Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Bambang Haryo Soekartono mengkritik kebijakan pemberlakuan biodiesel 30 persen atau B30.
Menurut dia, kenaikan biodiesel 30 persen berakibat terhadap peralatan sarana industri dan transportasi, karena biodiesel di atas 10 persen dapat merusak mesin.
"Kalau sudah begini, biaya pemeliharaan juga jadi naik yang pada akhirnya berpengaruh terhadap ekonomi secara keseluruhan," tuturnya di Banjarmasin, Sabtu.
Adapun dalih pemerintah mengerem impor Bahan Bakar Minyak (BBM) guna memangkas defisit neraca perdagangan, menurut Bambang juga keliru. Faktanya, BBM jenis solar hanya bagian kecil dari impor migas, yakni 4,6 juta ton per tahun dari total 50,4 juta ton.
Baca juga: Biodiesel to Operates in Kotabaru At End Year
Bambang yang tergabung di Komisi V DPR mencatat, impor migas Indonesia hanya 15 persen dari impor non-migas tahun 2018 sebesar 29.868 juta USD. Untuk itu, kebijakan biodiesel B30 tidak akan berdampak signifikan terhadap nilai impor Indonesia.
"Jangan sampai terkesan pemerintah berpihak pada kapitalis tanpa mementingkan masyarakat dan pelaku industri secara luas," tandas wakil rakyat dari Dapil Jawa Timur I ini.
Apalagi, tambah Bambang, kebijakan penggunaan B30 hanya ada di Indonesia. Sementara sejumlah negara lain seperti Malaysia, India, Australia, Kanada dan Argentina masih menggunakan B5, B7 sampai B10.
Baca juga: DPRD nilai Kalsel miliki energi nonfosil cukup potensial
Uji jalan biodiesel 30 persen telah dilakukan peluncurannya oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Juni 2019 lalu.
Pemerintah mendorong pemanfaatan bahan bakar campuran nabati biodiesel 30% yang diklaim dapat mengurangi impor solar hingga 9 juta kiloliter.
Secara khusus Ignasius Jonan mengingatkan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) agar konsisten menyediakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang merupakan unsur dari sawit sebagai bahan campuran B30.
Baca juga: Kementerian ESDM memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk domestik
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Menurut dia, kenaikan biodiesel 30 persen berakibat terhadap peralatan sarana industri dan transportasi, karena biodiesel di atas 10 persen dapat merusak mesin.
"Kalau sudah begini, biaya pemeliharaan juga jadi naik yang pada akhirnya berpengaruh terhadap ekonomi secara keseluruhan," tuturnya di Banjarmasin, Sabtu.
Adapun dalih pemerintah mengerem impor Bahan Bakar Minyak (BBM) guna memangkas defisit neraca perdagangan, menurut Bambang juga keliru. Faktanya, BBM jenis solar hanya bagian kecil dari impor migas, yakni 4,6 juta ton per tahun dari total 50,4 juta ton.
Baca juga: Biodiesel to Operates in Kotabaru At End Year
Bambang yang tergabung di Komisi V DPR mencatat, impor migas Indonesia hanya 15 persen dari impor non-migas tahun 2018 sebesar 29.868 juta USD. Untuk itu, kebijakan biodiesel B30 tidak akan berdampak signifikan terhadap nilai impor Indonesia.
"Jangan sampai terkesan pemerintah berpihak pada kapitalis tanpa mementingkan masyarakat dan pelaku industri secara luas," tandas wakil rakyat dari Dapil Jawa Timur I ini.
Apalagi, tambah Bambang, kebijakan penggunaan B30 hanya ada di Indonesia. Sementara sejumlah negara lain seperti Malaysia, India, Australia, Kanada dan Argentina masih menggunakan B5, B7 sampai B10.
Baca juga: DPRD nilai Kalsel miliki energi nonfosil cukup potensial
Uji jalan biodiesel 30 persen telah dilakukan peluncurannya oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Juni 2019 lalu.
Pemerintah mendorong pemanfaatan bahan bakar campuran nabati biodiesel 30% yang diklaim dapat mengurangi impor solar hingga 9 juta kiloliter.
Secara khusus Ignasius Jonan mengingatkan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) agar konsisten menyediakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang merupakan unsur dari sawit sebagai bahan campuran B30.
Baca juga: Kementerian ESDM memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk domestik
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019