Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat meminta DPRD Kalbar untuk menghentikan pembahasan Raperda Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)
"Persatuan Peladang meminta agar pembahasan Raperda Pengendalian Karhutla dihentikan dan menolaknya. Untuk itu, kami sudah beberapa kali menyurati Pansus IV DPRD Kalimantan Barat yang saat ini tengah menggodok Raperda Pengendalian Karhutla itu," kata Sekretaris Persatuan Peladang Tradisional Kalbar, Adrianus Adam Tekot di Pontianak, Senin.
Dia mengatakan, melalui surat ditandatangani Ketua dan Sekretaris Persatuan Peladang tertanggal 21 Oktober 2021 tersebut, meminta agar Pansus IV menghentikan pembahasan Raperda Karhutla.
Melalui surat yang dilayangkan, Persatuan Peladang menyampaikan lima poin dalam. Poin pertama menyambut baik surat yang telah disampaikan Pansus IV DPRD Kalimantan Barat yang meminta masukan atas Raperda tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang saat ini sedang dibahas.
"Namun demikian, akan baik bila disertakan dengan berkas DIM dan Naskah Akademiknya agar pihak manapun yang diminta untuk memberi masukan memperoleh informasi utuh mengenai argumentasi urgensi pembahasan Raperda Pengendalian Karhutla. Karenanya justru ada kesan pelibatan masyarakat sipil dengan meminta masukan terkesan kurang serius," tuturnya.
Kedua, mengharapkan adanya perlindungan hukum dan hak-hak peladang dalam mengusahakan pemenuhan hak atas pangan (ekonomi), sosial dan budaya yang diusahakan.
Produk hukum yang sungguh-sungguh berpihak kepada peladang dan masyarakat adat pada umumnya di daerah Kalimantan Barat.
Ketiga, dari muatan maupun substansi draf Raperda Pengendalian Karhutla, Persatuan Peladang Tradisional Kalmantan Barat memandang DPRD Kalimantan Barat belum memiliki niat baik untuk memberikan kemerdekaan bagi peladang dalam mengusahakan ladang dengan berkearifan lokal dalam pemenuhan hak atas pangan yang selama ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat adat.
Keempat, pasal empat ayat satu Raperda Karhutla yang menyebutkan "Setiap orang baik sengaja maupun tidak sengaja, dilarang membakar dan/atau melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan/atau lahan” menegaskan larangan berladang karena tanpa pengecualian terkait kearifan lokal".
Sementara merujuk pada pasal 26 pada draf yang sama tentang ketentuan pidana, maka pasal empat tersebut dianggap pelanggaran yang diancam pidana kurungan dan denda.
"Pasal tersebut hanya salah satu saja dari beberapa isi dalam draf raperda yang bagi kami bermasalah. Hal ini juga bertentangan dengan pengecualian terhadap kearifan lokal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup," katanya.
Poin kelima, menyampaikan sikap menolak segala peraturan yang membahas maupun terkait dengan usaha berladang dengan kearifan lokalnya, namun tidak berpihak pada Peladang. Atas surat yang disampaikan Pansus IV.
"Kami meminta agar legislatif maupun Pemerintah Kalimantan Barat sungguh-sungguh berpihak kepada Peladang dengan memastikan pelaksanaan regulasi yang menjamin hak-hak dalam menjalankan usaha berladang," kata Adrianus.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Persatuan Peladang meminta agar pembahasan Raperda Pengendalian Karhutla dihentikan dan menolaknya. Untuk itu, kami sudah beberapa kali menyurati Pansus IV DPRD Kalimantan Barat yang saat ini tengah menggodok Raperda Pengendalian Karhutla itu," kata Sekretaris Persatuan Peladang Tradisional Kalbar, Adrianus Adam Tekot di Pontianak, Senin.
Dia mengatakan, melalui surat ditandatangani Ketua dan Sekretaris Persatuan Peladang tertanggal 21 Oktober 2021 tersebut, meminta agar Pansus IV menghentikan pembahasan Raperda Karhutla.
Melalui surat yang dilayangkan, Persatuan Peladang menyampaikan lima poin dalam. Poin pertama menyambut baik surat yang telah disampaikan Pansus IV DPRD Kalimantan Barat yang meminta masukan atas Raperda tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang saat ini sedang dibahas.
"Namun demikian, akan baik bila disertakan dengan berkas DIM dan Naskah Akademiknya agar pihak manapun yang diminta untuk memberi masukan memperoleh informasi utuh mengenai argumentasi urgensi pembahasan Raperda Pengendalian Karhutla. Karenanya justru ada kesan pelibatan masyarakat sipil dengan meminta masukan terkesan kurang serius," tuturnya.
Kedua, mengharapkan adanya perlindungan hukum dan hak-hak peladang dalam mengusahakan pemenuhan hak atas pangan (ekonomi), sosial dan budaya yang diusahakan.
Produk hukum yang sungguh-sungguh berpihak kepada peladang dan masyarakat adat pada umumnya di daerah Kalimantan Barat.
Ketiga, dari muatan maupun substansi draf Raperda Pengendalian Karhutla, Persatuan Peladang Tradisional Kalmantan Barat memandang DPRD Kalimantan Barat belum memiliki niat baik untuk memberikan kemerdekaan bagi peladang dalam mengusahakan ladang dengan berkearifan lokal dalam pemenuhan hak atas pangan yang selama ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat adat.
Keempat, pasal empat ayat satu Raperda Karhutla yang menyebutkan "Setiap orang baik sengaja maupun tidak sengaja, dilarang membakar dan/atau melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan/atau lahan” menegaskan larangan berladang karena tanpa pengecualian terkait kearifan lokal".
Sementara merujuk pada pasal 26 pada draf yang sama tentang ketentuan pidana, maka pasal empat tersebut dianggap pelanggaran yang diancam pidana kurungan dan denda.
"Pasal tersebut hanya salah satu saja dari beberapa isi dalam draf raperda yang bagi kami bermasalah. Hal ini juga bertentangan dengan pengecualian terhadap kearifan lokal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup," katanya.
Poin kelima, menyampaikan sikap menolak segala peraturan yang membahas maupun terkait dengan usaha berladang dengan kearifan lokalnya, namun tidak berpihak pada Peladang. Atas surat yang disampaikan Pansus IV.
"Kami meminta agar legislatif maupun Pemerintah Kalimantan Barat sungguh-sungguh berpihak kepada Peladang dengan memastikan pelaksanaan regulasi yang menjamin hak-hak dalam menjalankan usaha berladang," kata Adrianus.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021