Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Keprihatinan terhadap kehidupan kera Bekantan (Nasalis larvatus) begitu kuat dilontarkan masyarakat, tetapi begitu hebat pula kerusakan lingkungan oleh masyarakat yang mendesak populasi satwa endemik Kalimantan tersebut.
Berdasarkan undang-undang, satwa Bekantan termasuk dilindungi, di antaranya melalui UU Nomor 7 Tahun 1999. Walau ada aturannya, tetapi kenyataannya sampai saat ini tak ada tersangka atau pihak yang dijerat melalui aturan tersebut.
Populasi Bekantan terus menyusut akibat eksploitasi hutan, baik oleh penebangan, penambangan serta alih fungsi lahan dari hutan ke kebun kelapa sawit, serta akibat kebakaran hutan belakangan ini.
Selain itu Bekantan juga diburu oleh manusia untuk berbagai kepentingan dan secara alami satwa itu juga diburu oleh buaya muara, ular sawah, biawak, dan elang laut.
Bekantan agaknya hidup tergantung dari hutan lantaran satwa ini termasuk "leaf monkey", hidupnya bergantung dari makanan yang berasal dari daun-daunan. Di kala dedaunan di habitatnya banyak yang rusak, saat itu pula kehidupan satwa unik tersebut terancam.
Di Provinsi Kalimantan Selatan, tadinya banyak bekantan yang terlihat di mana-mana. Kawasan khusus satwa ini adalah Pulau Kaget wilayah pinggiran Sungai Barito yang berdekatan dengan Kota Banjarmasin. Tetapi karena pulau tersebut menjadi kawasan yang dieksploitasi manusia sekarang satwa tersebut sudah susah terlihat di habitatnya yang rusak itu.
Keluhan demi keluhan terhadap populasi satwa yang juga sering disebut sebagai "kera bule" ini terus terangkat ke permukaan seperti yang terakhir di Kabupaten Kotabaru.
Seperti yang dilansir media massa, seorang pemerhati lingkungan Akhyat Fauzan mengatakan, secara tidak langsung aktivitas pertambangan di Pulau Sebuku mengancam berkurangnya populasi satwa langka Bekantan.
Aktivitas pertambangan yang tidak mempertimbangan pelestarian lingkungan menyebabkan populasi Bekantan semakin menyusut, ujar Akhyat tanpa menyebutkan jumlah populasinya dengan detail.
Menurut dia, ada perusahaan yang tidak peduli terhadap kehidupan Bekantan yang mengandalkan kawasan hutan tersebut. Akhyat khawatir apabila kawasan hutan di Pulau Sebuku habis akibat aktivitas perusahaan tambang, lantas bagaimana nasib Bekantan yang jumlahnya kini terus berkurang itu.
Sungguh ironi, Bekantan yang dulu bisa hidup bebas di alam terbuka itu kini mulai tersisih karena alamnya dijadikan tempat beraktivitas perusahaan.
Namun tak semua perusahaan semata mengambil keuntungan alam tanpa memperhatikan lingkungan. Ada sebuah perusahaan di Tapin Selatan Kabupaten Tapin justru mencadangkan dana CSR untuk menyelamatkan Bekantan.
Perusahaan tersebut PT Antang Gunung Meratus (AGM) bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tapin untuk melakukan rehabilitasi lahan penyelamatan Bekantan, dan lahan tersebut akan dijadikan Objek Ekowisata Lawahan.
Untuk kepentingan tersebut, Pemkab Tapin menerbitkan Surat Nomor 188.45/060/KUM/2014 tentang Penetapan Kawasan Bernilai Penting bagi Konservasi Spesies Bekantan.
Pengembangan ekowisata Bekantan melalui pembentukan tim yang berasal pemerintah daerah, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), WWF dan PT AGM.
"Wilayah Ekowisata Bekantan ini dibangun di lahan seluas 90 hektare di kanal PT AGM. Kami harap selain PT AGM, penyelamatan habitat Bekantan juga menggandeng perusahaan lainnya," kata Deputi Direktur Umum PT AGM Budi Karya Yugi Budi kepada penulis saat mengunjungi lokasi tersebut awal Maret ini.
Menurut Budi Karya Yugi perusahaannya bersedia mengeluarkan uang miliaran rupiah hanya untuk konservasi lahan rawa yang rusak akibat terbakar dan merusak habitat kera yang menjadi maskot Kalsel tersebut.
"Kami kini sedang melakukan rehabilitasi di lahan rawa yang tadinya ditumbuhi hutan galam dan kayu Pulantan yang rusak akibat terbakar masa musim kemarau lalu, untuk menyelamatkan kera Bekantan itu," katanya.
Menurut dia, biaya rehabilitasi lahan konservasi tersebut berasal dari dana CSR perusahaan untuk melakukan penghijauan, penanaman kembali bibit Galam, Pulantan, Lkut, dan tanaman hutan rawa lainnya.
Melalui penanaman kembali tersebut, pihaknya akan merehabilitasi pohon yang rusak terbakar dan kini sudah berdaun muda untuk makanan satwa Bekantan, sehingga sekitar 300 ekor bekantan di kawasan tersebut bisa diselamatkan.
Bahkan kawasan tersebut akan dijadikan lokasi ekowisata dan ternyata hal tersebut direspon oleh Pemerintah Kabupaten Tapin hingga menetapkan kawasan Desa Lawahan menjadi kawasan ekowisata.
Kawasan yang ditetapkan menjadi ekowisata oleh pemerintah setempat seluas 90 hektare, artinya jika perusahaan merehabilitasi lahan 16 hektare berarti ada luasan 74 hektare yang menjadi tanggungjawab pemerintah setempat untuk merehabilitasinya.
Untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah ekowisata PT AGM sudah membuatkan dermaga "klotok" (perahu motor tempel) ke wilayah tersebut, sekaligus menyediakan sarana jalan kaki dan menara pantau.
"Kita ingin pengunjung tak bersentuhan langsung atau berdekatan dengan Bekantan karena satwa tersebut terlalu pemalu atau penakut dengan pengunjung. Karena itu kita sediakan menara pantau saja. Melalui menara pantau itulah pengunjung bisa menyaksikan kehidupan kera endemik `Pulau Borneo` tersebut," katanya.
Mengutip keterangan Pemkab setempat, Budi Karya Yugi menuturkan ke depan selain bisa dilalui melalui wisata susur sungai, juga akan disediakan jalan darat dari Jalan A Yani kabupaten itu hingga ke lokasi, sehingga pengunjung bisa menggunakan mobil.
Ia mengharapkan dengan adanya konservasi tersebut akan menjadikan wilayah yang berada dekat dengan kanal pengangkutan batu bara PT AGM tersebut menjadi objek wisata andalan Kabupaten Tapin, bahkan Kalsel, karena disitulah habitat Bekantan terbanyak.
Secara terpisah Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) yang dipimpin ketuanya Amalia Rezeki menyatakan kegembiraannya adanya rehabilitasi lahan rawa oleh perusahaan swasta untuk menyelamatkan satwa kera hidung besar Bekantan (Nasalis larvatus) dari kepunahan.
"Kami mengajak siapapun untuk berkomitmen menyelamatkan satwa Bekantan, dan ternyata itu sudah direspons perusahaan swasta PT AGM," kata Amalia Rezeki kepada pers di Banjarmasin, Kamis.
Didampingi pendiri SBI Feri, Amalia Rezeki menuturkan sejak ditetapkannya Bekantan sebagai maskot Provinsi Kalimantan Selatan oleh Gubernur Kalsel, melalui persetujuan DPRD tanggal 28 Maret 1990 berarti sudah 25 tahun bekantan yang menjadi ikon kebanggaan. Namun demikian perhatian terhadap bekantan dirasakan belum optimal.
Oleh karena itu dengan adanya kesediaan swasta tersebut mengkonservasi lahan diharapkan akan memancing perusahaan lain berbuat serupa, walau dana yang digunakan melalui CSR perusahaan, tambahnya.
Pihaknya pada 28 Maret 2015 berencana mencanangkan Hari Bekantan Indonesia wilayah Kalimantan Selatan yang ditandai berbagai kegiatan.
"Kami ingin mengajak semua pihak peduli terhadap satwa langka yang menjadi ikon Kalsel tersebut melalui Hari Bekantan Indonesia," katanya seraya menyebutkan kegiatan tersebut antara lain melakukan observasi kawasan konservasi dan pelepasliaran bekantan di habitatnya.
Selain itu adanya aksi "prusiking up sling" dari Jembatan Barito serta Festival Kelotok Hias yang akan dihadiri para petinggi Kalsel, seperti ketua DPRD, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), institusi perguruan tinggi, mahasiswa dan pelajar, kader konservasi, para aktivis lingkungan hidup, pecinta alam dan masyarakat sekitarnya.
 Lokasi yang dipilih dalam kegiatan tersebut adalah Pulau Kaget yang merupakan habitat Bekantan, yang terdapat hutan rambai padi sebagai makanan utama satwa berbadan besar dan berhidung panjang tersebut.  Â
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015