Fenomena sungai pasang yang terjadi dalam satu pekan terakhir di Kota Banjarmasin memicu terjadinya genangan di Ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan itu pada beberapa wilayah terutama dataran tanah lebih rendah.
"Air mulai naik sekitar pukul 15.00 WITA hingga malam hari dan berangsur surut kembali jelang pagi hari," ucap Gamel, warga di Jalan Veteran Banjarmasin Tengah, Sabtu.
Genangan dengan ketinggian bervariasi sekitar 30 centimeter itupun membuat masyarakat khawatir mengingat rasa trauma akibat banjir besar pada Januari 2021 lalu masih terasa.
"Dalam kondisi tidak ada hujan saja air bisa naik setinggi ini, bagaimana jika hujan terjadi. Semoga fenomena air sungai pasang ini tidak berlangsung lama," cetus Sigit, warga lainnya yang tinggal di Jalan Kelayan A Banjarmasin.
Ahli lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Dr Ir H Udiansyah MS mengatakan ada beberapa faktor diduga jadi penyebab wilayah Banjarmasin saat ini tergenang ketika air Sungai Martapura dan anak-anak sungai kecil lainnya pasang.
Pertama, dia menduga ada land subsidence atau penurunan permukaan tanah, sehingga daratan tergenang atau dalam Bahasa Banjar disebut calap.
"Jadi permukaan air sesungguhnya sama seperti biasa, namun karena permukaan tanahnya turun ya calap. Tapi ini perlu pembuktian dengan meneliti terlebih dahulu," tuturnya.
Kedua, Udiansyah melihat bisa juga dipicu dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim (climate change) itu adalah menaiknya suhu dan meningkatkan curah hujan dari waktu ke waktu. Karena suhu meningkat maka banyak geltser (bongkah es) di kutub mencair, sehingga meningkatkan permukaan air laut. Alhasil, curah hujan meningkat pasti meningkatkan permukaan air juga.
"Ketiga, fenomena astronomis biasa, karena ini mau bulan baru. Bulan baru itu biasanya air pasang. Kalau bahasa Bajau di Kotabaru menyebut nyorong artinya air laut pasang, meningkat permukaan air," jelas Guru Besar Fakultas Kehutanan ULM itu.
Sedangkan keempat yaitu gelombang tinggi akibat badai angin kencang. Ini juga menyebabkan air pasang.
"Permukaan air meningkat karena perubahan iklim, adanya fase bulan baru yang merupakan peristiwa astronomis menyebabkn air pasang dan jika ditambah land subsidence, ya tergenang. Ditambah lagi gelombang tinggi di laut, lengkaplah jadi pemicu banjir sesaat ini," paparnya.
Untuk mengatasinya, Udiansyah menyarankan ada langkah-langkah mitigasi dan adaptasi bagi masyarakat.
Untuk mengurangi dampak bencana dari air pasang, pembangunan infrastruktur dengan sistem yang ramah lingkungan, mengurangi memproduksi karbondioksida dan menanam pohon untuk menyerap karbon dioksida.
Sementara untuk langkah adaptasi, masuyarakat harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Misalnya jika air pasang 50 centimeter maka dalam membangun jalan atau rumah ketinggiannya 100 centimeter dari atas permukaan tanah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Air mulai naik sekitar pukul 15.00 WITA hingga malam hari dan berangsur surut kembali jelang pagi hari," ucap Gamel, warga di Jalan Veteran Banjarmasin Tengah, Sabtu.
Genangan dengan ketinggian bervariasi sekitar 30 centimeter itupun membuat masyarakat khawatir mengingat rasa trauma akibat banjir besar pada Januari 2021 lalu masih terasa.
"Dalam kondisi tidak ada hujan saja air bisa naik setinggi ini, bagaimana jika hujan terjadi. Semoga fenomena air sungai pasang ini tidak berlangsung lama," cetus Sigit, warga lainnya yang tinggal di Jalan Kelayan A Banjarmasin.
Ahli lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Dr Ir H Udiansyah MS mengatakan ada beberapa faktor diduga jadi penyebab wilayah Banjarmasin saat ini tergenang ketika air Sungai Martapura dan anak-anak sungai kecil lainnya pasang.
Pertama, dia menduga ada land subsidence atau penurunan permukaan tanah, sehingga daratan tergenang atau dalam Bahasa Banjar disebut calap.
"Jadi permukaan air sesungguhnya sama seperti biasa, namun karena permukaan tanahnya turun ya calap. Tapi ini perlu pembuktian dengan meneliti terlebih dahulu," tuturnya.
Kedua, Udiansyah melihat bisa juga dipicu dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim (climate change) itu adalah menaiknya suhu dan meningkatkan curah hujan dari waktu ke waktu. Karena suhu meningkat maka banyak geltser (bongkah es) di kutub mencair, sehingga meningkatkan permukaan air laut. Alhasil, curah hujan meningkat pasti meningkatkan permukaan air juga.
"Ketiga, fenomena astronomis biasa, karena ini mau bulan baru. Bulan baru itu biasanya air pasang. Kalau bahasa Bajau di Kotabaru menyebut nyorong artinya air laut pasang, meningkat permukaan air," jelas Guru Besar Fakultas Kehutanan ULM itu.
Sedangkan keempat yaitu gelombang tinggi akibat badai angin kencang. Ini juga menyebabkan air pasang.
"Permukaan air meningkat karena perubahan iklim, adanya fase bulan baru yang merupakan peristiwa astronomis menyebabkn air pasang dan jika ditambah land subsidence, ya tergenang. Ditambah lagi gelombang tinggi di laut, lengkaplah jadi pemicu banjir sesaat ini," paparnya.
Untuk mengatasinya, Udiansyah menyarankan ada langkah-langkah mitigasi dan adaptasi bagi masyarakat.
Untuk mengurangi dampak bencana dari air pasang, pembangunan infrastruktur dengan sistem yang ramah lingkungan, mengurangi memproduksi karbondioksida dan menanam pohon untuk menyerap karbon dioksida.
Sementara untuk langkah adaptasi, masuyarakat harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Misalnya jika air pasang 50 centimeter maka dalam membangun jalan atau rumah ketinggiannya 100 centimeter dari atas permukaan tanah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021