Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Kalimantan Selatan (Kalsel) mempertanyakan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat di provinsinya yang terdiri atas 13 kabupaten/kota tersebut.
Pasalnya tanpa kejelasan atau pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat tersebut bisa menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan, ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo saat seminar/uji publik Raperda tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Banjarmasin, Senin (30/11) lalu.
Oleh karenanya dalam forum seminar/uji publik di Ruang Ismail Abdullah Gedung DPRD Kalsel itu, Walhi menolak Raperda tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan tersebut sebelum ada pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat.
Persoalannya, menurut pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan hidup itu, pengelolaan hutan berkelanjutan tidak terlepas dari keberadaan masyarakat adat yang tinggal sejak lama secara turun-temurun di kawasan Pegunungan Meratus.
Dengan gayanya yang khas nada tinggi, Kisworo mempertahankan, mengapa sampai saat ini belum ada pengakuan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat.
Begitu pula tim yang akan memproses kedudukan hukum masyarakat adat di Kalsel belum juga terbentuk hingga saat ini, tanyanya.
"Sementara di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Barat (Kalbar) yang merupakan provinsi termuda dibandingkan dengan Kalsel, mereka sudah ada pengakuan terhadap masyarakat adat," ungkapnya seraya menyatakan, aneh.
Padahal Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang merupakan turunan dari peraturan perundang-undangan lebih atas itu sudah ada enam tahun lalu.
"Dalam Permendagri 52/2014 itu dengan jelas menyatakan, Ketua Tim Pembentukan Peraturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tersebut adalah Sekretaris Pemerintah Kabupaten (Pemkab)," lanjutnya.
"Bila Pemkab tidak jalan dalam hal pengakuan masyarakat adat tersebut, maka pemerintah provinsi (Pemprov) harus segera mengambil alih, guna kejelasan kedudukan mereka secara hukum," demikian Kisworo.
Pegunungan Meratus yang merupakan tempat tinggal masyarakat adat turun-temurun sejak nenek moyang mereka itu membentang dari Utara ke Selatan Kalsel atau dari Kabupaten Tabalong hingga Kotabaru.
Sedangkan daerah/wilayah Meratus tersebut yaitu dari Tabalong kemudian Kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin, Banjar serta Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut (Tala), Tanah Bumbu (Tanbu) dan Kabupaten Kotabaru.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Pasalnya tanpa kejelasan atau pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat tersebut bisa menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan, ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo saat seminar/uji publik Raperda tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Banjarmasin, Senin (30/11) lalu.
Oleh karenanya dalam forum seminar/uji publik di Ruang Ismail Abdullah Gedung DPRD Kalsel itu, Walhi menolak Raperda tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan tersebut sebelum ada pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat.
Persoalannya, menurut pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan hidup itu, pengelolaan hutan berkelanjutan tidak terlepas dari keberadaan masyarakat adat yang tinggal sejak lama secara turun-temurun di kawasan Pegunungan Meratus.
Dengan gayanya yang khas nada tinggi, Kisworo mempertahankan, mengapa sampai saat ini belum ada pengakuan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat.
Begitu pula tim yang akan memproses kedudukan hukum masyarakat adat di Kalsel belum juga terbentuk hingga saat ini, tanyanya.
"Sementara di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Barat (Kalbar) yang merupakan provinsi termuda dibandingkan dengan Kalsel, mereka sudah ada pengakuan terhadap masyarakat adat," ungkapnya seraya menyatakan, aneh.
Padahal Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang merupakan turunan dari peraturan perundang-undangan lebih atas itu sudah ada enam tahun lalu.
"Dalam Permendagri 52/2014 itu dengan jelas menyatakan, Ketua Tim Pembentukan Peraturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tersebut adalah Sekretaris Pemerintah Kabupaten (Pemkab)," lanjutnya.
"Bila Pemkab tidak jalan dalam hal pengakuan masyarakat adat tersebut, maka pemerintah provinsi (Pemprov) harus segera mengambil alih, guna kejelasan kedudukan mereka secara hukum," demikian Kisworo.
Pegunungan Meratus yang merupakan tempat tinggal masyarakat adat turun-temurun sejak nenek moyang mereka itu membentang dari Utara ke Selatan Kalsel atau dari Kabupaten Tabalong hingga Kotabaru.
Sedangkan daerah/wilayah Meratus tersebut yaitu dari Tabalong kemudian Kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin, Banjar serta Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut (Tala), Tanah Bumbu (Tanbu) dan Kabupaten Kotabaru.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020