Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan sudah ada lebih dari 60 produk yang dihasilkan Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 selama satu tahun.
"Meskipun ada pemotongan anggaran, tetapi ada dukungan dari LPDP untuk penelitian hampir Rp120 miliar sebagai modal Konsorsium. Penggunaan anggarannya sudah 70 persen dan sudah menghasilkan lebih dari 60 produk," kata Bambang dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR yang diikuti melalui siaran langsung akun Youtube DPR RI di Jakarta, Rabu.
Bambang mengatakan produk-produk yang dihasilkan Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 bisa dikategorikan menjadi aspek pencegahan, aspek skrining, aspek obat dan terapi, serta aspek sosial dan humaniora.
Pada kategori pencegahan, produk yang dihasilkan ada suplemen kesehatan atau imunomodulator, meskipun masih bersifat umum atau tidak spesifik untuk pencegahan COVID-19.
Uji imunomodulator dilakukan secara bertahap mulai dari uji sistemik, studi bioinformatika, hingga uji klinis yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Rumah Sakit Wisma Atlet.
"Imunomodulator yang diujikan merupakan kombinasi jahe merah, sambiloto, meniran, dan cordycep yang telah mendapatkan izin edar dari BPOM, meskipun bukan untuk spesifik COVID-19. Kami ingin meningkatkan statusnya dari obat herbal terstandar menjadi fitofarmaka," tuturnya.
Pada aspek skrining, Bambang mengatakan sudah ada beberapa produk yang dihasilkan antara lain Uji CePAD Antigen produksi Universitas Padjadjaran hingga GeNose yang dibuat Universitas Gadjah Mada.
"GeNose tidak didesain untuk menggantikan PCR, tetapi lebih akurat, lebih cepat, dan lebih murah untuk skrining. Uji validasi terhadap 2.000 sampel, dengan membandingkan hasil swab dengan hembusan nafas, ternyata sensitivitasnya cukup akurat," katanya.
Selain itu, GeNose juga sudah dilengkapi dengan kecerdasan buatan yang akan membuat akurasi semakin membaik seiring dengan pemakaian yang lebih banyak. Semakin banyak data yang masuk, akan semakin meningkatkan akurasi.
Untuk kategori obat dan terapi, perkembangan yang cukup menggembirakan adalah terapi Mesenchymal Stem Cell yang dikembangkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Terapi sel punca tersebut menggantikan jaringan paru-paru yang rusak akibat COVID-19 dengan hasil 2,5 kali lebih mudah sembuh pada pasien dengan kasus berat.
"Mesenchymal Stem Cell ini sangat bermanfaat untuk penanganan kasus berat, yang selama ini kita susah menentukan terapinya. Saat ini sedang diproses di BPOM untuk mendapatkan izin terapi yang resmi untuk penanganan COVID-19," jelasnya.
Bambang mengatakan sejak Indonesia menyatakan pandemi COVID-19 secara resmi, Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN segera membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 dengan semangat menyatukan para pemangku kepentingan dalam kegiataan riset dan inovasi.
"Pemerintah sebagai regulator, bersama dengan peneliti baik dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta pihak swasta sebagai pihak hilirisasi hasil riset," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Meskipun ada pemotongan anggaran, tetapi ada dukungan dari LPDP untuk penelitian hampir Rp120 miliar sebagai modal Konsorsium. Penggunaan anggarannya sudah 70 persen dan sudah menghasilkan lebih dari 60 produk," kata Bambang dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR yang diikuti melalui siaran langsung akun Youtube DPR RI di Jakarta, Rabu.
Bambang mengatakan produk-produk yang dihasilkan Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 bisa dikategorikan menjadi aspek pencegahan, aspek skrining, aspek obat dan terapi, serta aspek sosial dan humaniora.
Pada kategori pencegahan, produk yang dihasilkan ada suplemen kesehatan atau imunomodulator, meskipun masih bersifat umum atau tidak spesifik untuk pencegahan COVID-19.
Uji imunomodulator dilakukan secara bertahap mulai dari uji sistemik, studi bioinformatika, hingga uji klinis yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Rumah Sakit Wisma Atlet.
"Imunomodulator yang diujikan merupakan kombinasi jahe merah, sambiloto, meniran, dan cordycep yang telah mendapatkan izin edar dari BPOM, meskipun bukan untuk spesifik COVID-19. Kami ingin meningkatkan statusnya dari obat herbal terstandar menjadi fitofarmaka," tuturnya.
Pada aspek skrining, Bambang mengatakan sudah ada beberapa produk yang dihasilkan antara lain Uji CePAD Antigen produksi Universitas Padjadjaran hingga GeNose yang dibuat Universitas Gadjah Mada.
"GeNose tidak didesain untuk menggantikan PCR, tetapi lebih akurat, lebih cepat, dan lebih murah untuk skrining. Uji validasi terhadap 2.000 sampel, dengan membandingkan hasil swab dengan hembusan nafas, ternyata sensitivitasnya cukup akurat," katanya.
Selain itu, GeNose juga sudah dilengkapi dengan kecerdasan buatan yang akan membuat akurasi semakin membaik seiring dengan pemakaian yang lebih banyak. Semakin banyak data yang masuk, akan semakin meningkatkan akurasi.
Untuk kategori obat dan terapi, perkembangan yang cukup menggembirakan adalah terapi Mesenchymal Stem Cell yang dikembangkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Terapi sel punca tersebut menggantikan jaringan paru-paru yang rusak akibat COVID-19 dengan hasil 2,5 kali lebih mudah sembuh pada pasien dengan kasus berat.
"Mesenchymal Stem Cell ini sangat bermanfaat untuk penanganan kasus berat, yang selama ini kita susah menentukan terapinya. Saat ini sedang diproses di BPOM untuk mendapatkan izin terapi yang resmi untuk penanganan COVID-19," jelasnya.
Bambang mengatakan sejak Indonesia menyatakan pandemi COVID-19 secara resmi, Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN segera membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 dengan semangat menyatukan para pemangku kepentingan dalam kegiataan riset dan inovasi.
"Pemerintah sebagai regulator, bersama dengan peneliti baik dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta pihak swasta sebagai pihak hilirisasi hasil riset," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021