Setelah 'dihajar' dengan desakan pembatalan karena situasi pandemi COVID-19 yang tak menentu, Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, dapat berjalan lancar sejak dibuka pada 23 Juli 2021.
Memang, pesta olahraga empat tahunan itu tak terhindar sepenuhnya dari COVID-19. Akan tetapi, virus SARS-CoV-2 tak sampai menyebar luas seperti yang ditakutkan.
Berdasarkan laporan resmi di situs Olimpiade, dari 1 Juli-5 Agustus 2021, ada 353 orang yang menderita COVID-19 di Olimpiade 2020.
Dari 353 orang itu, 29 merupakan atlet, 98 personel pertandingan, 17 pewarta, enam pegawai Olimpiade, 188 karyawan kontraktor dan 15 sukarelawan. Semuanya dapat ditangani dan tak ada korban meninggal dunia.
Jumlah yang terinfeksi tersebut tentu sangat sedikit bila dibandingkan total atlet yang berlaga di Olimpiade 2020 yaitu lebih dari 11.000 orang. Kalau dihitung bersama pelatih, ofisial dan tenaga pendukung lain, sampai 3 Agustus 2021, panitia mencatat ada 42.345 warga negara asing terkakreditasi Olimpiade yang masuk ke Jepang.
Lantas, bagaimana Jepang dapat menekan laju COVID-19 di Olimpiade 2020? Jawabannya, tentu saja dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) yang sangat ketat.
Pewarta foto LKBN Antara Sigid Kurniawan menjadi salah satu yang merasakan langsung bagaimana rumitnya prosedur anti-COVID-19 di Olimpiade 2020.
Jauh sebelum Olimpiade 2020 dimulai, pemerintah Jepang sudah memberikan pemberitahuan kepada setiap orang yang akan berangkat ke negaranya dengan tujuan Olimpiade.
Khusus untuk pendatang dari Indonesia seperti Sigid Kurniawan, mereka harus menjalani karantina dua minggu di Tanah Air dengan satu minggu terakhir mesti menjalani tes usap PCR perhari.
Setelah negatif COVID-19 tujuh hari berturut-turut, barulah dipersilakan berangkat ke Jepang. Tidak boleh lupa melengkapi diri dengan beragam dokumen yang disyaratkan pemerintah Negeri Matahari Terbit.
Di Jepang, mereka yang terkait Olimpiade mesti menjalani karantina selama tiga hari di hotel yang sudah ditunjuk panitia, dengan setiap harinya menjalani pemeriksaan tes PCR berbasis air liur (saliva). Sigid berkisah, mereka tidak boleh berganti tempat penginapan dan tak boleh keluar kamar.
Jika melewati karantina tanpa positif COVID-19, dipersilakan menyaksikan dunia luar dengan masker menempel di wajah. Namun tetap ada pembatasan gerak.
Atlet hanya diperkenankan beraktivitas di pemukiman atlet dan arena pertandingan. Untuk pewarta, langkah mereka hanya di hotel, pusat informasi media dan lokasi kompetisi. Perpindahan antartempat wajib menumpang bus yang disediakan panitia, gratis.
"Bus datang setiap 30-40 menit dan berjadwal. Misalnya, di hotel A datang jam berapa. Itulah kenapa kami tidak boleh berganti hotel," kata Sigid.
Protokol kesehatan pun diterapkan di setiap ruangan yang berkaitan dengan Olimpiade 2020. Di ruang pusat media, misalnya, para pewarta wajib melakukan satu persatu prosedur sebelum masuk seperti mencuci tangan dengan cairan pembersih, mengukur suhu dan menjalani pemeriksaan oleh petugas keamanan.
Di dalam, meja-meja sudah disekat dengan pembatas berbahan mika tebal demi mengurangi obrolan antar-individu.
Selama aktivitas, setiap hari atlet, pewarta dan yang terlibat di Olimpiade 2020 harus mengikuti tes saliva PCR. Omong-omong, rangkaian tes PCR COVID-19 dari awal sampai akhir Olimpiade 2020 adalah cuma-cuma.
Sekadar informasi tambahan, mereka yang berhubungan dengan Olimpiade 2020 diminta untuk tidak lupa mengisi perangkat lunak bernama 'Online Check-In and Health report App' atau OCHA di gawai dengan laporan kondisi tubuh terkini seperti apakah sedang merasakan pusing, demam, batuk dan lainnya.
Andai lupa melakukannya, OCHA akan memberikan peringatan melalui surat elektronik.
Pagebluk mau tak mau membuat panitia Olimpiade 2020 membuat pendekatan berbeda di setiap cabang olahraga demi menekan kemungkinan terjangkit COVID-19.
Contohnya, petenis meja dilarang meniup bola sebelum servis. Di bulu tangkis, atlet mengganti kok sendiri, tak lagi dilayani hakim servis.
Di angkat besi, barbel selalu dibersihkan dengan alkohol setelah atlet melakukan angkatan. Di tinju, petugas kebersihan mengelap bagian-bagian ring di sela pertandingan.
Dan, seperti bisa disaksikan di televisi, semua atlet yang berdiri di podium mengalungkan sendiri medalinya tanpa disertai jabat tangan.
Soal-soal rinci demikian membuat COVID-19 tak merajalela Olimpiade 2020 di Tokyo. Apa yang direncanakan oleh panitia nyaris terlaksana sepenuhnya di lapangan.
PON Papua
Pada 2-15 Oktober 2021, Indonesia juga akan menyelenggarakan kompetisi multicabang yaitu Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20 di Papua.
Ada empat wilayah yang menjadi lokasi pelaksanaan PON terkini yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.
Pertanyaannya, mampukah kita meniru apa yang dilakukan Jepang di Olimpiade 2020?
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Juni 2021 menyatakan bahwa mereka sudah menyiapkan protokol kesehatan dan tim medis khusus untuk PON Papua.
Beberapa dari prosedur itu seperti vaksinasi COVID-19 dan pelaksanaan uji usap antigen kepada atlet serta ofisial. Tidak ada pula kewajiban untuk karantina.
Sayangnya, kondisi COVID-19 di Indonesia berubah drastis mulai Juli 2021 atau satu bulan setelah pernyataan di atas dilontarkan.
Menyebarnya virus SARS-CoV-2 varian delta membuat pemerintah mesti menarik rem darurat dan menjalankan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dari yang berstatus 'Darurat' sampai 'Level 4'.
Nyaris seluruh provinsi di Indonesia dalam status siaga COVID-19, termasuk Papua. Kekhawatiran soal PON kemudian menyeruak.
Ketua Harian Panitia Besar (PB) PON Papua Yunus Wonda pun meminta petunjuk teknis lanjutan dari pemerintah pusat soal protokol kesehatan PON.
Menurut Yunus, masuknya pendatang dalam gelombang besar berpotensi menjadi masalah. Berdasarkan KONI, diperkirakan ada lebih dari 6.000 atlet yang akan berkompetisi di PON Papua.
"Saat ini di Papua, rumah sakit cukup padat. Banyak yang dirawat di luar rumah sakit dengan tenda-tenda karena COVID-19. Jadi kami meminta kebijakan dari pemerintah pusat seperti apa supaya tidak terjadi klaster baru," tutur laki-laki yang juga Wakil Ketua DPR Papua itu.
PB PON juga memohon ke pemerintah pusat untuk membantu memberikan pemahaman soal COVID-19 kepada masyarakat sekitar.
Hal itu dinilai penting supaya prosedur kesehatan PON dapat dipatuhi, seperti halnya warga Jepang yang menaati regulasi COVID-19 di Olimpiade 2020.
Dua bulan menjelang PON XX Papua, sudah saatnya elemen-elemen terkait bekerja sama dan semakin mempererat komunikasi. Infrastruktur dan segala pendukungnya memang vital, tetapi kesehatan serta keselamatan manusia harus selalu nomor satu.
Jepang sudah memperlihatkan kemampuan untuk menggulirkan turnamen skala besar di tengah kungkungan pandemi meski prosesnya sangat rumit.
Indonesia mestinya berpeluang mengikuti jejak itu. Syaratnya secara umum hanya dua yaitu disiplin dan konsisten.
Disiplin dengan protokol kesehatan dan konsisten mewujudkan aturan yang tersurat di atas kertas. Terlihat sederhana, tetapi jika itu digenggam erat, dampaknya akan luar biasa.
Percayalah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Memang, pesta olahraga empat tahunan itu tak terhindar sepenuhnya dari COVID-19. Akan tetapi, virus SARS-CoV-2 tak sampai menyebar luas seperti yang ditakutkan.
Berdasarkan laporan resmi di situs Olimpiade, dari 1 Juli-5 Agustus 2021, ada 353 orang yang menderita COVID-19 di Olimpiade 2020.
Dari 353 orang itu, 29 merupakan atlet, 98 personel pertandingan, 17 pewarta, enam pegawai Olimpiade, 188 karyawan kontraktor dan 15 sukarelawan. Semuanya dapat ditangani dan tak ada korban meninggal dunia.
Jumlah yang terinfeksi tersebut tentu sangat sedikit bila dibandingkan total atlet yang berlaga di Olimpiade 2020 yaitu lebih dari 11.000 orang. Kalau dihitung bersama pelatih, ofisial dan tenaga pendukung lain, sampai 3 Agustus 2021, panitia mencatat ada 42.345 warga negara asing terkakreditasi Olimpiade yang masuk ke Jepang.
Lantas, bagaimana Jepang dapat menekan laju COVID-19 di Olimpiade 2020? Jawabannya, tentu saja dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) yang sangat ketat.
Pewarta foto LKBN Antara Sigid Kurniawan menjadi salah satu yang merasakan langsung bagaimana rumitnya prosedur anti-COVID-19 di Olimpiade 2020.
Jauh sebelum Olimpiade 2020 dimulai, pemerintah Jepang sudah memberikan pemberitahuan kepada setiap orang yang akan berangkat ke negaranya dengan tujuan Olimpiade.
Khusus untuk pendatang dari Indonesia seperti Sigid Kurniawan, mereka harus menjalani karantina dua minggu di Tanah Air dengan satu minggu terakhir mesti menjalani tes usap PCR perhari.
Setelah negatif COVID-19 tujuh hari berturut-turut, barulah dipersilakan berangkat ke Jepang. Tidak boleh lupa melengkapi diri dengan beragam dokumen yang disyaratkan pemerintah Negeri Matahari Terbit.
Di Jepang, mereka yang terkait Olimpiade mesti menjalani karantina selama tiga hari di hotel yang sudah ditunjuk panitia, dengan setiap harinya menjalani pemeriksaan tes PCR berbasis air liur (saliva). Sigid berkisah, mereka tidak boleh berganti tempat penginapan dan tak boleh keluar kamar.
Jika melewati karantina tanpa positif COVID-19, dipersilakan menyaksikan dunia luar dengan masker menempel di wajah. Namun tetap ada pembatasan gerak.
Atlet hanya diperkenankan beraktivitas di pemukiman atlet dan arena pertandingan. Untuk pewarta, langkah mereka hanya di hotel, pusat informasi media dan lokasi kompetisi. Perpindahan antartempat wajib menumpang bus yang disediakan panitia, gratis.
"Bus datang setiap 30-40 menit dan berjadwal. Misalnya, di hotel A datang jam berapa. Itulah kenapa kami tidak boleh berganti hotel," kata Sigid.
Protokol kesehatan pun diterapkan di setiap ruangan yang berkaitan dengan Olimpiade 2020. Di ruang pusat media, misalnya, para pewarta wajib melakukan satu persatu prosedur sebelum masuk seperti mencuci tangan dengan cairan pembersih, mengukur suhu dan menjalani pemeriksaan oleh petugas keamanan.
Di dalam, meja-meja sudah disekat dengan pembatas berbahan mika tebal demi mengurangi obrolan antar-individu.
Selama aktivitas, setiap hari atlet, pewarta dan yang terlibat di Olimpiade 2020 harus mengikuti tes saliva PCR. Omong-omong, rangkaian tes PCR COVID-19 dari awal sampai akhir Olimpiade 2020 adalah cuma-cuma.
Sekadar informasi tambahan, mereka yang berhubungan dengan Olimpiade 2020 diminta untuk tidak lupa mengisi perangkat lunak bernama 'Online Check-In and Health report App' atau OCHA di gawai dengan laporan kondisi tubuh terkini seperti apakah sedang merasakan pusing, demam, batuk dan lainnya.
Andai lupa melakukannya, OCHA akan memberikan peringatan melalui surat elektronik.
Pagebluk mau tak mau membuat panitia Olimpiade 2020 membuat pendekatan berbeda di setiap cabang olahraga demi menekan kemungkinan terjangkit COVID-19.
Contohnya, petenis meja dilarang meniup bola sebelum servis. Di bulu tangkis, atlet mengganti kok sendiri, tak lagi dilayani hakim servis.
Di angkat besi, barbel selalu dibersihkan dengan alkohol setelah atlet melakukan angkatan. Di tinju, petugas kebersihan mengelap bagian-bagian ring di sela pertandingan.
Dan, seperti bisa disaksikan di televisi, semua atlet yang berdiri di podium mengalungkan sendiri medalinya tanpa disertai jabat tangan.
Soal-soal rinci demikian membuat COVID-19 tak merajalela Olimpiade 2020 di Tokyo. Apa yang direncanakan oleh panitia nyaris terlaksana sepenuhnya di lapangan.
PON Papua
Pada 2-15 Oktober 2021, Indonesia juga akan menyelenggarakan kompetisi multicabang yaitu Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20 di Papua.
Ada empat wilayah yang menjadi lokasi pelaksanaan PON terkini yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.
Pertanyaannya, mampukah kita meniru apa yang dilakukan Jepang di Olimpiade 2020?
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Juni 2021 menyatakan bahwa mereka sudah menyiapkan protokol kesehatan dan tim medis khusus untuk PON Papua.
Beberapa dari prosedur itu seperti vaksinasi COVID-19 dan pelaksanaan uji usap antigen kepada atlet serta ofisial. Tidak ada pula kewajiban untuk karantina.
Sayangnya, kondisi COVID-19 di Indonesia berubah drastis mulai Juli 2021 atau satu bulan setelah pernyataan di atas dilontarkan.
Menyebarnya virus SARS-CoV-2 varian delta membuat pemerintah mesti menarik rem darurat dan menjalankan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dari yang berstatus 'Darurat' sampai 'Level 4'.
Nyaris seluruh provinsi di Indonesia dalam status siaga COVID-19, termasuk Papua. Kekhawatiran soal PON kemudian menyeruak.
Ketua Harian Panitia Besar (PB) PON Papua Yunus Wonda pun meminta petunjuk teknis lanjutan dari pemerintah pusat soal protokol kesehatan PON.
Menurut Yunus, masuknya pendatang dalam gelombang besar berpotensi menjadi masalah. Berdasarkan KONI, diperkirakan ada lebih dari 6.000 atlet yang akan berkompetisi di PON Papua.
"Saat ini di Papua, rumah sakit cukup padat. Banyak yang dirawat di luar rumah sakit dengan tenda-tenda karena COVID-19. Jadi kami meminta kebijakan dari pemerintah pusat seperti apa supaya tidak terjadi klaster baru," tutur laki-laki yang juga Wakil Ketua DPR Papua itu.
PB PON juga memohon ke pemerintah pusat untuk membantu memberikan pemahaman soal COVID-19 kepada masyarakat sekitar.
Hal itu dinilai penting supaya prosedur kesehatan PON dapat dipatuhi, seperti halnya warga Jepang yang menaati regulasi COVID-19 di Olimpiade 2020.
Dua bulan menjelang PON XX Papua, sudah saatnya elemen-elemen terkait bekerja sama dan semakin mempererat komunikasi. Infrastruktur dan segala pendukungnya memang vital, tetapi kesehatan serta keselamatan manusia harus selalu nomor satu.
Jepang sudah memperlihatkan kemampuan untuk menggulirkan turnamen skala besar di tengah kungkungan pandemi meski prosesnya sangat rumit.
Indonesia mestinya berpeluang mengikuti jejak itu. Syaratnya secara umum hanya dua yaitu disiplin dan konsisten.
Disiplin dengan protokol kesehatan dan konsisten mewujudkan aturan yang tersurat di atas kertas. Terlihat sederhana, tetapi jika itu digenggam erat, dampaknya akan luar biasa.
Percayalah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021