Drama agaknya lebih banyak mewarnai perkembangan bola basket Indonesia dalam lima tahun terakhir, meski tentu saja ada setitik prestasi yang bisa dibanggakan di antaranya.
Drama --jika Anda tak mau menyebutnya sebagai kontroversi-- sudah terjadi sejak hampir lima tahun silam dalam proses pergantian kepemimpinan Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Indonesia (PP Perbasi).
Azrul Ananda, yang kala itu menduduki kursi Komisioner Liga Bola Basket Nasional (NBL) Indonesia, turut maju dalam kontestasi calon Ketua Umum PP Perbasi, namun kemudian mundur karena menganggap panitia pemilihan tidak transparan.
Panitia verifikasi menyebut pencalonan Azrul disokong oleh 16 pengurus provinsi (pengprov) padahal sebelumnya ia mengklaim mendapat dukungan 25 pengprov. Belakangan menurut panitia terdapat dukungan ganda dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua Barat sehingga dianulir.
Namun, menariknya calon lain yang memenuhi persyaratan minimum dukungan lima pengprov, Danny Kosasih, diketahui maju dengan pencalonan dari enam pengprov saja yakni Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, Lampung, Maluku dan Papua.
Ketika Musyawarah Nasional PP Perbasi digelar di Yogyakarta pada 14 Maret 2015, Danny "terancam" menjadi calon tunggal sebelum pada akhirnya Azrul kembali maju karena desakan para pendukungnya.
Pemilihan digelar dan Danny akhirnya terpilih sebagai Ketum PP Perbasi 2015-2019 setelah mengantongi 184 suara unggul dari Azrul yang cuma memperoleh 116 suara dari total 316 pemilik suara.
Satu drama berlalu, namun drama lain mengikuti, sebab dalam surat pengunduran diri yang awalnya disampaikan Azrul kepada PP Perbasi, ia juga mencantumkan kabar buruk bahwa PT Deteksi Basket Lintas, perusahaan yang dipimpinnya, akan mundur selepas menuntaskan kewajiban kontrak selama lima tahun sebagai operator liga.
Keputusan itu tak berubah dan resmi pada 9 Juli 2015 Starting 5 diberi kepercayaan oleh PP Perbasi menjadi operator baru liga yang kembali mengusung nama Liga Bola Basket Indonesia (IBL).
Baca juga: Generasi emas inspirasi Argentina menyongsong Piala Dunia FIBA
Warna warni suram IBL
Sejak kembali mengusung nama IBL, liga basket profesional Indonesia diwarnai oleh satu tema besar yang kerap terjadi yakni berkurangnya tim peserta.
IBL 2016 mewarisi 12 tim yang sama dari NBL 2014/15, namun semusim kemudian Stadium Jakarta mundur karena menolak sanksi dari operator atas tindakan mereka terlambat mendaftarkan diri.
Jumlah itu berkurang lagi semusim kemudian ketika CLS Knights, juara edisi perdana kelahiran kembali IBL pada 2016, memutuskan mundur karena tak mau mengikuti regulasi IBL yang mengharuskan setiap tim berbentuk Perseroan Terbatas.
Ironisnya, jumlah peserta terkonfirmasi untuk musim baru 2019/20 juga berkurang dibandingkan musim sebelumnya. Dua tim, Bogor Siliwangi dan Stapac Jakarta, absen dari musim baru.
Sementara sang juara bertahan Stapac mengundurkan diri karena lebih dari separuh pemainnya menunaikan tugas mulia untuk membela tim nasional Indonesia baik itu di nomor 5x5 maupun 3x3, Siliwangi dilarang tampil karena masalah yang menjangkiti liga basket profesional Indonesia.
Masalah itu adalah penunggakan gaji. Siliwangi sejak musim pertama IBL sudah didera masalah penunggakan gaji. Perpindahan kepemilikan dan markas tak memutus rantai masalah itu.
Bahkan, persoalan penunggakan gaji juga menimbulkan ekses lainnya yakni mencuatnya skandal pengaturan skor dalam IBL 2016 yang membuat delapan pemain dan satu ofisial Siliwangi dijatuhi sanksi larangan terlibat basket selama 2-5 tahun.
Persoalan lain yang juga banyak mewarnai IBL 2016-2019 adalah regulasi yang kerap menimbulkan kebingungan di antara tim peserta.
Ada persoalan tentang regulasi sanksi larangan tanding yang membuat Pacific Caesar Surabaya memilih walk out dari laga playoff IBL 2017. Pangkalnya adalah sanksi larangan tampil bagi Anton Waters yang di laga sebelumnya terkena ejection akibat kombinasi technical foul dan unsportmanlike foul, sesuai aturan FIBA versi 2017, yang katanya sudah disosialisasikan namun menurut Pacific belum.
Kejanggalan regulasi lain juga terjadi ketika pemain asing baru Hangtuah Bryquis Perine dianulir hak mainnya dari IBL 2018/19 karena memiliki tinggi badan 190 cm, melebihi batas 188 cm, padahal Perine adalah pemain yang masuk daftar pemain asing yang boleh dikontrak tim peserta versi IBL sendiri. Ironis.
Masalah lain yang menjadi sorotan adalah soal standar permukaan lapangan yang digunakan dalam IBL. Hal itu telah memakan korban berupa cedera parah yang diderita pemain asing muda Pelita Jaya, Wayne Bradford, pada seri keempat IBL 2018/19 di GOR Sritex Arena, Solo.
Sangking parahnya, Pelita Jaya bahkan merilis sebuah pernyataan bahwa nyawa Bradford terancam akibat cedera itu.
Tentu saja, IBL tidak serta merta membiarkan masalah-masalah itu terjadi. Penunggakan gaji memakan korban Siliwangi tersingkir.
Sementara, soal tinggi badan pemain asing dan standard permukaan lapangan jadi perhatian mereka menjelang musim 2019/20 digulirkan nanti. Semoga saja bisa terselesaikan.
Prestasi dan harapan yang menyertainya
Di balik setiap kontroversi dan drama yang mewarnai bola basket Indonesia, ada setitik prestasi yang mungkin masih bisa jadi sumber kebanggaan bangsa.
CLS yang mundur dari IBL hanya dua tahun setelah meraih gelar juara perdananya memilih untuk tampil di Liga Bola Basket ASEAN (ABL) sejak musim 2017/18.
Pilihan itu belakangan terbukti bukan sekadar langkah sakit hati, tetapi memang merintis jalan menuju prestasi.
Pada 15 Mei 2019, CLS berhasil menyabet gelar juara ABL meski baru tampil untuk musim keduanya di liga tersebut. Mereka bahkan menggelar pesta juara di kandang lawan, saat tampil mengalahkan Singapore Slingers 3-2 dalam gim kelima final.
Sementara CLS memiliki bahan untuk menepuk dadanya dengan gelar juara ABL, tim nasional Indonesia juga sebelumnya meraih prestasinya tersendiri kala tampil di Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang.
Walau berstatus tuan rumah, Indonesia jelas tak masuk perhitungan sebagai salah satu favorit baik itu di sektor putra maupun putri.
Pun demikian, di bawah arahan pelatih kepala Fictor Gideon Roring tim putra berhasil lolos ke perempat final menempati peringkat kedua penyisihan Grup A meski kalah dari Korea Selatan dan Mongolia, namun surplus tujuh poin dalam selisih skor menjadi pembeda.
Keberhasilan lolos ke perempat final sekaligus memastikan Indonesia berhak tampil lagi di Asian Games 2022 di Hangzhou, China, tanpa perlu melewati fase kualifikasi.
Prestasi serupa juga ditorehkan oleh tim putri Indonesia. Bahkan para srikandi basket Indonesia mengungguli rekan-rekannya di nomor putra, mereka menempati peringkat ketujuh dan putra kedelapan.
Natasha Debby Christaline dkk mencapainya lewat tiga kemenangan dalam tujuh pertandingan, jauh lebih banyak dibandingkan tim putra yang cuma menang sekali dari enam laga.
Apapun itu, di balik kekalahan-kekalahan telak melawan negara-negara kuat, putra putri Indonesia sukses merengkuh prestasi tersendiri di Asian Games 2018.
Tentu saja harapan prestasi juga berada di pundak putra putri Indonesia pada Desember mendatang ketika tampil dalam SEA Games 2019 di Filipina. Di tingkat Asia Tenggara, basket putra putri memiliki catatan terbaik berupa medali perak, setidaknya tren itu harus berlanjut.
Lebih jauh lagi, prestasi lebih baik diharapkan terjadi bagi tim putra dalam kejuaraan Piala FIBA Asia 2021.
Saat ini, Abraham Damar Grahita cs mendapat arahan pelatih berpengalaman Rajko Toroman menuju fase kualifikasi Piala FIBA Asia 2021 berada dalam satu grup dengan Korsel, FIlipina dan Thailand.
Kesuksesan melaju ke putaran final Piala FIBA Asia 2021 jadi harga mati bagi Indonesia, yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia FIBA 2023 bersama Filipina dan Jepang.
Tak seperti Filipina dan Jepang yang otomatis mendapatkan hak tampil sebagai tuan rumah, Indonesia dituntut FIBA untuk bisa mencapai putaran final Piala FIBA Asia 2021 bahkan meraih 10 besar dalam turnamen tersebut.
Baca juga: Profil Grup A, rintangan pertama tuan rumah China piala Dunia FIBA 2019
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Drama --jika Anda tak mau menyebutnya sebagai kontroversi-- sudah terjadi sejak hampir lima tahun silam dalam proses pergantian kepemimpinan Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Indonesia (PP Perbasi).
Azrul Ananda, yang kala itu menduduki kursi Komisioner Liga Bola Basket Nasional (NBL) Indonesia, turut maju dalam kontestasi calon Ketua Umum PP Perbasi, namun kemudian mundur karena menganggap panitia pemilihan tidak transparan.
Panitia verifikasi menyebut pencalonan Azrul disokong oleh 16 pengurus provinsi (pengprov) padahal sebelumnya ia mengklaim mendapat dukungan 25 pengprov. Belakangan menurut panitia terdapat dukungan ganda dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua Barat sehingga dianulir.
Namun, menariknya calon lain yang memenuhi persyaratan minimum dukungan lima pengprov, Danny Kosasih, diketahui maju dengan pencalonan dari enam pengprov saja yakni Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, Lampung, Maluku dan Papua.
Ketika Musyawarah Nasional PP Perbasi digelar di Yogyakarta pada 14 Maret 2015, Danny "terancam" menjadi calon tunggal sebelum pada akhirnya Azrul kembali maju karena desakan para pendukungnya.
Pemilihan digelar dan Danny akhirnya terpilih sebagai Ketum PP Perbasi 2015-2019 setelah mengantongi 184 suara unggul dari Azrul yang cuma memperoleh 116 suara dari total 316 pemilik suara.
Satu drama berlalu, namun drama lain mengikuti, sebab dalam surat pengunduran diri yang awalnya disampaikan Azrul kepada PP Perbasi, ia juga mencantumkan kabar buruk bahwa PT Deteksi Basket Lintas, perusahaan yang dipimpinnya, akan mundur selepas menuntaskan kewajiban kontrak selama lima tahun sebagai operator liga.
Keputusan itu tak berubah dan resmi pada 9 Juli 2015 Starting 5 diberi kepercayaan oleh PP Perbasi menjadi operator baru liga yang kembali mengusung nama Liga Bola Basket Indonesia (IBL).
Baca juga: Generasi emas inspirasi Argentina menyongsong Piala Dunia FIBA
Warna warni suram IBL
Sejak kembali mengusung nama IBL, liga basket profesional Indonesia diwarnai oleh satu tema besar yang kerap terjadi yakni berkurangnya tim peserta.
IBL 2016 mewarisi 12 tim yang sama dari NBL 2014/15, namun semusim kemudian Stadium Jakarta mundur karena menolak sanksi dari operator atas tindakan mereka terlambat mendaftarkan diri.
Jumlah itu berkurang lagi semusim kemudian ketika CLS Knights, juara edisi perdana kelahiran kembali IBL pada 2016, memutuskan mundur karena tak mau mengikuti regulasi IBL yang mengharuskan setiap tim berbentuk Perseroan Terbatas.
Ironisnya, jumlah peserta terkonfirmasi untuk musim baru 2019/20 juga berkurang dibandingkan musim sebelumnya. Dua tim, Bogor Siliwangi dan Stapac Jakarta, absen dari musim baru.
Sementara sang juara bertahan Stapac mengundurkan diri karena lebih dari separuh pemainnya menunaikan tugas mulia untuk membela tim nasional Indonesia baik itu di nomor 5x5 maupun 3x3, Siliwangi dilarang tampil karena masalah yang menjangkiti liga basket profesional Indonesia.
Masalah itu adalah penunggakan gaji. Siliwangi sejak musim pertama IBL sudah didera masalah penunggakan gaji. Perpindahan kepemilikan dan markas tak memutus rantai masalah itu.
Bahkan, persoalan penunggakan gaji juga menimbulkan ekses lainnya yakni mencuatnya skandal pengaturan skor dalam IBL 2016 yang membuat delapan pemain dan satu ofisial Siliwangi dijatuhi sanksi larangan terlibat basket selama 2-5 tahun.
Persoalan lain yang juga banyak mewarnai IBL 2016-2019 adalah regulasi yang kerap menimbulkan kebingungan di antara tim peserta.
Ada persoalan tentang regulasi sanksi larangan tanding yang membuat Pacific Caesar Surabaya memilih walk out dari laga playoff IBL 2017. Pangkalnya adalah sanksi larangan tampil bagi Anton Waters yang di laga sebelumnya terkena ejection akibat kombinasi technical foul dan unsportmanlike foul, sesuai aturan FIBA versi 2017, yang katanya sudah disosialisasikan namun menurut Pacific belum.
Kejanggalan regulasi lain juga terjadi ketika pemain asing baru Hangtuah Bryquis Perine dianulir hak mainnya dari IBL 2018/19 karena memiliki tinggi badan 190 cm, melebihi batas 188 cm, padahal Perine adalah pemain yang masuk daftar pemain asing yang boleh dikontrak tim peserta versi IBL sendiri. Ironis.
Masalah lain yang menjadi sorotan adalah soal standar permukaan lapangan yang digunakan dalam IBL. Hal itu telah memakan korban berupa cedera parah yang diderita pemain asing muda Pelita Jaya, Wayne Bradford, pada seri keempat IBL 2018/19 di GOR Sritex Arena, Solo.
Sangking parahnya, Pelita Jaya bahkan merilis sebuah pernyataan bahwa nyawa Bradford terancam akibat cedera itu.
Tentu saja, IBL tidak serta merta membiarkan masalah-masalah itu terjadi. Penunggakan gaji memakan korban Siliwangi tersingkir.
Sementara, soal tinggi badan pemain asing dan standard permukaan lapangan jadi perhatian mereka menjelang musim 2019/20 digulirkan nanti. Semoga saja bisa terselesaikan.
Prestasi dan harapan yang menyertainya
Di balik setiap kontroversi dan drama yang mewarnai bola basket Indonesia, ada setitik prestasi yang mungkin masih bisa jadi sumber kebanggaan bangsa.
CLS yang mundur dari IBL hanya dua tahun setelah meraih gelar juara perdananya memilih untuk tampil di Liga Bola Basket ASEAN (ABL) sejak musim 2017/18.
Pilihan itu belakangan terbukti bukan sekadar langkah sakit hati, tetapi memang merintis jalan menuju prestasi.
Pada 15 Mei 2019, CLS berhasil menyabet gelar juara ABL meski baru tampil untuk musim keduanya di liga tersebut. Mereka bahkan menggelar pesta juara di kandang lawan, saat tampil mengalahkan Singapore Slingers 3-2 dalam gim kelima final.
Sementara CLS memiliki bahan untuk menepuk dadanya dengan gelar juara ABL, tim nasional Indonesia juga sebelumnya meraih prestasinya tersendiri kala tampil di Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang.
Walau berstatus tuan rumah, Indonesia jelas tak masuk perhitungan sebagai salah satu favorit baik itu di sektor putra maupun putri.
Pun demikian, di bawah arahan pelatih kepala Fictor Gideon Roring tim putra berhasil lolos ke perempat final menempati peringkat kedua penyisihan Grup A meski kalah dari Korea Selatan dan Mongolia, namun surplus tujuh poin dalam selisih skor menjadi pembeda.
Keberhasilan lolos ke perempat final sekaligus memastikan Indonesia berhak tampil lagi di Asian Games 2022 di Hangzhou, China, tanpa perlu melewati fase kualifikasi.
Prestasi serupa juga ditorehkan oleh tim putri Indonesia. Bahkan para srikandi basket Indonesia mengungguli rekan-rekannya di nomor putra, mereka menempati peringkat ketujuh dan putra kedelapan.
Natasha Debby Christaline dkk mencapainya lewat tiga kemenangan dalam tujuh pertandingan, jauh lebih banyak dibandingkan tim putra yang cuma menang sekali dari enam laga.
Apapun itu, di balik kekalahan-kekalahan telak melawan negara-negara kuat, putra putri Indonesia sukses merengkuh prestasi tersendiri di Asian Games 2018.
Tentu saja harapan prestasi juga berada di pundak putra putri Indonesia pada Desember mendatang ketika tampil dalam SEA Games 2019 di Filipina. Di tingkat Asia Tenggara, basket putra putri memiliki catatan terbaik berupa medali perak, setidaknya tren itu harus berlanjut.
Lebih jauh lagi, prestasi lebih baik diharapkan terjadi bagi tim putra dalam kejuaraan Piala FIBA Asia 2021.
Saat ini, Abraham Damar Grahita cs mendapat arahan pelatih berpengalaman Rajko Toroman menuju fase kualifikasi Piala FIBA Asia 2021 berada dalam satu grup dengan Korsel, FIlipina dan Thailand.
Kesuksesan melaju ke putaran final Piala FIBA Asia 2021 jadi harga mati bagi Indonesia, yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia FIBA 2023 bersama Filipina dan Jepang.
Tak seperti Filipina dan Jepang yang otomatis mendapatkan hak tampil sebagai tuan rumah, Indonesia dituntut FIBA untuk bisa mencapai putaran final Piala FIBA Asia 2021 bahkan meraih 10 besar dalam turnamen tersebut.
Baca juga: Profil Grup A, rintangan pertama tuan rumah China piala Dunia FIBA 2019
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019