Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arief Hafaz Oegroseno mengatakan Islam moderat khas Indonesia agar terus dipromosikan menjadi arus utama di dunia sehingga dapat mengikis Islamophobia di berbagai belahan dunia, termasuk di Eropa.
Dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhamamdiyah daring, Jumat malam, Hafaz mengatakan dunia lebih banyak mengenal Islam yang menonjol karena radikalisme dan antidemokrasi yang banyak terjadi di negara-negara Timur Tengah.
"Muhammadiyah khususnya, ini agar dapat memberi gambaran Islam tidak selalu identik dengan Timur Tengah. Islam juga ada di negara demokrasi terbesar ketiga dunia yaitu Indonesia. Di Indonesia, Islam mampu hidup dengan menghargai wanita, kita banyak politisi wanita, pegawai negeri wanita. Ini tidak banyak diketahui di Eropa," kata dia.
Orang Eropa, kata dia, lebih banyak mengenal Islam adalah sesuatu yang lekat dengan negara-negara Afrika Tengah atau TImur Tengah. Sementara Indonesia lebih banyak dikenal sebagai negara tujuan wisata daripada karakter Islam moderatnya.
Ia mengatakan pandangan umum Islamophobia atau anti-Islam terjadi karena pemahaman salah terhadap salah satu agama samawi itu.
"Basis Islamophobia kuat karena ada pemahaman Islam yang salah. Islam itu dianggap sama dengan Arab, kemudian radikal. Di Timur Tengah juga tidak demokratis kemudian diasosiasikan dengan Islam. Islam ketika disamakan dengan Timur Tengah maka menjadi satu simbol yang tidak sesuai dengan modernisme, demokrasi dan hak asasi manusia," katanya.
Padahal kalau ditelaah secara mendalam, kata dia, justru narasi-narasi modernisme, demokrasi dan hak asasi manusia menjadi arus utama dalam ajaran Islam. Dia mencontohkan pada masa kejayaan Islam ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat menjadi bukti Islam tidak anti terhadap sains.
Soal demokrasi dan hak asasi manusia, lanjut dia, Islam mampu mengakomodasinya sebagaimana dipraktikkan Indonesia.
Seiring dengan itu, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan Islam di Indonesia memang perlu dipromosikan ke dunia. Di Indonesia mampu menunjukkan Islam bisa bersanding dengan demokrasi.
Hanya saja, kata dia, memang agen-agen penyampai Islam moderat seperti dari Indonesia masih belum banyak bermunculan. Kini ada Syamsi Ali yang menjadi ulama Indonesia di Amerika Serikat. Syamsi mampu menunjukkan Islam yang moderat antiradikalisme di Negeri Paman Sam.
Tokoh-tokoh Islam seperti Syamsi Ali, kata dia, belum banyak sehingga perlu ada pengkaderan ulama moderat yang berpengaruh. Tugas itu tidak mudah tetapi jika berhasil bertumbuhan maka Islam yang antiradikalisme tentu akan menjadi citra umum di masyarakat global.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhamamdiyah daring, Jumat malam, Hafaz mengatakan dunia lebih banyak mengenal Islam yang menonjol karena radikalisme dan antidemokrasi yang banyak terjadi di negara-negara Timur Tengah.
"Muhammadiyah khususnya, ini agar dapat memberi gambaran Islam tidak selalu identik dengan Timur Tengah. Islam juga ada di negara demokrasi terbesar ketiga dunia yaitu Indonesia. Di Indonesia, Islam mampu hidup dengan menghargai wanita, kita banyak politisi wanita, pegawai negeri wanita. Ini tidak banyak diketahui di Eropa," kata dia.
Orang Eropa, kata dia, lebih banyak mengenal Islam adalah sesuatu yang lekat dengan negara-negara Afrika Tengah atau TImur Tengah. Sementara Indonesia lebih banyak dikenal sebagai negara tujuan wisata daripada karakter Islam moderatnya.
Ia mengatakan pandangan umum Islamophobia atau anti-Islam terjadi karena pemahaman salah terhadap salah satu agama samawi itu.
"Basis Islamophobia kuat karena ada pemahaman Islam yang salah. Islam itu dianggap sama dengan Arab, kemudian radikal. Di Timur Tengah juga tidak demokratis kemudian diasosiasikan dengan Islam. Islam ketika disamakan dengan Timur Tengah maka menjadi satu simbol yang tidak sesuai dengan modernisme, demokrasi dan hak asasi manusia," katanya.
Padahal kalau ditelaah secara mendalam, kata dia, justru narasi-narasi modernisme, demokrasi dan hak asasi manusia menjadi arus utama dalam ajaran Islam. Dia mencontohkan pada masa kejayaan Islam ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat menjadi bukti Islam tidak anti terhadap sains.
Soal demokrasi dan hak asasi manusia, lanjut dia, Islam mampu mengakomodasinya sebagaimana dipraktikkan Indonesia.
Seiring dengan itu, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan Islam di Indonesia memang perlu dipromosikan ke dunia. Di Indonesia mampu menunjukkan Islam bisa bersanding dengan demokrasi.
Hanya saja, kata dia, memang agen-agen penyampai Islam moderat seperti dari Indonesia masih belum banyak bermunculan. Kini ada Syamsi Ali yang menjadi ulama Indonesia di Amerika Serikat. Syamsi mampu menunjukkan Islam yang moderat antiradikalisme di Negeri Paman Sam.
Tokoh-tokoh Islam seperti Syamsi Ali, kata dia, belum banyak sehingga perlu ada pengkaderan ulama moderat yang berpengaruh. Tugas itu tidak mudah tetapi jika berhasil bertumbuhan maka Islam yang antiradikalisme tentu akan menjadi citra umum di masyarakat global.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020