Deputi Director Council of Palm Oil Producer Countries (CPOPC) Dupito Simamora, menyampaikan label Palm Oil Free (POF) atau tanpa minyak sawit, bukan berdasar regulasi pemerintah tapi dilakukan oleh swasta atau pengusaha dan meskipun aturan dan sanksi sudah jelas namun terjadi pembiaran. 

Ia mengatakan, label POF ini bisa jadi marketing strategi dengan memberikan klaim lebih sehat, lebih ramah lingkungan namun sebenarnya merupakan boikot kelapa sawit karena mempengaruhi konsumen secara langsung.

Baca juga: Gapki optimis sawit bertahan di tengah pandemi COVID-19

"Meskipun secara aturan internasional FAO maupun aturan-aturan negara lain melarang informasi yang menyesatkan, saat ini terdapat lebih dari 2000 produk dengan label POF di dunia, di Uni Eropa sendiri ada tiga ketentuan terkait produk dengan informasi menyesatkan yakni food Information regulation 1169/2011,"katanya.

Sekjen Gabungan Pengusaha Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Stefanus Indrayana, mengatakan industri makanan olahan bergantung pada minyak kelapa sawit dan produk turunannya.

Dijelaskan dia, dari semua produk makanan di pasar global, 50 persennya menggunakan minyak sawit. Ini jauh lebih tinggi dari penggunaan minyak Canola, minyak Bunga Matahari (Sunflower) atau pun minyak Kedelai.

Baca juga: Gapki Kalsel mendorong ekspor sawit tak lagi bentuk CPO

Senada itu, Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Mahendra Siregar menyatakan tingginya ketergantungan dunia terhadap minyak kelapa sawit maka diskriminasi terhadap produk ini semakin besar akibat perang dagang minyak nabati global.

“Jangan terbuai dengan angka ekspor-impor. Meningkatnya nilai ekspor ke Eropa diklaim sebagai bukti tidak adanya diskrimasi sawit oleh negara Uni Eropa. Padahal, peningkatan angka tersebut karena anjloknya produksi minyak nabati EU akibat temperatur ekstem dan wabah COVID-19,” katanya.

Pewarta: Fathurrahman

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020