Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mendesak pemerintah agar dapat memprioritaskan perbaikan data pangan sebagai landasan yang tepat untuk keputusan terkait impor.
"Perbaikan data pangan juga perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari berbagai rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait impor," kata Galuh Octania dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.
Menurut Galuh Octania, perbedaan data komoditas pangan antara satu institusi dengan institusi lainnya di Tanah Air sudah sering terjadi, namun permasalahan tersebut hingga kini tidak kunjung juga menemukan solusi dan malah berulang lagi.
Ia berpendapat bahwa persoalan antara Bulog, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait data terjadi karena perbedaan tugas dan kewenangan, sedangkan kebijakan impor diputuskan dalam rapat koordinasi yang melibatkan ketiga institusi tersebut.
"Data pangan yang bersumber dari satu pihak, akurat dan diperbaharui secara berkala sangat penting untuk menentukan kebijakan pangan yang akan diambil pemerintah. Selain sebagai dasar pengambilan kebijakan, data pangan yang bersumber dari satu pihak dan akurat juga penting untuk mengukur produktivitas pangan, mengidentifikasi daerah-daerah penghasil komoditas pangan dan juga mengetahui kondisi petani," jelas Galuh.
Ia mengingatkan bahwa konsekuensi data pangan yang tidak akurat, bisa berpotensi membuat produksi pangan dikatakan sudah surplus namun harganya masih cenderung bergejolak.
Ketika harga bergejolak, lanjut Galuh, Kementerian Perdagangan pasti perlu melakukan tindakan untuk meredam gejolak tersebut, salah satunya adalah dengan melaksanakan aktivitas impor.
"Yang menjadi masalah, Indonesia baru mau mengimpor kalau sudah ada data mengenai produksi pangan dalam negeri tidak cukup. Seharusnya karena data tidak akurat maka pengambilan keputusan terkait impor juga tidak akan efektif untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Pemerintah harusnya fokus pada kepentingan rakyat sebagai konsumen. Mereka berhak mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau," ucapnya.
Sebagaimana diwartakan, sejumlah pihak menyatakan bahwa berbagai langkah stabilitas harga pangan yang dilakukan oleh pemerintah selama bulan Ramadhan, menjelang Idul Fitri dan pada periode Lebaran, dinilai juga sukses dalam meredam gejolak politik pascapemilu tahun 2019.
"Harga stabil maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi sekali lagi terbukti berhasil mengendalikan harga kebutuhan pokok selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri," kata Direktur Riset Lembaga Kajian Visi Teliti Saksama, Nugroho Pratomo dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Apalagi, Nugroho Pratomo mencatat bahwa keberhasilan pemerintahan Jokowi mengendalikan harga kebutuhan pokok selama bulan suci Ramadhan ini tak hanya terjadi di tahun 2019 saja, tetapi situasi serupa terjadi juga pada tahun-tahun sebelumnya.
"Namun khusus tahun 2019, hal tersebut menjadi lebih istimewa karena bertepatan dengan masa kampanye politik," kata Nugroho dan menambahkan, kenaikan harga pangan yang terjadi selama bulan Ramadhan masih dalam konteks yang wajar karena ada peningkatan permintaan.
Nugroho berpendapat bahwa kestabilan harga dan ketersediaan pangan ini telah memberikan iklim yang sejuk pada situasi politik Indonesia. Hal tersebut juga dinilai tidak lepas dari kinerja Kementerian Perdagangan yang mampu menjaga ketersediaan bahan pokok dengan harga yang relatif stabil.
"Isu ketersediaan pangan pada dasarnya merupakan salah satu isu yang cukup sensitif. Bagusnya hal ini memperoleh perhatian pemerintahan Jokowi," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Perbaikan data pangan juga perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari berbagai rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait impor," kata Galuh Octania dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.
Menurut Galuh Octania, perbedaan data komoditas pangan antara satu institusi dengan institusi lainnya di Tanah Air sudah sering terjadi, namun permasalahan tersebut hingga kini tidak kunjung juga menemukan solusi dan malah berulang lagi.
Ia berpendapat bahwa persoalan antara Bulog, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait data terjadi karena perbedaan tugas dan kewenangan, sedangkan kebijakan impor diputuskan dalam rapat koordinasi yang melibatkan ketiga institusi tersebut.
"Data pangan yang bersumber dari satu pihak, akurat dan diperbaharui secara berkala sangat penting untuk menentukan kebijakan pangan yang akan diambil pemerintah. Selain sebagai dasar pengambilan kebijakan, data pangan yang bersumber dari satu pihak dan akurat juga penting untuk mengukur produktivitas pangan, mengidentifikasi daerah-daerah penghasil komoditas pangan dan juga mengetahui kondisi petani," jelas Galuh.
Ia mengingatkan bahwa konsekuensi data pangan yang tidak akurat, bisa berpotensi membuat produksi pangan dikatakan sudah surplus namun harganya masih cenderung bergejolak.
Ketika harga bergejolak, lanjut Galuh, Kementerian Perdagangan pasti perlu melakukan tindakan untuk meredam gejolak tersebut, salah satunya adalah dengan melaksanakan aktivitas impor.
"Yang menjadi masalah, Indonesia baru mau mengimpor kalau sudah ada data mengenai produksi pangan dalam negeri tidak cukup. Seharusnya karena data tidak akurat maka pengambilan keputusan terkait impor juga tidak akan efektif untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Pemerintah harusnya fokus pada kepentingan rakyat sebagai konsumen. Mereka berhak mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau," ucapnya.
Sebagaimana diwartakan, sejumlah pihak menyatakan bahwa berbagai langkah stabilitas harga pangan yang dilakukan oleh pemerintah selama bulan Ramadhan, menjelang Idul Fitri dan pada periode Lebaran, dinilai juga sukses dalam meredam gejolak politik pascapemilu tahun 2019.
"Harga stabil maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi sekali lagi terbukti berhasil mengendalikan harga kebutuhan pokok selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri," kata Direktur Riset Lembaga Kajian Visi Teliti Saksama, Nugroho Pratomo dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Apalagi, Nugroho Pratomo mencatat bahwa keberhasilan pemerintahan Jokowi mengendalikan harga kebutuhan pokok selama bulan suci Ramadhan ini tak hanya terjadi di tahun 2019 saja, tetapi situasi serupa terjadi juga pada tahun-tahun sebelumnya.
"Namun khusus tahun 2019, hal tersebut menjadi lebih istimewa karena bertepatan dengan masa kampanye politik," kata Nugroho dan menambahkan, kenaikan harga pangan yang terjadi selama bulan Ramadhan masih dalam konteks yang wajar karena ada peningkatan permintaan.
Nugroho berpendapat bahwa kestabilan harga dan ketersediaan pangan ini telah memberikan iklim yang sejuk pada situasi politik Indonesia. Hal tersebut juga dinilai tidak lepas dari kinerja Kementerian Perdagangan yang mampu menjaga ketersediaan bahan pokok dengan harga yang relatif stabil.
"Isu ketersediaan pangan pada dasarnya merupakan salah satu isu yang cukup sensitif. Bagusnya hal ini memperoleh perhatian pemerintahan Jokowi," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019