Hujan tak henti sejak sore, selayaknya menyamarkan bencana. Saat sebagian terlelap, gemuruh tetiba menyeruak. Menghentak lelap, memberi kesadaran dalam sekejap.

Semua berusaha menggapai dataran tinggi. Dari kejauhan mereka hanya bisa terpaku. Air bergulung menunjukkan kuasa. Dan dalam sekali tepukan, bandang menyapu desa.

Banyak rumah tersisa sekadar memori. Tongkat penyangga, lantai beralas tegel, tanpa dinding dan atap. Air melenyapkan segalanya.
"Hanya baju di badan yang tersisa saat itu," ujar Nur Ainah, tanpa mau melepas handuk kumal yang menutupi separo wajahnya.

Desa Batu Tunggal, RT 2, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, tempat Ainah bermukim, satu diantara banyak desa di wilayah kaki pegunungan Meratus yang terdampak hebat bencana banjir di Kalsel.
 
Sepekan lalu, kala bandang menghantam, sedikitnya 20 rumah di wilayah Batu Tunggal tak kuasa menahan hantaman air bah. Ainah yang kami temui Kamis (21/1) mengaku hanya tersisa bagian lantai dari bangunan rumahnya akibat bencana itu.

Malam itu, kenang Ainah, sedianya tersiar kabar dari desa tetangga, air sudah mencapai ketinggian satu meter. Ia lantas bergegas membangunkan dua   anaknya.

"Suami saya coba bertahan memantau kondisi sungai, sementara saya dan anak - anak, sudah berlari menuju ke dataran yang lebih tinggi, 500 meter dari rumah," ungkapnya.

Pada dataran tinggi wadah Ainah berlindung, hanya terdengar bunyi gemeretak saat air menghancurkan puluhan rumah. Ainah mengingat, tangis dan gema takbir saling bersahutan turut mewarnai malam itu.

Kini, Ainah bersama empat keluarga lainnya, harus berbagi naungan sementara di bentangan terpal yang disulap menjadi perlindungan.

"Kalau malam, nyamuknya ampun, susah tidur," ujarnya. Ahmadi, warga Batu Tunggal lainnya, menceritakan, selama lebih 60 tahun, banjir kali ini, merupakan yang terbesar pada riwayat hidupnya.

Aah, begitu Ahmadi karib disapa, lantas menunjukkan pondok pengungsian yang dibangun diatas puing rumahnya, wadah Aah bermukim bersama istri dan 3 anaknya.

 "Anak saya yang paling besar umur 20 tahun, yang nomor 2 kelas 5 SD, si bungsu baru berumur 2 tahun. Kami pasrah sepenuhnya dengan kejadian ini, berharap bisa menata kembali kehidupan," kata Aah.

Dari ketiga anaknya, Aah mengaku si sulung masih kerap menitikkan air mata. Trauma membekap hebat. Saat menyaksikan hujan, tangisnya meledak seketika.

Menata Ulang

Sejak Jumat (15/1), sehari pasca kejadian, bantuan sudah mulai berdatangan. Para relawan dan dermawan, bergegas menuju lokasi bencana. Logistik, pakaian layak pakai, keperluan bayi, mengalir hingga saat ini.

Semua lapisan masyarakat saling membantu. PT Adaro Indonesia bersama mitra kerja, ikut ambil bagian, penyaluran logistik, evakuasi, dan layanan kesehatan secara simultan terus diupayakan.

Solidaritas itu, diakui Nur Ainah dan Ahmadi, sangat membantu melewati hari-hari paskabencana."Makanan dan pakaian, Alhamdulillah bisa terpenuhi. Kami tidak menyangka bahwa begitu besar perhatian yang hadir," ujarnya. Saya lantas bergeming sejenak, melihat bulir airmata menetes pelan.

Untuk berpindah tempat tinggal, belum terlintas di benak Ainah, meski ia mengaku rasa takut sulit dihilangkan. Selain bekas reruntuhan rumah, Ainah dan suami yang berpenghasilan dari menyadap karet itu, tak lagi punya simpanan.

Mungkin, ujarnya, perlahan reruntuhan rumahnya akan kembali dibangun. "Seandanya saja. Ulun kada handak lagi rumah babaik-baik. Takutan," aku Ainah.

Hal senada juga disampaikan Ahmadi (Aah). Bagi Aah, menata ulang, mungkin tak bakal sama. Perjuangan akan dimulai dari bawah. Aah, tak punya kerjaan tetap. Namun ia berharap, anak-anaknya bisa terus hidup, melanjutkan cita-cita.

 "Ulun belum tahu mau mulai darimana. Usai kejadian, semuanya hilang. Rumah, baju, surat menyurat, hilang terbawa arus. Namun, banyaknya bantuan dan relawan yang terus berdatangan, setidaknya memberi semangat, bahwa kami tidak sendiri," pungkas Aah.

Penulis : Ikhsan

Pewarta: .

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021