Sesaat setelah mendarat di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada Rabu (30/10) siang, penulis bersama rombongan wartawan yang meliput Konferensi minyak sawit dunia bertajuk "15th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlook" menuju sebuah rumah makan di Jalan Raya Kuta, Kabupaten Badung, Bali.

Penulis duduk satu meja makan dengan Vice President Of Communications PT Astra Agro Lestari Tbk Tofan Mahdi , pria yang bertugas mengomando 35 wartawan nasional meliput kegiatan IPOC di Bali Nusa Dua Convention Center selama dua hari, Kamis (31/10) dan Jumat (1/11).

"Bagaimana perjalanannya tadi lancar?" tanya Tofan kepada para awak media.

Penulis sebelumnya tidak mengenal jauh siapa sosok Tofan, pasalnya selama ini penulis banyak ditugaskan untuk desk hukum dan kriminal, sehingga berita tentang sawit pernah ditulis hanya seputar kasus kebakaran lahan di konsesi yang ditangani Polda Kalimantan Selatan.

Namun sedikit cerita tentang bukunya yang baru saja diterbitkan, Pena di Atas Langit, penulis mulai mengetahui siapa pria berkaca mata yang ada di hadapan.

"Nanti saya bagikan ke teman-teman bukunya. Saya sudah niatkan hasil untung dari penjualan buku saya sodakohkan (sedekahkan)," ucap Tofan yang membuat penulis ingin mengetahui lebih dekat tentang sosoknya.

Usai beristirahat sejenak di hotel tempat para jurnalis menginap, Tofan dan timnya mengajak wartawan ke Baruna Sky Lounge Jimbaran Bay Beach mengikuti makan malam bertajuk "Gala Dinner".

Pada kesempatan itu, Tofan menekankan bahwa semuanya adalah satu keluarga. Timnya sebagai Bidang Komunikasi IPOC akan mencoba menyediakan segala yang diperlukan wartawan dalam peliputan konferensi.

"Jadi silahkan sampaikan apa yang mau dilakukan baik itu wawancara dengan nara sumber dan sebagainya, semua coba kita upayakan fasilitasi demi kenyamanan kawan-kawan," katanya yang langsung disambut tepuk tangan meriah dari awak media sembari menikmati "sunset" dari atas pantai Jimbaran.

Hari pertama konferensi minyak sawit pada Kamis (31/10) berjalan lancar sesuai yang diagendakan. Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin dalam sambutan ketika pembukaan menyampaikan pesannya untuk kemajuan industri sawit.
Tofan Mahdi bersama pengurus Gapki dan wartawan yang meliput IPOC 2019. (antara/foto/ist)


Pada malam harinya atau Kamis malam selepas kembali ke hotel, para wartawan diajak berkumpul bersama. Tak ada acara khusus. Semua berkumpul hanya bercerita dan bercanda lepas. Tofan dengan gayanya yang sederhana dan terbuka, banyak berkisah tentang perjalanan hidupnya di masa lalu. Begitu juga para wartawan senior lainnya yang sempat tergabung di lapangan bersama Tofan, turut berbagi kisah lucu yang tak terlupakan.

Topik semasa menjadi wartawan di Jawa Pos pun jadi bahan utamanya sembari disisipi beragam cerita lucu, suka dukanya di lapangan dalam peliputan mencari sebuah berita.

"Liputan pertama saya di Bursa Efek. Saya banyak ditugaskan berita ekonomi dan bisnis kala itu," bebernya mengenang pertama kali jadi wartawan tahun 1997 setelah lulus dari Sarjana Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jember.

Ketika berkumpul dengan teman-teman wartawan inilah, sosok Tofan yang sebelumnya juga sebagai wartawan jelas terlihat. Dia benar-benar membaur tanpa jarak. Tak ada satu patah kalimat pun menunjukkan dirinya "berbeda" sekarang. Tetap sederhana, terbuka, penuh canda, dan pastinya menyenangkan bagi siapa pun yang mengenalnya. Bahkan untuk penulis sekali pun yang baru saja bisa berkenalan dengannya secara langsung.

Di sela kegiatan konferensi hari kedua pada Jumat (1/11), penulis berkesempatan berbincang santai dengan Tofan di ruang media. Sesuai target penulis untuk mengulik lebih jauh tentang buku berjudul "Pena Di Atas Langit", Tofan dengan senang hati bercerita banyak soal buku perdananya tersebut yang telah terjual lebih dari 3.000 eksemplar hingga cetakan kedua.

Sesuai sub judul yang tertulis di bagian atas cover buku yaitu "Kumpulan Catatan Ringan Tofan Mahdi", pria kelahiran Pasuruan, Jawa Timur 21 Oktober 1974 ini banyak berbagi pengalamannya mengunjungi banyak negara serta harapannya kelak Indonesia bisa hebat dan sejajar dengan negara maju di dunia.

Di bagian akhir, Tofan juga menyelipkan tentang komunikasi dan satu tulisan yang didedikasikannya khusus untuk ibunda tercinta yang wafat pada Maret 2018.

"Buku ini sebenarnya bentuk penghormatan saya kepada ibu almarhumah Hj Siti Chabsah yang dengan segala keterbatasan bisa mengantarkan saya sampai ke titik ini. Jadi bisa dikatakan ini buku memperingati 1 tahun wafatnya ibu," tutur suami dari Hj Rufi Yenuartik ini.

Dari buku setebal 196 halaman itu, banyak hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan hidup sang penulis. Menurut Tofan, kunci hidup sukses adalah sabar, ikhlas dan barokah seperti yang diajarkan oleh ibunya.
Menurut dia, sabar dan ikhlas penting untuk menerima segala apa yang menjadi takdir Sang Maha Kuasa sembari berusaha terus menjadi lebih baik

Selama hidupnya, Tofan sudah berkunjung ke 36 negara di dunia. Dia ingin mengambil hikmah setiap perjalanannya ke negeri orang. Kemudian dia bandingkan dengan negara sendiri yang menurutnya masih jauh ketinggalan.

Tak hanya soal pembangunan infrastruktur dan sebagainya, dia juga melihat lunturnya nilai-nilai budaya ketimuran khas Indonesia yang santun, ramah dan menghormati orang lain.

"Misalnya negara Qatar atau Uni Emirat Arab, saya bangga sebagai orang Islam karena negara Islam tersebut sangat maju sekaligus beradab. Dalam arti, orang hormat dan bisa memanusiakan manusia," papar ayah dari Arzaky Rizky Muhammad (19) dan Rafeyfa Asyla Putri (14) serta alm Zuricha Aisha Putri ini.

Di satu sisi, Tofan secara objektif juga mengapresiasi kemajuan Indonesia yang beberapa hal sudah lebih baik. Dia contohkan infrastruktur jalan, kemudian manajemen kereta api yang sudah benar-benar berubah.

Pada bagian ketiga buku "Komunikasi dan Refleksi Diri", Tofan banyak menebar inspirasi lewat kisahnya refleksi tahun kesembilan beralih profesi dari pekerja media menjadi praktisi komunikasi di korporasi.

Kemudian ada judul "Mengistirahatkan Logika", yang mana pada satu titik Tofan pasrah sepenuhnya kepada Allah SWT yang dalam Islam disebut Tawakal.

"Kadang ada orang yang sudah berusaha keras dan bekerja cerdas, namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Kalau sebagai manusia berpikir logis, harusnya tidak seperti itu. Tetapi semakin kita kejar maka semakin berat. Maka itulah namanya rezeki jadi rahasia Tuhan," tuturnya.

Di bagian paling akhir, Tofan bercerita panjang lebar tentang kehidupan masa kecil yang sulit. Perjuangan sang ibunda seorang diri dalam kondisi serba kekurangan karena sejak Tofan duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), ayahnya meninggal dunia.

Kisah penuh inspiratif tersebut dipersembahkan Tofan untuk mengenang ibunya yang telah berjuang agar dia dan adiknya tetap bisa mengeyam pendidikan, walau harus jalan kaki setiap hari sejauh lima kilometer dari rumah di Desa Penulupan Kabupaten Pasuruan ke Sekolah Dasar (SD) yang berada agak ke kota.

Karir Tofan menjadi wartawan diawali kegemarannya menulis sejak di bangku SMA dan kuliah. Selama mahasiswa, lebih dari 50 artikelnya di muat di berbagai media massa kala itu.

Berbagai lomba karya tulis ilmiah pun diikutinya dan beberapa dia menjadi juaranya. Seperti juara kedua lomba karya tulis ilmiah perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia. Kemudian juara 1 menulis artikel Hari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Lulus sarjana tahun 1997, Tofan muda diterima di Jawa Pos, sebuah surat kabar harian terbesar kedua di Indonesia yang berbasis di Surabaya Jawa Timur.

Karirnya sebagai wartawan terus melejit. Dari jurnalis pemula hingga menduduki jabatan tertinggi sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007) dan Direktur Pemberitaan SBO TV/TV Grup Jawa Pos (2008-2009), sebelum beralih profesi menjadi seorang praktisi komunikasi bergabung di PT Astra Agro Lestari Tbk, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dari kegiatan hulu hingga hilir.

Meski tak lagi bekerja di media, namun darah dagingnya wartawan, sehingga setelah tidak jadi wartawan masih produktif menulis. Seperti yang disampaikan Dr (HC) Dahlan Iskan sang begawan media dan mantan Dirut PLN dan Menteri BUMN dalam kata pengantarnya di buku "Pena Di Atas Langit".

Menurut Tofan, kelebihan profesi wartawan jadi punya banyak teman dan jaringan. Kalau bisa mengelola hubungan baik itu, maka baik pula hasilnya.

Diakui dia, pekerjaan wartawan dan Public Relations (PR) sangatlah jauh berbeda meski terlihat dekat. Sebagai jurnalis, kata dia, wartawan bebas menuliskan apapun untuk kontrol sosial dan sebagainya.

Sedangkan praktisi komunikasi korporat, dia hanya fokus mengkomunikasikan perusahaan dengan baik kepada stakeholder dan masyarakat.

Meski begitu, setelah menjalani lebih jauh selama 10 tahun terakhir karir profesionalnya, kini Tofan menyadari industri minyak sawit tidak hanya bicara soal perusahaan tempatnya bekerja. Namun sudah demi "Merah Putih", karena industri sawit jadi hajat hidup orang banyak yaitu lebih dari 17 juta rakyat Indonesia bergantung padanya.

"Jadi saya sekarang berjuang tidak hanya untuk kepentingan bisnis tetapi demi jutaan rakyat Indonesia yang bekerja dan keluarganya mencari makan di industri strategis bangsa ini," tegasnya.

Tofan menyatakan, bidang komunikasi industri sawit digarap serius sejak dia bergabung di PT Astra Agro Lestari dan dipercaya pula sebagai Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Komunikasi dalam industri sawit, kata dia, memainkan peran strategis melawan kampanye hitam sekaligus membangun image positif sawit. Tofan pun terus melakukan diplomasi ke luar negeri bersama jajaran GAPKI dan pemerintah Indonesia melawan diskriminasi sawit terutama dari Uni Eropa.

"Industri sawit harus diperjuangkan dari berkonotasi negatif menjadi industri yang diakui sebagai industri strategis nasional yang menghidupi jutaan rakyat. Pada ahun 2019, nilai ekspor sawit Rp 270 triliun menjadi komoditi tertinggi Indonesia yang berhasil membuat neraca perdagangan bisa lebih baik," pungkas Tofan, sembari menutup perbincangan siang itu dengan penulis lewat pemberian tanda tangan di bukunya sebagai ucapan terima kasih.  

Pewarta: Firman

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019