusan negara-negara maju dalam membantu Afrika, negara-negara miskin dan berkembang membuat pandemi menjadi lebih lama. Akibatnya masalah yang terjadi di Afrika menimpa balik Amerika dan Eropa, serta seluruh dunia," paparnya.
Di Indonesia, ketimpangan vaksinasi juga menjadi permasalahan serius. Kawasan Timur Indonesia yang lebih tertinggal pembangunannya meliputi Nusa Tengara, Maluku dan Papua adalah regional yang paling rendah capaian vaksinasi lengkapnya yaitu sebesar 32 persen dari jumlah penduduk.
Berikutnya Sulawesi 39 persen dari populasi, Kalimantan dan Sumatera 44 persen. Sedangkan Jawa dan Bali sudah 56 persen.
Untuk itu, kata Muttaqin, masyarakat dunia harus bekerjasama dalam percepatan vaksinasi dan pengurangan ketimpangan vaksinasi di Afrika dan negara-negara miskin. Sedangkan di Indonesia, pemerintah pusat dan daerah perlu merancang strategi percepatan vaksinasi di kawasan yang tertinggal tadi.
Setelah melalui masa kasus yang minim pada November dan Desember 2021, Indonesia termasuk Kalimantan Selatan kembali mengalami lonjakan transmisi COVID-19 dari akhir Januari hingga saat ini.
Tercatat dari awal tahun hingga 10 Februari 2022 sebanyak 2.325 warga Kalsel dikonfirmasi positif. Khusus 1-10 Februari saja ada 2.098 kasus baru dan 8 orang meninggal dunia.
Memburuknya situasi di Kalsel tersebut tidak lepas dari sebaran varian Omicron. Varian yang pada awalnya dianggap remeh karena hanya menimbulkan gejala ringan telah menyebabkan sebanyak lebih dari 117 juta orang di seluruh dunia dinyatakan terinfeksi dari 1 Januari hingga 10 Februari 2022.
Dalam periode yang sama lebih dari 349 ribu orang dilaporkan meninggal dunia.
Akibat varian Omicron dan kelengahan banyak negara mengantisipasinya, secara kumulatif sudah 405 juta orang dari seluruh dunia yang terinfeksi dan lebih dari 5,79 juta meninggal dunia.
Situasi ini, kata Muttaqin, menuntut masyarakat global bekerjasama dalam penanganan pandemi. Perkembangan hasil riset dan ilmu pengetahuan, vaksin dan obat-obatan untuk COVID-19, serta pengalaman yang sudah diperoleh selama ini hendak menjadi modal untuk penanganan dan percepatan pengendalian pandemi.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022