Dibukanya pembelajaran tatap muka di empat sekolah menengah pertama (SMP) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan mulai Senin hari ini menjadi babak baru kegiatan sekolah di masa pandemi COVID-19.

Euforia pun nampak tergambar dari raut muka para guru dan siswa tak terkecuali orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah.

Perasaan senang dan gembira dilontarkan siswa ketika ditemui ANTARA usai mengikuti kegiatan belajar di SMPN 7 Banjarmasin, salah satu sekolah yang menjadi "filoting" alias uji coba penerapan pembelajaran tatap muka.

"Sangat senang bisa bertemu kawan-kawan di sekolah. Harapannya pandemi COVID-19 cepat hilang dan bisa normal lagi belajar di sekolah seperti dulu," ucap Fajar Merah Riduan, siswa Kelas VII E SMPN 7 Banjarmasin.

Kalimat hampir senada disampaikan siswi lainnya Deviana Nayla yang mengaku senang sekolah dibuka kembali untuk belajar di kelas.

"Saya mulai bosan dengan belajar daring di rumah, jadi pengennya masuk sekolah," katanya.

Kalangan guru juga menyampaikan nada antusias digelarnya pembelajaran tatap muka. Rusdiana SPd, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMPN 7 Banjarmasin mengakui pembelajaran tatap muka menjadi semangat baru di masa pandemi.

"Selama ini pembelajaran daring dirasa banyak tidak enaknya. Saya sebagai guru merasa tidak bisa maksimal menyampaikan materi. Apalagi jika ada siswa tidak mengerti, jadi berasa bersalah. Berbeda jika tatap muka kita bisa leluasa menjelaskan sampai semua siswa paham," ungkap Wali Kelas VII C itu.

Meski begitu, Rusdiana memahami kondisi saat ini yang mengharuskan pembelajaran tatap muka dihentikan sementara waktu hingga pandemi COVID-19 benar-benar berakhir.

"Jadi, pembelajaran di kelas yang singkat ini benar-benar kami manfaatkan untuk memberikan pemahaman kepada siswa mana saja materi yang belum dimengerti ketika belajar daring. Siswa bisa bertanya sepuasnya dan kami bisa menjelaskan secara maksimal," katanya.

Penerapan protokol kesehatan menjadi syarat wajib sekolah yang berani memutuskan digelarnya pembelajaran tatap muka. Mulai siswa dan guru datang ke sekolah hingga pulang diatur sedemikian rupa dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19.

Seperti SMPN 7 Banjarmasin, menyiapkan 50 titik cuci tangan dari 20 kelas yang ada. Siswa dan guru juga dicek suhu tubuh sebelum masuk dan wajib menggunakan masker standar kesehatan.

Ketika berada di dalam kelas, jarak duduk diatur dengan hanya diisi sepertiga dari total jumlah siswa dalam kondisi normal.

"Setiap kelas rata-ratanya maksimal diisi sekitar 10 orang saja. Dalam satu minggu, setiap siswa hanya dua kali pertemuan," kata Kepala SMPN 7 Banjarmasin Kabul MPd.

Dalam sehari, pembelajaran hanya berlangsung selama tiga jam dari pukul 08.00 hingga 11.00 WITA. Satu mata pelajaran hanya 25 menit dari waktu normal 45 menit. Perbelajaran tatap muk benar-benar dibuat seefektif mungkin sehingga siswa tidak terlalu lama berada di sekolah.

"Kantin sekolah tidak diizinkan buka. Jadi siswa berada di sekolah benar-benar hanya untuk belajar. Kemudian pulang secepatnya dijemput orang tua alias dilarang nongkrong atau keluyuran," jelas 
Kabul lagi.

Kebijakan pembukaan sekolah diambil setelah hasil jajak pendapat orang tua siswa yang mayoritas menginginkan pembelajaran tatap muka, di samping zonasi kasus COVID-19 yang semakin melandai di Kota Banjarmasin.

Sebanyak 543 dari 662 orang tua atau 82,40 persen menghendaki sekolah dibuka. Bahkan, dari 116 orang tua yang sebelumnya tidak setuju, lebih dari 20 orang hari ini merubah keputusannya menjadi setuju.

Menurut Kabul, tatap muka sejatinya hanya sepertiga dari jumlah pertemuan perminggunya. Jadi dua pertiga tetap belajar di rumah atau secara daring.

"Bagi orang tua yang tidak setuju, maka dipersilahkan anaknya tetap belajar di rumah. Jadi tidak ada unsur paksaan, semua keputusan dikembalikan kepada wali murid," bebernya.

Euforia yang sama juga terasa di SMPN 10 Banjarmasin. Pihak sekolah memutuskan sepakat menggelar pembelajaran daring setelah 97,3 persen dari 552 orang tua siswa menyatakan setuju sekolah dibuka.

"Orang tua dan siswa sangat antusias. Hasil jajak pendapat menggambarkan keinginan warga sekolah agar pembelajaran dapat normal kembali di kelas," kata Kepala SMPN 10 Banjarmasin Saipuddin Zuhri.

Menurut dia, siswa dan orang tua pun sangat memahami sistem pembelajaran yang dilaksanakan yaitu ada pembagian jumlah peserta didik dalam satu kelas selama masa pandemi.

"Ruang kelas maksimal diisi 50 persen atau sekitar 16 orang saja. Jadi siswa bergantian berdasarkan nomor absensi ganjil dan genap," jelasnya.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin Totok Agus Daryanto menyatakan simulasi pembelajaran tatap muka berlangsung dua minggu kedepan tersebut akan dievaluasi.

"Kami meminta laporan perhari pihak sekolah. Apa saja permasalahan yang muncul misalnya terus kami evaluasi. Intinya, kami masih mencari formula yang tepat dalam koridor patuh protokol kesehatan," katanya.

Totok mengaku membuka peluang bagi sekolah lainnya menerapkan kebijakan serupa jika memang memenuhi syarat. Apalagi jika kasus COVID-19 terus menunjukkan tren penurunan alias menghijau zonasinya.

"Sebaliknya jika memang kasus COVID-19 meningkat, maka sekolah ditutup kembali dan hanya pembelajaran daring bisa dilaksanakan. Prinsipnya, keselamatan warga sekolah adalah hal utama," tandasnya.
SMPN 7 Banjarmasin melaksanakan pembelajaran tatap muka. (ANTARA/Firman)


Pakar ingatkan pandemi belum melandai

Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D berharap pembukaan sekolah di Banjarmasin ditunda hingga pandemi betul-betul terkendali.

Menurut Muttaqin, untuk memahami apakah pandemi sudah melandai tidak dapat hanya dengan melihat penurunan kasus baru. Ada dua indikator utama yang harus diperhatikan berdasarkan kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu jumlah sampel tes dan "positive rate" atau tingkat kasus positif COVID-19.

Berdasarkan standar WHO, ungkap dia, jumlah sampel tes COVID-19 yang diambil setiap minggu minimal 1/1000 penduduk. Untuk Kota Banjarmasin berarti minimal 700 sampel tes usap per minggunya atau sekitar 2.800 sampel per bulannya.

Ketika pengambilan sampel tes sangat kecil, maka hasilnya tidak dapat menggambarkan kondisi riil. 

"Berdasarkan kajian yang saya lakukan terhadap perkembangan data kasus baru dan jumlah sampel harian baik pada level nasional dan di sejumlah daerah di Kalimantan Selatan, terdapat indikasi penurunan jumlah kasus baru positif karena turunnya jumlah sampel tes bukan karena pandemi sudah terkendali," paparnya.

Dari analisis data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selata, untuk Kota Banjarmasin puncak jumlah sampel tes yang diambil terjadi pada bulan Juli yaitu rata-rata sekitar 759 sampel per minggunya. Kemudian turun menjadi 287 per minggu pada bulan Agustus dan 157 per minggunya di bulan September. 

Sementara jumlah kasus baru per minggu di bulan Agustus turun menjadi 138 kasus dari semula 229 kasus pada bulan Juli. Sedangkan pada bulan September rata-rata kasus baru per minggu turun lagi menjadi 103 kasus.

"Data ini mengindikasikan penurunan kasus di Banjarmasin terkait dengan turunnya pengambilan sampel tes, bukan karena pandemi telah terkedali," bebernya lagi.

Selain kecukupan jumlah sampel tes COVID-19 yang diambil setiap minggunya, WHO juga mensyaratkan pandemi dikatakan mulai terkendali jika angka "positive rate" sudah berada di bawah 5 persen dalam dua minggu secara berturut-turut. 

Sedangkan angka "positive rate" Kota Banjarmasin unuk jumlah kasus positif dan jumlah sampel tes kumulatif hingga 13 November 2020 berada di angka 43 persen. 

Hal ini berdasarkan publikasi dari Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin yang menyebutkan jumlah kasus positif kumulatif sebanyak 3.574 dan jumlah sampel tes kumulatif 8.403. 

Indikator ini, menurut Muttaqin, menunjukkan posisi pandemi masih jauh dari kriteria WHO untuk dikatakan kasus sudah melandai dan pandemi telah terkendali. 

"Kita belum dapat mengatakan berdasarkan data kasus terkonfirmasi maka pandemi telah melandai atau sudah terkendali. Sebab ada permasalahan pada alat ukur untuk menjustifikasi hal itu," jelasnya.

Atas dasar itulah, maka dia melihat kegiatan yang mendorong mobilitas penduduk lebih tinggi seperti pembukaan sekolah menjadi sangat riskan terhadap pertumbuhan COVID-19 di Banjarmasin.



Metode guru kunjung selama pandemi


Pakar pendidikan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof H Ahmad Suriansyah, MPd, PhD menilai pembelajaran tatap muka di sekolah adalah pilihan yang bisa dihindari jika desain pembelajaran daring bisa diterima siswa dengan baik.

Dia pun menyarankan metode guru kunjung dapat dilaksanakan selama pandemi COVID-19 menyusul banyaknya keluhan orang tua yang kesulitan dalam proses belajar siswa di rumah.

"Program visiting guru atau home visit ini bisa jadi solusi jika misalnya ada materi yang sulit dipahami siswa. Dimana guru menjadi wadah bertanya dan sebagainya," kata dia.

Prof Sur, begitu biasa pria ini disapa, program visiting guru dapat dijalankan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan pencegahan COVID-19. 

"Jadi caranya ada dua, pertama bisa guru ke rumah siswa secara door to door. Kedua, disiapkan satu lokasi yang mana ada beberapa siswa berkumpul dengan jumlah terbatas misalnya satu lingkungan RT dan sebagainya. Cara ini disebut juga kantong belajar," jelasnya.

Diakui Prof Sur, selama penerapan belajar jarak jauh atau di rumah memang muncul beragam kesulitan baik bagi si anak sendiri maupun orang tua yang terkesan dipaksa menjadi guru dadakan.

Alhasil, kompetensi mengajar dan mendidik yang tak dimiliki sebagian besar orang tua menimbulkan masalah lain hingga berdampak pada psikologis anak.

"Begitu anak sering dimarahi orang tua yang tak menguasai materi pembelajaran atau orang tua tidak tepat dalam melakukan pendekatan mendidiknya, ini jadi masalah serius. Pada akhirnya, berdampak pula pada cara belajar, gaya belajar, kebiasaan belajar dan hasil belajar yang tak maksimal," tutur Direktur Pascasarjana ULM itu.

Apalagi dia melihat pemerintah belum mampu mendesain pembelajaran yang berbasis teknologi untuk menjadi pembelajaran terintegrasi baik sikap, karakter maupun pengetahuan. 

"Saat desain tugasnya terlalu berat maka tidak sesuai dengan kemampuan anak  dan tidak semua orang tua memiliki kemampuan yang standar melakukan bimbingan yang dikehendaki dalam proses pembelajaran. Akumulasi dari semua ini pasti membuat orang stres," paparnya.

Untuk itulah, menurut Prof Sur desain pembelajaran harus lebih menyenangkan bagi anak agar mendorong mereka lebih dalam untuk mengikuti pembelajaran. Di samping terintegrasi tadi yang wajib dipastikan tercapai proses dan hasil pembelajarannya.  

Pewarta: Firman

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020