Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan pencegahan dan penghentian kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan secara sistemik, integratif, dan multisektor.
"Hal pertama yang perlu dilakukan adalah penguatan agensi semua anak untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Setiap anak sejak dini harus diajarkan bahwa kekerasan apapun bentuknya itu dilarang, " ujar dia dalam webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender diselenggarakan Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud di Jakarta, Sabtu.
Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah peningkatan akses dan kualitas layanan perlindungan anak, khususnya perempuan.
Terkait dengan hal itu, kata dia, perlu peran sekolah yang terintegrasi dengan orang tua dalam perlindungan anak, contohnya saat anak dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumah atau sebaliknya.
"Aspek ketiga yakni peningkatan peran orang tua, keluarga, guru, dan anggota masyarakat (sekolah, pesantren, ormas, dan dunia usaha) dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan, " tambah dia.
Selain itu, kata dia, perlu penguatan kerangka hukum dan kebijakan peraturan dan penguatan koordinasi lintas kementerian/lembaga, media, daerah, dunia usaha, dan lainnya.
Untuk sistem hukum, lanjut dia, dalam KUHP hanya mengenal istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP belum mampu memberikan aspek perlindungan pada perempuan korban kekerasan seksual sehingga tidak dapat menuntut keadilan.
"Untuk itu solusinya adalah disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami meminta agar segera dibahas kembali di DPR," kata dia.
Dalam kesempatan itu, dia mengatakan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di luar rumah, tetapi juga di rumah, lembaga pendidikan, dan tempat kerja.
Data Komnas Perempuan menyebutkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2011 hingga 2019 terjadi 46.698 kasus. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa tetapi juga anak.
Dampak kekerasan seksual terhadap perempuan, kata dia, korban mengalami trauma dan stigma negatif.
Untuk itu, ujar dia, korban perlu dipulihkan secara optimal.
"Jika tidak dipulihkan maka korban tidak dapat berperan dalam pembangunan secara maksimal," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Hal pertama yang perlu dilakukan adalah penguatan agensi semua anak untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Setiap anak sejak dini harus diajarkan bahwa kekerasan apapun bentuknya itu dilarang, " ujar dia dalam webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender diselenggarakan Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud di Jakarta, Sabtu.
Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah peningkatan akses dan kualitas layanan perlindungan anak, khususnya perempuan.
Terkait dengan hal itu, kata dia, perlu peran sekolah yang terintegrasi dengan orang tua dalam perlindungan anak, contohnya saat anak dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumah atau sebaliknya.
"Aspek ketiga yakni peningkatan peran orang tua, keluarga, guru, dan anggota masyarakat (sekolah, pesantren, ormas, dan dunia usaha) dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan, " tambah dia.
Selain itu, kata dia, perlu penguatan kerangka hukum dan kebijakan peraturan dan penguatan koordinasi lintas kementerian/lembaga, media, daerah, dunia usaha, dan lainnya.
Untuk sistem hukum, lanjut dia, dalam KUHP hanya mengenal istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP belum mampu memberikan aspek perlindungan pada perempuan korban kekerasan seksual sehingga tidak dapat menuntut keadilan.
"Untuk itu solusinya adalah disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami meminta agar segera dibahas kembali di DPR," kata dia.
Dalam kesempatan itu, dia mengatakan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di luar rumah, tetapi juga di rumah, lembaga pendidikan, dan tempat kerja.
Data Komnas Perempuan menyebutkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2011 hingga 2019 terjadi 46.698 kasus. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa tetapi juga anak.
Dampak kekerasan seksual terhadap perempuan, kata dia, korban mengalami trauma dan stigma negatif.
Untuk itu, ujar dia, korban perlu dipulihkan secara optimal.
"Jika tidak dipulihkan maka korban tidak dapat berperan dalam pembangunan secara maksimal," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020